In the
beginning, there was but the Absolute Self alone.
Nothing
else was. Brahman willed,
Let me create the world”
Aitareya
Upaniûad I.1.1.
Pendahuluan
Teori tentang penciptaan jagat raya
bersumber kepada kitab suci Veda dan susastra Hindu. Kitab suci Veda merupakan
wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari kitab Ågveda, Yajurveda, Samaveda
dan Atharvaveda. Masing-masing kitab itu disebut Samhita dan keempatnya disebut
Catur Veda Samhita. Masing-masing Samhita tersebut memiliki kitab-kitab
Brahmana, Aranyaka dan Upaniûad yang jumlahnya cukup banyak. Seluruh
kitab-kitab tersebut digolongkan ke dalam kitab-kitab Sruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab-kitab Upaniûad juga
disebut kitab-kitab Vedànta atau bagian akhir yang merupakan semacam kesimpulan
atau intisari Veda.
Di samping sumber utama tersebut di
atas, sumber lainnya adalah kitab-kitab yang digolongkan ke dalam kitab-kitab
susastra Hindu, yaitu kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata,
juga kitab-kitab Puràóa yang jumlahnya sebanyak 18 buah. Kitab-kitab tersebut
menguraikan tentang penciptaan alam semesta, makhluk hidup di dalamnya dan
bagaimana proses penciptaan tersebut terjadi. Khusus kitab-kitab Puràóa, sampradaya atau kelompok keagamaan Hindu
Vaiûóava memasukkannya ke dalam kitab Veda atau sruti, yakni wahyu Tuhan
Yang Maha Esa dan meyakini mahàrûi
Vyasa sebagai penyusun kitab-kitab tersebut juga sebagai avatara-Nya (Penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa).
Penciptaan menurut kitab suci Veda
Di dalam kitab suci Veda terdapat dua Sùkta
(himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang
dikenal dengan sebutan Nasadiyasùkta
dan Puruûasùkta. Yang pertama
menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar
filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha
Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan
dan harmoni alam semesta. Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazùkta (Terjadinya Alam Semesta)(Ågveda
X.129.1-7) tersebut.
‘Pada waktu itu, tidak ada makhluk
(eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada
atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah
yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya
(1)’
‘Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula
tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa
bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya
sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’
‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi
oleh kegelapan. Semua yang ada ini
adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah
kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas
(tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’
‘Pada awal mulanya keinginan menjadi
bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Åûi setelah
meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi
dan non eksistensi (4)’
‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia
melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak
diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke
sana (5)’
‘Siapakah yang sungguh-sungguh
mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang
menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu
siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’
‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan
alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang
mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga,
sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia!
Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta
ini (7)’
Dari
terjemahan mantram Ågveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar
tentang misteri dari alam semesta ini. Sùkta
di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang
merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sùkta
pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda
material. Sùkta kedua menjelaskan
eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. Sùkta ketiga menjelaskan bahwa pada
mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk.
Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan
proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat
diketahui oleh para Åûi yang bermeditasi kepada-Nya (Sùkta 4). Sùkta kelima
menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. Sùkta keenam dan ketujuh
menjelaskan terjadinya alam semesta.
Klaus K.
Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses
penciptaan menurut Nasadiyasùkta di
atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan
seorang Yogi (Åûi) yang disebut
sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu
(keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat
dalam ketidakabadian. V. Madhusudan
Reddy (1991:186) menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dengan kekuatan-Nya yang
sangat unik dengan pemusatan pikiran, mewujudkan kekuatan anima (salah satu kekuasaan-Nya menjadikan diri-Nya sangat halus
tidak tertangkap oleh indra penglihatan) menciptakan dunia dan alam semesta
yang tidak abadi dan berbagai keserbaragaman. Tuhan Yang Maha Esa mengejawantah
dalam berbagai hal, dan juga menjadi dasar yang mengatur semua, menyatukan dan
mengharmonisasikannya, seperti dinyatakan dalam terjemahan mantra Ågveda V.81.2
berikut:
‘Tuhan Maha Pencipta, Yang memancarkan cahaya-Nya dalam
berbagai wujud, dan yang selalu menganugrahkan kebajikan kepada semua
ciptaan-Nya. Yang Maha Bercahaya menerangi jagat raya, sorga, dan selalu
bercahaya di luar Fajar’.
Tuhan Yang
Maha Esa yang memancarkan cahaya gemerlapan, menyinari segalanya dan memberikan
kesadaran kepada alam semesta. Ia adalah api kedevataan, maha mengetahui dan merupakan nafas hidup dari jagat
raya, yang tanpa batas, yang kekuatan tapa-Nya tiada habisnya, bagaikan mentega
dan nektar keabadian. Lebih jauh di dalam Ågveda III.26.7 dinyatakan bahwa:
Segala sesuatunya merupakan ekspåûi pancaran Cahaya dari
segala cahaya. Ia yang muncul dari keadaan Gelap (Malam Brahma). Ia yang sangat mengagumkan, Ia yang membentang
sangat jauh dan mengejawantahkan diri-Nya.
Di dalam
Ågveda I.113.1 dinyatakan bahwa alam semesta sebagai Wujud Yang Agung (Supreme Form). Hal tersebut merujuk
kepada tiga kondisi Yang Maha Suci, yaitu status
caratham, jagatas tasthusas dan amritam martyam, yakni yang tidak
bergerak dan kekal abadi dan yang berubah-ubah, yang tidak terbatas dan yang
terbatas, dan yang hidup abadi dan yang fana (Reddy, 1991:188).
Demikian
pula dinyatakan bahwa kekuatan aktif yang bersinar terang benderang merupakan
kuasa Tuhan Yang Maha Esa, bermanifestasi melalui hukum-Nya yang abadi,
tercipta bersama dengan kausa material alam semesta, dari sana malam (sesudah
alam tercipta berlangsung) diciptakan. Dari sana pula samudra atmosfir yang
mengandung prinsip-prinsip kosmik menjadi terwujud (Ågveda X.190.1).
Berdasarkan
uraian singkat di atas dapat dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa melalui
kekuatan tapas, memancarkan energi
(cahaya) dari kegelapan yang pekat dan kosong, kemudian atas kehendak-Nya
berlangsung proses penciptaan yang berasal dari energi atau cahaya-Nya yang
maha dahsyat tersebut.
Tentang
penciptaan alam semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruûasùkta (Yajña Tuhan
Yang Maha Esa) (Ågveda X.90.1-16) yang
terjemahannya dikutipkan sebagai berikut.
‘Puruûa
(Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi
jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’
‘Sesungguhnya Puruûa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan
datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’
‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruûa bahkan lebih besar dari ini.
Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah
keabadian ada di sorga (3)’
‘Tiga perempat dari Puruûa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam
ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang
bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.
‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Viràj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke
seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’
‘Ketika para Dewa mengadakan upacara
kurban dengan Puruûa sebagai
persembahan, maka minyaknya adalah musim semi,
kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim
gugur (6)’
‘Mereka mengorbankan sebagian korban
pada rumput. Puruûa yang lahir pada
awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Åûi mempersembahkan kurban (7)’
‘Dari korban Puruûa dipersembahkan keluarlah dadih
dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang
padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’
‘Dari korban Puruûa
yang dipersembahkan, Ric (Ågveda)
dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia
lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’
‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa
saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya
kambing dan biri-biri (10)’.
‘Ketika mereka menjadikan Puruûa persembahan, menjadi berapa
bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’
‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana,
dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra
muncul dari kaki-Nya (12)’
‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari
dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu
dari nafas-Nya (13)’.
‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul,
dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru
mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.
‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban
itu, tiga kali enam potong kayu bakar
disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruûa sebagai kurban (15)’
‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara
korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia
yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’
Puruûasùkta
adalah sebuah Sùkta (himne) yang
menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi
tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari
padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sùkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari
Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person)
dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna
dikenal oleh para mahàrûi
(orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang
Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan.
Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahàrûi yang membebaskan pencari
kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991:
175).
Puruûa
bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari
seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala
sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruûa. Dari Puruûa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama
menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang
keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan
dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia
juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender,
tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).
Menurut Puruûasùkta di atas, Tuhan
Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya
ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat
bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia. Seluruh
jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj,
proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung
selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir
ketika Dia menghendakinya pula. Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta
seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang
berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan
Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti
tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat
dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.
Di samping mantra-mantra tentang
peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang
menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari
pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ågveda X.121.1
berikut.
Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan
eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan
sorga.
Di dalam kitab suci Veda dijelaskan
tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan
Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan
yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama
tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha
berada. Telur itu kemudian
pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain
menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah
telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).
Berdasarkan kutipan terjemahan
mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci
Veda dimulai dengan tapas yang
memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan
melaksanakan Yajña dan yang terakhir
dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang
demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.
Penciptaan menurut kitab-kitab Upaniûad (Vedànta)
Seperti
disebutkan di atas, kitab-kitab Upaniûad juga disebut sebagai sruti (wahyu Tuhan Yang Maha Esa).
Kitab-kitab Upaniûad juga disebut kitab-kitab Uttara Mimaýúa atau Vedànta yang
kemudian berkembang menjadi sistem filsafat yang artinya akhir dari Veda (vedasya
antah), kesimpulan maupun tujuan Veda (Radha- krishnan, 1990:24). Di dalam
kitab-kitab Upaniûad, kata yang dipergunakan untuk mengartikan Yang Nyata Maha
Tinggi, Ma Pencipta adalah Brahman.
Kata ini berasal dari akar kata brh
yang berarti berkembang, timbul atau muncul ke mana-mana. Kata turunannya
berarti meluap ke luar, berbuih ke luar, perkembangan yang tidak
habis-habisnya, brihattvam. Menurut
Sankara, Brahman berasal dari akar kata brihati,
melampaui, atisayana, kebadian,
murni. Menurut Madhva, Brahman adalah
oknum yang seluruh sifatnya ada dalam kesempurnaan, brihanto hy asmin gunah. Yang nyata bukanlah suatu abstraksi yang
redup, melainkan sangatlah hidup dan dengan vitalitas yang kuat (Radhakrishan, 1990:52).
Di dalam
Brihadaranyaka Upaniûad (II.1.1-20) dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pencipta semua makhluk. Itulah sesungguhnya yang harus dimengerti.
Brahman adalah Satyasya Satyam. Yang
Nyata dari Yang Nyata, sumber dari semua benda-benda yang ada. Di dalam Katha Upaniûad (II.50) dinyatakan bahwa api setelah memasuki
alam semesta mengambil semua bentuk. Di dalam Chandogya Upaniûad (VI.8.4)
dinyatakan bahwa api yang muncul pertama dari Makhluk Pertama, dan dari api
muncullah air, dari air muncullah tanah. Pada saat peleburan kembali, tanah
dilebur pada air, air pada api, dan api pada Makhluk Pertama.
Mandukya Upaniûad menyatakan bahwa Brahman adalah catus-pat, berkaki empat atau memiliki
empat azas, yaitu: Brahman
(Impersonal), Isvara (Personal), Hiranyagarbha (bibit seperti telur
berwarna keemasan yang melahirkan Brahmanda-Brahmanda,
telor-telor Brahman atau planet-planet di alam raya) dan Viraj (energi yang bercahaya). Radhakrishnan (1990:65) menyatakan
adanya empat macam status dari Yang Nyata Abadi, yaitu (1) Brahman Yang Mutlak, (2) Isvara,
yakni Jiwa yang berkemampuan (Creative
Spirit), (3) Hiranyagarbha (Jiwa
alam semesta), dan (4) Alam Semesta.
Dalam
perkembangan selanjutnya ketika kitab-kitab Upaniûad dirumuskan menjadi sebuah sistem
filsafat yang dikenal dengan nama Vedànta, maka muncullah kitab Vedàntasara
atau Vedàntasutra yang disusun oleh mahàrûi
Vyasa. Kitab ini diduga sudah ada sebelum 5.000 tahun yang lalu. Sekitar 5.000 tahun yang lalu
muncul kitab Srimadbhagavatam atau Bhagavata Puràóa yang memberi ulasan
terhadap Vedàntasutra. Setelah itu kitab ini dijelaskan oleh beberapa acarya atau guru-guru suci. Ulasan
Sankaracarya (sekitar abad delapan Masehi), merupakan ulasan dari perguruan impersonal dan monistik (advaita). Ulasan
Ramanujacarya (sekitar abad sebelas Masehi) dari perguruan keesaan khusus (vasistadvaita).Ulasan Nimbarkacarya
(sekitar abad dua belas sampai empat belas Masehi) adalah ulasan keesaan dan
dualisme (dvaitadvaita) dan ulasan Madhvacarya (abad tiga belas Masehi)
adalah perguruan dualisme (Bhaktisvarupa, 2003:4).
Menurut
Bhaktisvarupa Damodara Svami (2003:35) Vedànta merupakan bentuk risalat ilmiah
dan keagamaan yang paling maju dari warisan kultural dan spiritual India. Makna
dasar dari kata Vedànta adalah pengetahuan kebenaran yang tertinggi. Vedànta
tidak hanya merujuk kepada Vedàntasutra melainkan juga kepada semua pustaka
Veda, yang menjelaskan kesimpulan-kesimpulan dari Veda, khususnya Bhagavadgìtà,
Srimadbhagavatam, kitab-kitab Upaniûad, dan lain sebagainya.
Di dalam sutra (aforisme) 1.1.2 dari Vedàntasutra
dinyatakan: janmadyasya yatah, yang terjemahannya adalah:
Brahman, Kebenaran Mutlak atau Tuhan Yang Maha Esa adalah yang dari Siapa
penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan alam semesta ini berasal. Secara
singkat dapat dinyatakan Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta, pemelihara dan
pelebur alam semesta.
Perwujudan
alam semesta ini sebagai energi material dipisahkan dengan Tuhan Yang Maha Esa
melalui Kala, waktu yang merupakan segi impersonal Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan
Yang Maha Esa adalah sumber asli dan sebab dari segala sesuatu sarva karana karanam. Dalam Bhagavadgìtà
(X.8), Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krisna memberi tahu Arjuna, teman dan
penyembah-Nya, “Akulah sumber dari semua dunia spiritual dan material. Segala
sesuatu memancar dari-Ku (Bhaktisvarupa, 2003:52).
Penciptaan menurut kitab-kitab Puràóa
Isi pokok kitab-kitab Puràóa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan
kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada
setiap masa), (4) Vamsa (cerita
dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Åûi-Åûi dan raja yang akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya
pada sarga dan pratisarga sebagai berikut.
1) Sarga (ciptaan alam semesta yang
pertama/yang sangat halus)
Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara)
dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat),
selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga
udaritah). Di kitab-kitab Puràóa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak
termanifestasikan, avyakrita, yakni
unsur materi yang pertama atau Prakriti),
dari tiga lapis Ahamkara (keakuan
dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara)
dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas)
organ indriya (Panca Budhiriya,
Karmendriya dan pikiran) dan
obyek-obyek indriya. Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan
(2) Laukika (keduniawian). Penciptaan kedevataan
merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata,
saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha,
mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia.
Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang
membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat
manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan). Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang
menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur
materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran
Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Puràóa menggambarkan jalan
pengetahuan (Jnana Marga)(Tagare,
Vol. Part 5, 1989: XXIV).
Di dalam kitab Bhagavata Puràóa (XII.7.11) diuraikan sepintas
tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan
kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang
permulaan), memimpin evolusi Triguna
selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau
Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi
masing-masing guna), evolusi berlaut
pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur
yang kasar dan devata yang bersemayam
pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit).
Lebih
jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Puràóa (17.1-16),
sebagai berikut:
Agni bersabda:
Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari
krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam
Samkhya disebut Brahma). Beliaulah
yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi
dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).
1)
Brahma, yang tidak menampakan diri,
sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan
lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam
Prakriti (unsur materi) dan ke
dalam Puruûa (unsur kesadaran) dan
menggerakkannya (2).
2)
Pada saat penciptaan yang pertama kali
terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat).
Kemudian terwujudlah ego (ahamkara),
selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa)
unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan (3).
3)
Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara).
Kemudian angin (vayu) merupakan unsur
dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja)
sebagai unsur dasar warna (rupa)
menjadi ada dari padanya (4).
4)
Air (apah)
sebagai unsur dasar rasa (ràsa/menjadi
ada) dari padanya. Tanah (prithivi)
sebagai unsur bau (gandha). Dari
kegelapan lahirlah ego, indriya
(menjadi ada) yang nampak berkilauan (5).
5)
Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya
selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni
Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup (6).
6)
Sang Hyang Brahma menciptakan air yang
pertama. Air berhubungan dengan
(disebut) sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan
spirit yang Tertinggi (7).
7)
Dari pergerakkannya yang pertama dari
semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang)
telur di atas air yang warnanya keemasan (8).
8)
Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir
dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir
dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup
(di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian
menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua
bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).
9)
Sepuluh penjuru menyangga bumi yang
mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan
pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan
waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang
lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan
burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian
menciptakan Ågveda (Rcah), Yajurveda
(Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).
10)
Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan
(merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah
diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari
kemarahan-Nya (14).
11)
Kemudian Ia menciptakan para Åûi Marici,
Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai
putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).
12)
Oh, Yang Mulia! Para Åûi tersebut
melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo
menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma
melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan
(16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).
Pada bagian lain, kitab Agni Puràóa (20.9.1-8) menjelaskan lebih
terperinci proses penciptaan alam
semesta yang digambarkan sebagai berikut:
1)
Ciptaan pertama adalah intelek atau
kecerdasan budi (mahat) dari Brahma.
Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang
dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan
elemen alam semesta/pañca mahabhuta
(1).
2)
Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ
indriya (aindriyasarga). Ciptaan
tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga)
yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).
3)
Ciptaan yang keempat adalah ciptaan
dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu
yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima
disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan
sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang,
burung-burung, dan lain-lain (3).
4)
Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk
yang lebih tinggi (urdhvasrota)
dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan
menengah (arvaksrota), yakni
terciptanya umat manusia (4).
5)
Ciptaan yang kedelapan adalah
Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan
yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga
(ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah
sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam
semesta (5-6).
6)
Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyàti
dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang,
yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya),
penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan
disebut Dainandinì. Penciptaan yang
selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya
(7-8).
Teori
penciptaan alam semesta (sarga) yang
dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara
sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Puràóa, yang dapat diringkas
(direkapitulasi), sebagai berikut.
1) Ciptaan pertama
(1). Mahat
(ciptaan kesadaran yang tinggi)
(2). Tanmatra (ciptaan disini disebut juga Bhutasarga)
(3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)
Seluruh ciptaan di atas adalah
ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai
awal
ciptaan.
1)
Penciptaan yang kedua
(4). Mukhyasarga
(ciptaan yang tidak bergerak)
(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan
binatang)
(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).
(7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)
(8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)
Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi
mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).
2)
Penciptaan (setelah) kedua (?)
(9). Kaumarasarga (penciptaan
putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang
lain-lain menjadi seorang Yogi dan
tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan
putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu,
Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari
berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).
G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Puràóa, pada bagian kata
pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab
Puràóa ditemukan tiga teori tentang
penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedànta,
(2). Teori Puràóa dan (3). Teori Samkhya.
Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:
1)
Teori Samkhya-Vedànta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir
dengan Visesa, yakni perbedaan antara
lima unsur yang sangat halus dan yang
kasar (kasat mata) yang disebut Pañca
Mahabhuta dan Pañca Tanmatra.
Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir,
tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya
adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi
dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan
seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip
dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus
pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña.
Kitab-kitab Puràóa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan
teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah
alam semesta yang besar, Samkalpa
(kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya
(kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/
I.1.4,16). Teori sintese Samkhya-Vedànta tentang penciptaan ini
dapat dijumpai dalam beberapa Puràóa, antara lain: Agni Puràóa XVII.2-26,
Brahmanda Puràóa I.1.3.6, dan Kurma Puràóa I.2.3.
2)
Teori Puràóa. Ksetrajña
disebut Brahma yang bangkit dari telur
kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama
kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca
Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan
maupun pada saat Pralaya
(penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan
tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini
dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4
elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10
kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang
ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana
yang tidak termanifest. Avyakta (yang
tidak termanifest) disebut Ksetra dan
Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma.
Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka)
seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).
3)
Teori Samkhya. Teori Vedànta, Samkhya dan Puràóa
dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik
dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104)
sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara
potensial terbentang seperti minyak susu (ghee)
di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas),
Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu
(dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan
Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.
Dari kutipan
di atas, maka jelaslah bagi kita teori evolusi yang tercantum dalam kitab-kitab
Puràóa rupanya merupakan perpaduan antara teori penciptaan alam semesta menurut
kitab suci Veda (Brahmana dan Upaniûad/Vedànta) dan sistem filsafat Hindu
Samkhya.
2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali
alam semesta)
Penciptaan alam semesta tidaklah sebuah
kenyataan yang permanen (kekal), semua ciptaan akan berakkhir pada masa
penghancuran yang selanjutnya berulang pada masa penciptaan kembali.
Demikianlah, dalam kitab-kitab Puràóa diuraikan beberapa macam penghancuran
besar dan kecil (Shastri, Vol.3, Part I, 1990:XXI).Di dalam kitab-kitab Puràóa
dinyatakan sebuah penghancuran total terjadi pada setiap hari Brahma yang
lamanya sama dengan satu Kalpa, satu
periode yang lamanya 432 juta tahun manusia. Satu Kalpa terdiri dari 14 Manvantara. Jadi satu hari Brahma sama dengan
satu Kalpa terdiri dari 14 kali
penghancuran. Tetapi penghancuran tersebut tidak merupakan penghancuran total,
melainkan parsial. Pada akhir Manvantara (akhir Manvantara yang ke-14), sama
dengan sehari Brahma dan hal itu merupakan satu Kalpa, yang sama dengan sebuah penghancuran yang besar. Hal itu
juga merupakan sebuah penghancuran yang lengkap ketika Brahma mengakhiri
kehidupan-Nya. Sebelum penghancuran ini (Prakritaprakaya),
mahluk hidup dan benda-benda yang bergerak dan yang tidak bergerak, para devata, Asura, ular-ular, raksasa,
dan lain-lain semuanya hancur lebur. Segala sesuatunya itu lenyap danm kembali
kepada Prakriti yang masuk dan tersembunyi ke dalam devata tertinggi Sang Hyang
Siva. Sang Hyang Siva sendiri yang bertahan, tidak ada mahluk apapun di
mana-mana (Linga Puràóa I.85.7-8).
Ketika awal penciptaan kembali setelah masa penghancuran, Sang Hyang Siva
tampil dalam 2 wujud, yaitu berupa Prakriti
dan Atman. Sang Hyang Visnu
mengambil wujud sebagai Prakriti dan
terletang dalam sikap seorang yogi (yoganidra) di tengah-tengah air. Selanjutnya
Brahma lahir dari sebuah bunga padma yang muncul dari pusar Sang Hyang Visnu.
Brahma meminta Sang Hyang Siva untuk memberikan kekuatan untuk menciptakan
kembali alam semesta bersama seluruh
isinya (Ibid., I.85. 10-11)
Kitab Kurma Puràóa menyebut Pratisarga dengan Pratisañcara dan menguraikan dua versi yang berbeda, satu
menunjukkan pengaruh Vaiûóava dan yang lain menunjukkan pengaruh Saiva.
Terdapat 4 macam penghancuran (laya),
yakni: Nitya, Naimittika, Prakrita
dan Atyanta. Nitya adalah ketidak munculannya sehari-hari dari bumi ini dalam
kegelapan dan Atyantika adalah
persatuan tertinggi dan terakhir dari setiap roh individu ke-dalam alam Visnu
melalui pengetahuan spiritual. Dalam tiap Pralaya
ini, roh individu tidak kembali lagi menjelma dari alam baka. Naimittika Pralaya mengambil tempat pada akhir
setiap Kalpa. Pada saat itu, terjadi
kekeringan yang mengerikan selama ratusan tahun dan semua samudra menguap yang
menjadikan panas matahari sangat kejam. Api kehancuran meledak dan membakar
habis segalanya dan Sang Hyang Visnu (Prajapati)
dalam wujud sebagai seorang Yogi dalam posisi tidur (Yoganidra) untuk satu Kalpa
lamanya. Terdapat beberapa jenis Kalpa
(Kurma II.45). Prakrita Pralaya
datang setelah dua tahun parardha.
Sang Hyang Mahadeva berwujud api yang memusnahkan dan membakar seluruh jagat
raya termasuk para devata Brahma, Visnu dan Siva (tiga devata ini lebih rendah
tingkatannya dibanding dengan Tuhan Yang Maha Agung). Menggunakan hiasan
karangan bunga dari tengkorak manusia, Mahadeva menunjukkan tarian Tandava. Devi (pasangannya) masuk ke dalam tubuh Sang Hyang Mahadeva dan
proses penarikan kembali semua unsur Pañca Mahabhuta berlangsung, unsur Prithivi (tanah) bersama dengan Guna (seperti bau) menyatu ke dalam
unsur air dan seterusnya, sampai segala sesuatunya lebur dan bersatu ke dalam Mahat, yang akhirnya kembali ke dalam
diri Sang Hyang Mahadeva. Pradhana
dan Puruûa kembali terpisah, saat itu
terjadi keseimbangan unsur Tri Guna
dari Prakriti (Kurma I.5.19, II.45.
dan 46, 1-25).
Proses peleburan dan penciptaan kembali
dapat pula kita jumpai dalam Visnu (I.7.41-43; VI.3.2) dan Brahmanda Puràóa
(II.4.132-190, II.4.3.1-24; II.4.1.1311). Berikut kami kutipkan penjelasan
tentang proses peleburan dan penciptaan kembali
menurut kitab Brahmanda Puràóa.
(1)
Nitya Pralaya (yang
biasa) yakni segala sesuatu yang terjadi setiap hari seperti hidup dan matinya
semua mahluk.
(2)
Naimitika Pralaya (secara
periodik), mengambil bagian pada akhir sebuah Kalpa, yakni pada akhir satu set
ribuan (Catur) Yuga. Sang Hyang Brahma memulai menarik semua unsur alam semesta
ke dalam diri-Nya. Terjadi kekeringan yang berkelanjutan ratusan tahun lamanya,
matahari dengan 7 pancaran sinarnya membakar segala sesuatu dan semua samudra
menguap. Api Samvartaka membakar
Catur Loka (Bhur, Bhuvah, Svah dan Mahat). Selanjutnya mendung Samvartaka menebarkan hujan yang sangat
deras dan s egala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak hancur lebur menjadi
satu dalam bentuk samudra luas membentang dan Sang Hyang Brahma berwujud ribuan
mata, ribuan kepala menyatu padu dan tertidur nyanyak untuk seribu set Catur Yuga (siang dan malamnya Brahma) (II.4.132-190). Pada akhir
malamnya Brahma, Ia bangkit kembali dan kembali mencipta. Siang dan malam
Brahma, yang merupakan satu hari Brahma disebut Visesakalpa (Ibid. 190-210).
(3)
Prakritika Pralaya terjadi
pada saat berakhirnya periode Brahma.
Ketika itu berlangsung Pratyahara
(tertariknya seluruh alam semesta) dalam waktu yang singkat, Bhuta (unsur materi yang kasar dan
halus) langsung lenyap, evolusi Prakriti mulai dengan Mahat dan berakhir dengan Visesa
hancur lebur. Air menelan sifat tertentu
seperti bau di bumi, api di dalam air meluap sampai ke Akasa, yang kemudian bersatu ke dalam Bhutadi. Dalam hal ini, evolusi Prakriti menelan semua yang lebih
rendah, sampai Mahat menyatu ke dalam
Gunasamya (keseimbangan Guna). Hanya Atman yang tersisa. Proses
leburnya kembali prinsip dasar (Tattvasamya)
berulang-ulang kembali (Bhagavata II.4.3.1-24).
(4)
Atyantika Pralaya bila
seseorang mampu membebaskan dirinya melalui pengetahuan spiritual. Ia tidak
mengambil wujud apapun, seperti halnya kecambah (tidak pernah muncul ke luar)
ketika benih terbakar (Ibid.80-84). Hal
ini disebut penghancuran jalan spiritual (II.4.1.131)(Tagare, Vol. 22.
Part I, XXXV).
Berdasarkan uraian tersebut, proses Pralaya
dalam kitab-kitab Puràóa pada prinsipnya sama, dalam beberapa hal terjadi
perbedaan namun hal tersebut tidaklah demikian penting dan teori tersebut
sangat dekat dengan ajaran filsafat Samkhya dan Vedànta. Lebih jauh tentang
penciptaan alam semesta, Sri Sathya Sai Avatar (2001:30) menyatakan: “There was no one to know who I am...... Till
I created this world at my pleasure.....
With one word....”. Dari Omkara
muncullah unsur-unsur alam yang disebut Panca
Mahabhuta, yaitu yang pertama adalang ether. Dari ether muncul udara, dari
udara muncul api, dari api muncul air, dari air
terciptalah bumi. Dari pusat Omkara munculah Kebenaran dan seluruh jagat
raya ada dalam Keagungan dan Kemuliann-Nya. Dari samudra universal mucul Waktu
(Kala) yang menguasai setiap saat.
Yang mengatur siang dan malam. Selanjutnya, seperti sebelumnya. Tuhan Maha
Pencipta menciptakan matahari, bulan dan
sorga, dan bumi. Di bumi segera saju muncul gunung-gunung, segera juga muncul
sungai-sungai yang mengalirklan airnya. Bumi posisinya di bawah dan angkasa di
atas. Terciptalah samudra-samudra dan lautan-lautan, tanah dan batas air,
matahari, bulan dan pasir di gurun. Dia menciptakan angkasa, bumi dan sorga di
luar itu dan air di bawah. “To prove my
existence...... came all forms.......beasts.....and birds flying.....human
beings......mankind......speaking ......hearing......And all powers.......were bestowed upon them under my orders”.
“The fist place was granted to mankind
and My knowledge was placed in his mind”. Yang terakhir ini kiranya
berkaitan dengan God Spot yang
terdapat pada bagian otak manusia.
Respon Hindu Tentang Penciptaan Terhadap
Teori-Teori Ilmiah Baru
Kebanyakan teori sains modern
mengenai asal mula alam semesta didasarkan pada konsep Big Bang (ledakan besar)
dan variasinya. Teori ini pertama-tama disusun pada tahun 1927 oleh seorang
pendeta Belgia yang bernama Georges Lamaitre. Gagasan utama dari Big Bang
adalah bahwa seluruh jagat raya diledakkan dari suatu keadaan padatan yang tak
terbatas, pada tingkatan suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Akibatnya, alam
semesta terpecah-pecah dan mengalami pendinginan. Para pendukung teori Big Bang
menjelaskan bahwa pada suatu tingkat ekspansi tersebut terwujudlah berbagai
partikel sub-atom. Setelah itu elemen-elemen cahaya seperti hidrogen dan helium
terbentuk diikutim oleh elemen-elemen berat. Dengan terbentuknya elemen-elemen,
tidak ada elektron bebeas yang tersisa yang memancarkan foton cahaya dan jagat
raya ini menjadi transparan untuk radiasi, yang diamati sekarang sebagai latar
belakang kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:39).
Teori penciptaan alam semesta Big Bang ini adalah teori yang sangat
terkenal. Teori ini semakin mendapat dukungan dari berbagai kalangan ilmuwan
karena menunjukkann bukti-bukti yang sangat kuat dan dapat diterima secara meluas. Bahkan
banyak kalangan agamawan akhirnya mendukung teori ini. Pengajuan teori ini
didasarkan pada kenyataan bahwa alam semesta
ini sekarang sedang mengembang. Pengamatan telah dilakukan dengan
teleskop Hubble milik Amerika Serikat. Sebagai catatan teleskop Hubble
diluncurkan oleh NASA pada 1990. Setahun kemudian, 1991 menyusul telekop
Compton yang lebih canggih, bisa mendeteksi pancaran sinar Gama. Dan tahun 2003
NASA meluncurkan teleskop Spitzer yang bisa mendeteksi sinar infra merah. Data
dari teleskop yang sangat canggih itu mencatat bahwa ternyata semua benda
langit sedang bergerak saling menjauhi. Dan itu terjadi secara merata di
berbagai penjuru langit. Jadi kalau kita melihat ke ‘atas’, maka diperoleh
dasta bahwa benda-benda langit itu saling menjauhi. Demikian puka kalau kita
melihat ke arah ‘bawah’ benda-benda langit pun bergerak saling menjauhi. Begitu
pula bila kita melihat langit sebelah kiri dan kanan, semuanya sama,
benda-benda langit bergerak saling menjauhi. Maka hanya ada satu kesimpulan,
yaitu: alam semesta ternyata sedang mengembang. Bila demikian adanya, maka
berarti, dulu alam semesta ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan
sekarang. Atau dengan kata lain benda-benda langit berada pada posisi lebih
dekat. Dan jika kita runut lebih ke belakang lagi, benda-benda langit itu dalam
posisi sangat dekat. Dan akhirnya, sekian miliar tahun yang lalu, semua benda langit berada dalam satu tempat.
Di pusat alam semesta. Seluruhnya dimampatkan ke dalam satu titik. Betapa
dahsyatnya pemampatan itu, karena material yang tak berhingga besarnya ditambah
dengan energi yang sangat besar tak terkira ‘dipakska” berada dalam titik yang
sama. Seperti sebuah pegas yang ditekan, maka dia cenderung akan melawan untuk
melenting menuju posisi seimbangnya (Mustofa, 2005:54).
Teori Big Bang mengatakan bahwa alam
semesta yang dikompres ke dalam satu titik itu lantas menjadi tidak stabil, dan
meledak dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Sehingga seluruh material
cikal bakal alam semesta itu terhambur ke segala penjuru langit, itulah saat
penciptaan alam semesta dimulai. Kejadian itu, diperkirakan oleh para pakar
astronomi terjadi sekitar 12 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu 12
miliar tahun itulah alam semesta mengalami pendinginan secara berangsur-angsur.
Dalam masa itu juga tercipta berbagai benda langit secara bertahap, seperti
nebula, galaksi, matahari, planet dan satelit. Akibat ledakkan itu seluruh alam
semesta mengembang. Bagaikan balon udara yang sedang ditiup (Mustofa, 2005:55).
Ada beberapa tahapan proses
penciptaan alam semesta ini.
1)
Tahap pertama adalah ketika alam semesta berupa cikal bakalnya yang
disebut sebagai Sop Kosmos. Pada tahapan tersebut cikal bakal alam semesta itu
berada dalam kondisi yang sangat labil disebabkan tempratur dan tekanan yang
sangat tinggi. Zat yang ada di dalam Sop Kosmos itu tidak bisa didefinisikan
sesuai dengan ragam zat yang ada sekarang. Dia bukan zat padat, bukan zat cair,
juga bukan gas. Semacam kumpulan energi yang sangat ekstrim. Sebab semua
material dan energi di alam ini dikompres ke dalam sebuah titik yang berukuran
hampir nol, di mana ruang dan waktu juga berada di dalamnya. Semuanya terdapat
dalam cikal bakal alam semesta dalam ukuran ‘Hampir Tiada’. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa cikal bakal itu sebenarnya adalah sebuah ‘Ketiadaan Mutlak.
Alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan
mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Waktu pun tidak ada. Demikian pula
materi dan energi. Yang ada hanya Ketiadaan Mutlak (Mustofa, 2005:56).
Tahap pertama teori Big Bang di atas
bahwa alam semesta ini muncul dari
‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang
tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya ‘Ketiadaan Mutlak’
sejalan dengan teori penciptaan menurut NasadiyaSùkta,
kitab suci Ågveda (X.129.1-7) di atas. Teori Big Bang hampir sama dengan proses
Pralaya (peleburan kembali) menuju Sristi atau Utpati (proses penciptaan).
2)
Tahap kedua adalah sesaat setelah ledakan terjadi. Pada detik pertama,
suhu alam semesta turun menjadi 10 pangkat 10 derajat Kelvin. Ini sama dengan
suhu di pusat matahari. Atau sama dengan suhu di bintang yang paling panas. Dan
beberapa jam kemudian, mulailah terbentuk partikel-partikel elementer pembentuk
alam semesta. Dan kemudian tercipta atom-atom bermassa rendah seperti Hidrogen
dan Helium (Mustofa, 2005:56). Tahap kedua ini tampak seperti proses
terciptanya Panca Tanmatra (lima
unsur halus yang tidak dapat diukur) yakni: Gandha
(unsur bau), Rasa (unsur rasa), Rupa (unsur panas), Sparsa (unsur air)
dan Sabda (unsur suara) yang nantinya memadat menjadi Panca Mahabhuta (lima
unsur) yang lebih padat, yakni: Prathivi
(tanah), Teja (api) Vayu (udara), Apah (air), dan Akasa (ether).
3) Tahap ketiga, selama jutaan tahun
kemudian, alam semesta tidak mengalami perubahan yang berarti. Akan tetapi
terus menerus mengembang ke segala penjuru. Puluhan jenis unsur alam semesta
terbentuk. Ruang alam semesta semakin membesar. Waktu pun ikut bergerak maju
(Mustofa, 2005:56). Proses tersebut sangat dekat maknanya dengan proses sthiti, yakni stabilnya alam semesta
namun bergerak terus pada porosnya.
4)
Tahap keempat, selama kurun waktu miliaran tahun kemudian, terbentuklah
benda-benda langit akibat pengelompokkan atom-atom dan molekul-molekul yang
bersenyawa. Pada pembentukan generasi pertama, terciptalah bintang-bintang atau
gugusan bintang dari material yang memang hanya ada di waktu itu, yaitu
Hidrogen dan Helium. Hidrogen dan Helium ini masih tersisa di dalam matahari
maupun bintang-bintang di jagad semesta. Dan setiap saat terjadi perubahan
empat atom Hidrogen menjadi satu Helium sehingga menghasilkan panas jutaan
derajat. Dan kemudian, panas itulah yang menghidupi ‘planet-planet’ yang
mengorbit di sekitar matahari. Termasuk di dalamnya adalah bumi. Tanpa
matahari, planet bumi tidak bisa memunculkan kehidupan. Allah menciptakan
matahari agar di bumi terjadi kehidupan. Jika, suatu ketika, matahari padam,
maka bumi pun ikut ‘mati’. Dan matahari memang akan mati di suatu saat nanti,
sekian ratus juta tahun ke depan. Kenapa begitu? Ya, karena matahari itu sebuah
tabung ‘gas’ yang sangat besar, namun terus-menerus mengalami penurunan
jumlahnya akibat terbakar terus menerus. Reaksi yang terjadi di dalam matahari
itu disebut sebagai reaksi termonuklir alias reaksi fusi. Lama kelamaan atom
Hidrogennya habis, yang ada hanya atom Helium. Maka berhentilah proses
pembakaran di sana. Dan matahari itu pun padam. Matahari kita tersebtuk sekitar
5 miliar tahun yang lalu. Dia termasuk kelompok matahari generasi kedua, karena
di dalamnya ditemukan gas-gas yang memiliki massa lebih besar dari Hidrogen dan
helium. Sekitar 2 persen massa matahari ternyata mengandung Oksigen dan Carbon
(Mustofa, 2005:56-57). Tahap keempat ini tampak seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda (telur Brahman, yakni planet-planet di jagat raya) dan
matahari disebut sebagai yang terbesar dan yang memancarkan cahaya yang sangat
besar di antara Brahmanda-Brahmanda tersebut. Di dalam Veda matahari (surya) disebut jyotir uttamamam, devam adidevam (cahaya yang gemerlapan dan utama,
terbesar di antara planet-planet di alam raya) dan dsebut juga sebagai surya atma jagatas tasthusas ca (sumber
hidup di jagat raya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak).
5)
Tahap kelima. Matahari, dulunya berasal dari gas panas (nebula) yang
berpusar. Di tengah-tengah pusaran itu terbentuk matahari. Sedangkan di
pinggirannya terjadi pendirnginan lokal yang lebih cepat dari pada pusatnya.
Akibat pendinginan itu, maka terjadilah padatan-padatan, yang kemudian
terpental akibat gaya putra (sentrifugal). Bagian yang terpental itu adalah
cikal bakal planet-planet. Termasuk di dalamnya adalah planet bumi. Ini terjadi
sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Jadi bumi kita sebenarnya sudah berusia
sangat tua. Alam semesta sendiri berumur lebih tua, diperkirakan 12 miliar
tahun. Dan sampai sekarang, proses penciptaan alam tersebut belum berhenti.
Setiap saat selalu ada bintang atau matahari yang tercipta. Sebagaimana juga
selalu ada matahari dan bintang yang padam. Demikian pula selalu ada
planet-planet yang tercipta dan yang mengalami kehancuran. Benda-benda langit
jumlahnya hampir tak berhingga. Di alam semesta ini diperkirakan ada sekitar 10
pangkat 80 partikel yang bisa teramati oleh para peneliti. Dalam waktu yang
bersamaan, alam semesta juga terus berkembang. Hal ini teramati melalui
teleskop Hubble. Sampai kapankah alam semesta terus berkembang? Diperkirakan
sampai 3 miliar tahun lagi. Setelah waktu itulah, diperkirakan alam akhirat
akan dimulai oleh Allah (Mustofa, 2005:57-58). Uraian tahap kelima ini masih
sama seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda di jagat raya ini dan total umur
alam semesta dinyatakan dalam kosmologi Vedànta adalah: 100 tahun Brahma = 100 x
360 x 2 x 1 Brahma = 311 triliun dan 40 milir tahun dan pada setiap 311.040
miliar tahun terjadilah peleburan total atau keseluruhan. Setelah itu
penciptaan dimulai lagi (Bhaktisvarupa, 2003:76).
6)
Tahap keenam adalah tahap diciptakan oleh-Nya makhluk hidup di permukaan
planet bumi hingga drama kehidupan yang digelar sampai kiamat nanti (Mustofa,
2005:58). Tentang bentuk kehidupan di bumi, kitab Padma Puràóa menyatakan
sebagai berikut. “Secara keseluruhan terdapat 8.400.000 bentuk kehidupan.
900.000 bentuk kehidupan di dalam air, dan 2000.000 bentuk pohon dan
tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya,
terdapat 1.100.000 species
binatang, serangga, dan reptil, dan 1.000.000 species burung. Akhirnya,
terdapat 3.000.000 jenis hewan dan 400.000 species manusia” (Bhaktisvarupa,
2003:24).
Teori Big Vision
Teori Big Vision dikemukakan oleh
Bhaktisvarupa Damodara Svami, yang ketika belum diinisiasi menjadi seorang
rohaniwan bernama T. D. Singh, Ph.D. Menurutnya teori Big Vision adalah teori
asal mula kehidupan dan penciptaan jagat raya yang terwujud berdasarkan
Vedànta. Konsep sentral dari Big Vision ini adalah bahwa jagat raya mempunyai
tujuan untuk membimbing para makhluk hidup pada jalan kebahagiaan yang
sempurna. Karena merasa kagum
terhadap benda-benda unik dan tidak dapat dipahami di dunia ini
seperti hukum-hukum alam yang teratur (susunan kecerdasan, dan nilai unik dari
konstanta fisika dari jagat raya. Banyak ilmuwan dan sarjana terkemuka merasa
bahwa barangkali ada tujuan tertentu dari penciptaan jagat raya ini. Banyak
orang berpikir bahwa jagat raya kita ini adalah sangat spesial dan memiliki
suatu tujuan. Semua pernyataan ini
secara tidak langsung mendukung model Big Vision Vedànta.
Menurut Vedànta, tujuan di
balik manifestasi dunia material ini
adalah untuk membawa para makhluk hidup
yang sedang mengkhayal menuju kepada tingkat kebahagiaan yang sejati dengan membangkitkan bhakti, yoga, dan pengabdian di dalam
diri setiap orang. Bhakti merupakan
sifat pengabdian yang paling luhur yang menghubungkan individu dengan Jiwa Yang
Tertinggi – Tuhan Yang Maha Esa dengan kerendahan hati yang paling dalam serta
pelayanan yang murni. Dengan salah menggunakan kebebasan bertindak
(memilih/kehendak bebas), makhluk hidup di jagat raya ini ingin mengambil peran
sebagai Majikan Yang Tertinggi dan menikmati secara tidak terbatas dengan
berusaha untuk memuaskan permintaan pikiran dan indera-indera yang tiada
habis-habisnya. Ketika seseorang serius telah memahami kedudukannya yang salah
dan telah mengalami bahwa ia tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan sejati
secara material maka ia akan mulai bertanya, “Apakah kesalahan saya? Bagaimana
caranya saya mendapatkan kebahagiaan
sejati?” Maka ia akan berpaling kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon
pertolongan. Pencarian untuk memahami makna kehidupan yang lebih dalam ini
merupakan saat penetuan (titik balik)
dari kehidupan suatu individu (Bhaktisvarupa, 2003:56).
Kosmologi Vedànta didasarkan pada
Big Vision yang agung dari Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan kebahagiaan
tertinggi kepada seluruh makhluk hidup. Demikianlah ia memberikan jawaban
terhadap pertanyaan, “Mengapa jagat raya ini diciptakan?” Oleh karena itu
Vedànta menjelaskan kosmologi ketuhanan. Dalam kitab suci Bhagavadgìtà (IX.10)
Tuhan Yang Maha Esa menyatakan bahwa Beliau adalah sumber dari segala sesuatu.
Orang mendapatkan sekilas prinsip-prinsip dasar Big Vision dengan mengamati
beberapa gejala di dalam laboratorium kosmik, antara lain: (1) Hekakat
kehidupan material yang bersifat sementara, (2) Evolusi kesadaran dan keunikan
dari kehidupan manusia, (3) Tuntunan dari Paramatma, Tuhan Yang Maha Esa, dan
(4) Elemen-elemen kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:56-59).
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
teori Big Vision dimaksudkan untuk membangun teori atau kosmologi yang berbasis
ajaran ketuhanan, karena eksperimen manusia yang menggunakan daya nalar dan
daya pikir sangat terbatas, sedang kitab suci yang merupakan sabda Tuhan Yang
Maha Esa tidak diragukan lagi kebenarannya.
Demikianlah penciptaan jagat raya
menurut Hindu dan respon terhadap teori-teori ilmiah baru tentang penciptaan
alam semesta yang perlu lebih dikembangkan lagi dalam memahami proses
penciptaan itu. Mengakhiri tulisan ini dikutipkan ulasan Deepak Chopra terhadap
karya Rabindranath Tagore Pantai Keabadian, sebagai berikut.
“Tagore mengenal dirinya sendiri
dengan kejernihan dan keyakinan yang luar biasa. Dia tahu bahwa rumah sejatinya
adalah keabadian. Dia tidak pergi ke mana-mana setelah mati, sebab keabadian
tidak memiliki masa lalu, masa sekarang atau pun masa depan. Ilmu pengetahuan
telah membuktikan pendapat ini. Benda-benda materi memang terasa padat ketika
disentuh, tetapi pada level kuantum 99,999 persen dari sebuah atom sebenarnya
adalah ruang kosong dan kepadatan itu akan lebur menjadi sekumpulan energi yang
memancar. Energi ini tidak pernah diciptakan dan tidak pernah dihancurkan.
Energi ini menyala ke luar masuk dalam wilayah prekuantum sebanyak jutaan kali
setiap detiknya. Itulah satu-satunya kelahiran dan kematian dalam arti yang
nyata yang bisa kita alami. Tubuh kita sama sekali bukanlah kejadian yang unik
sebab tubuh kita mati ratusan kali sebelum mata anda selesai membaca satu kata
dalam kalimat yang sedangkan anda baca ini. Apa yang kita sebut kematian adalah
sebuah kesalahan istilah, kematian adalah sekadar terhentinya proses muncul dan
hilang. Setelah menghembuskan nafas yang terakhir, kita kembali kepada situasi
di mana waktu tidak ada lagi. Apa yang kita sebut maut sebenarnya adalah
terhentinya kelahiran dan kematian” (Chopra, 2004:19-20).
Daftar Pustaka
Ayodhya Prasad, Pandit.1993. Gems of Vedic Wisdom. Calcuta: Kanak Lal Saha.
Bhaktisvarupa Damodara Swami (T.D. Singh, Ph.D).2003. Vedànta & Sains, Kehidupan dan Asal Mula
Jagat Raya. Kolkata-Roma-Denver: BhaktiVedànta Institute.
Basham, A.L.1992. The
Wonder That Was India, New Delhi: Rupa & Co.
Klostermaier, Klaus K.1990. A Survey of Hinduism, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers
Pvt.Ltd.
Madhusudan Reddy, V. 1991. The Vedic Epiphany, I. Hyderabad: Institute of Human Study.
Mustofa, Agus.2005. Ternyata
Akhirat Tidak Kekal. Surabaya: Padma Press.
Panikkar, Raimundo.1989. The
Vedic Experience, Mantra Mañjari, An Anthology of the Vedas for Modern Man and
Contemporary Celebration. New Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private
Limited.
Radhakrishnan, S.1990. The
Principals Upaniûads. Centenary Edition. Bombay: Oxford University Press.
Sai Avatar, Sri Sathya, Chaitanya
Jyoti. Prasnati Nilayam, Andra Pradesh: Sri Sathya Sai Seva Organization.
Somvir. 2001. 108
Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Penerbit Paramita.
Tagore, Rabindranàth. 2004.
Pantai Keabadian. Diedit dan
Diberi Pengantar oleh Deepak Chopra, Yogyakarta: Pohon Sukma.
Titib, I Made. Veda,
Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.