1. PENGERTIAN PURA
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat
pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman
yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata
Sansekerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi
tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai
tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahya ngan atau Hyang. Pada
jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali,
ada disebutkan di dalam Prasasti Sukawana A I tahun 882 M. Kata Ulan yang
berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada
disebutkan........................ Sanghyang di uruñan " yang artinya
tempat suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A (
tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang api dan Hyang
Tanda yang artinya tempat suci untuk dewa Karimama, tempat suci untuk dewa api
dan tempat suci untuk Dewa Tanda.
Prasasti -prasasti yang disebutkan diatas adalah
prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu
" yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke
10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri
Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dhanna Udayana. Sejak itu
prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan -
kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan
Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M) datanglah empu Kuturan dari Jawa Timur
ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali
adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat
" Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara membuat
tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam
rental Usana Dewa. Kedatangan Empu Kuturan di Bali membawa perubahan besar
dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan JagatBali,
membuat kahyangan Catur loka pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga
memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan
lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga.
Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau
mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya : jenis - jenis upacara,
jenis - jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya se bagaimana di uraikan
didalam lontar Dewatattwa.
Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum
kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - isatana raja disebut Keraton atau
Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja
akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai didalam
prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan
berarti Kota
atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya . Pemerintahan
dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit.
Kitab Nagarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit
diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri
Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan
lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal
istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di
Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan
Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata
pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di
Klungkung disamping juga isfilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini
lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu
diganti dengan kata Puri.
Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di
Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489
M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali.
Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya
peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Mpu Kuturan ke
paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara
pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada
pura untak Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.
Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru
dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga
kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur
bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit
untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal
itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana
untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggib pemujaan Dewa
serta Roh Leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura
digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dcngan pengertian sebagai
tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan
Bbatara atau Dewa pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadpun demikian namun kini masih
dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota
misainya Amlapura atau kota
asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal
dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan
mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua.
Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah
leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang
telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode
Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada
waktu itu berbentuk punden berundak- undak yang diduga sebagai replika (bentuk
tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari
roh leluhur atau alam arwah. Sistim pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian
berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia.
Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan
lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah,
adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru )
sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap
sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih
lanjut setelah melalui tingkatan upacara keagamaan tertentu (upacara penyucian)
Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam
satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah
Atmasiddhadewata.
Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu
unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah - olah tampak sebagai
terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap
memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut
muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkcmbang
bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu
terlihat pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan
secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kcbudayaan Indonesia
asli dengan sistcm pemujaan dewa manifcstasinya Hyang Widhi sebagai unsur
kcbudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain tcrlihat pada konsepsi Pura sebagai
tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk
pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini membcrikan salah satu
pengcrtian bahwa Pura adalah simbul Gunung ( Mahameru) tempat pemujaan dewa
dan bhatara
Dari berbagai jenis pura di Bali
dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan
bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :
a. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk
memuja Hyang Widhi / dewa.
b. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.
b. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi
seperti tersebut diatas, bukan tidak mungkin terdapat ptila pura yang berfungsi
ganda yaitu sclain untuk memuja Hytng Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara.
Hal itu di mungkinkan mengingat adanya ke percayaan bahwa sctelah melalui
upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata
(telah memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.
Fungsi pura tcrscbut dapat diperinci lebih jauh
berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya
kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial,
politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain
berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas
jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan
kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah
kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan
sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan
dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan
perkembangan lebih lanjut.
Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
1).PURA UMUM.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat
pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong
umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan
Jagat Bali. Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura
Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan. Pura lainnya
yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat
pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang
Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada bakekatnya
semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar
ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong
kedalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak,
Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura
tersebut berkaitan dengan dharmayatra-yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha
karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang
Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di
hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di
Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala,
1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan
Mengwi.
Ada tanda - tanda
bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya
mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura
Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di
tepi pantai laut.
Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya
mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan
dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar
dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah
tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.
2.) PURA TERITORIAL
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah (
teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau
suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa
tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat
ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki
tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem
yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan
Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama
kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali,
Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura
Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem
yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra (
Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga
tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem
Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat
berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat
sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura
Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru.
Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga
seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem
Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.
3). PURA FUNGSIONAL
Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana
umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang
sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan
nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan
pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau
Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun
Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan
pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan
pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain
sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata
pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang
disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan didalam pasar yang
dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4.) PURA KAWITAN:
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh
adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura
ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib
luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah
tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau
kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari
beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari
nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut Pura
Dadya sehingga mereka disebut.Tunggal Dadya. Keluarga inti disebut juga
keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu
keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti
terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum
kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut
Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan
kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan
kelompok kmbat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari
beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat tcrsebut mempunyai
ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa
daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu
ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen )
dan sebagainya. Didalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga
batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura
lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap
keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh
leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar
kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai
dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :
a.BERDASARKAN ATAS FUNGSINYA :
1). Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai
tempat memuja Sang Hyang Widhi asa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya).
2) Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci
untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur).
b. Berdasarkan atas Karakterisasi nya
1). Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat
memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan
dan Pura Jagat yang lain.
2). Pura Kahyangan Desa (Teritorial ) yaitu Pura
yang disungsung (dipuja dan dipelihara ) oleh Desa Adat.
3). Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura
yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai
profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan
sebagainya .
4). Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya
ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis(vertikal
geneologis)seperti:Sanggah,Pemerajan, lbu, Panti, Dadya, Batur, Penataran
Dadya, Padharman dan
yang sejenisnya.
yang sejenisnya.
Pengelompokan pura diatas jelas
berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan
konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan
pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang
disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disung oleh
klaim atau keluarga tertentu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar