Sabtu, 02 November 2013

Perspektif Hindu dalam Tari Bali dan Tari Pendet

Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan tersebut.
Upacara di Pura-Pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi, Pura-Pura, dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang bersifat menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi seni wali yang disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang berfungsi sebagai tontonan atau hiburan saja.
Pada seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan. Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya pada tari Pendet ada canang sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi), pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada tari Rejang pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus Rejang Renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup…), dan beras sekar ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak boleh digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang masih muda, belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan pewintenan (upacara
penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Dalam sejarahnya tari wali ini sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang berkembang di daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dibuat bersamaan atau sesudah tari wali itu diciptakan atau sebelumnya. Meskipun tarian ini diciptakan manusia, tetapi karena sudah merupakan konsensus dari masyarakat pendukungnya maka tari wali ini mendapat tempat khusus di hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agama, terutama agama Hindu.
Tari-tari wali yang tercipta di Bali mirip dengan tari-tari ritual di India. Menurut mitologi tarian-tarian wali itu diciptakan oleh Dewa Brahma,  dan Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya, yaitu Siwa Nata Raja. Di mana Dewa Siwa memutar dunia dengan gerakan mudranya yang berkekuatan ghaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna dan kekuatan tertentu sehingga
tarian ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra ini, karena sangat sakral.
Di Bali untuk menambah kekuatan sekala dan niskala pada tarian sering disertai dengan banten-banten (sesajian) Pasupati untuk penari atau perlengkapan tari tertentu. Untuk pertunjukkan tari wali tertentu, diawali dengan sesajian dan tetabuhan agar tidak diganggu bhuta kala giraha dan bhuta kala kapiragan. Tak jarang persembahan tari dalam ritual tertentu dilakukan prosesi Pasupati, baik secara sederhana dengan menggunakan banten Pasupati atau dilakukan dengan lebih khusus, lebih besar atau istimewa untuk memohon agar si penari dibimbing sesuai dengan kehendak Ida Betara.
Pasupati artinya raja gembala hewan. Maksudnya agar si penari layaknya hewan gembala yang diatur dan digembalakan sepenuhnya oleh si penggembala, yaitu Ida Betara. Maka setiap gerak-gerik penari tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri, sebagian gerakannya dijiwai oleh Ida Betara yang dimohonkan. Sehingga tarian itu akan memiliki niskala (kekuatan magis).
Pasupati
Tari Bali diciptakan penciptanya berdasarkan insting atau naluri dalam berkesenian. Apakah dengan meniru gerakan manusia, air, pohon dan sebagainya, sehingga terangkum dalam gerakan yang memiliki nilai seni.
Pada masyarakat berkebudayaan tinggi serta menjujung  nilai-nilai religius agraris dan mistis seperti di Bali, gerakan tari disertai aksen-aksen tertentu yang berkekuatan ghaib. Disertai banten-banten dan mantra-mantra tertentu untuk mengundang kekuatan sekala dan niskala, sehingga mendukung dan menunjang kesakralan tarian tersebut.
Tari sakral dipersembahkan dengan ritual tertentu pada hari tertentu untuk menyenangkan Ida Betara atau Hyang Kuasa sehingga berkenan memberi berkah berupa kesejahteraan sekala dan niskala
(jasmani dan rohani). Misalnya barong yang ada di Pura diberi persembahan puja wali dan disolahkan atau ditarikan pada saat odalan (hari jadi Pura banjar) atau karya tertentu adalah hal yang sakral. Kesakralan akan terkait dengan ritual tertentu dan ujung-ujungnya adalah keyakinan.
Sakral atau tidaknya tarian atau pertunjukan seni dapat diukur dengan beberapa kategori umum, yaitu tari sakral atau pertunjukan seni sakral tidak pernah diupah atau disewa untuk pertunjukan hiburan atau komersial. Berfungsi sebagai pelaksana atau pemuput karya. Membawa atau menggunakan perlengkapan atau peralatan yang khas. Dan orang yang akan menari juga adalah orang pilihan, baik secara skala  melalui pemilihan dan persetujuan dari masyarakat pendukungnya atau melalui
metuwunan yaitu dengan memohon petunjuk niskala baik dengan cara kerauhan (upacara penitisan sebagai sarana untuk menerima wahyu dari Hyang Widhi, biasanya orang-orang tertentu saja yang mengalami), dan sebagainya. Contoh : Tari Pendet, tari Baris Gede, tari Rejang, tari Sang Hyang, tari Topeng Dalem Sidakarya, tari Ketekok Jago, pertunjukan Wayang Lemah, dan Wayang Sapuh Leger. Ada juga tari atau pertunjukan seni tidak sakral (tari atau pertunjukan seni profan) yang bisa diupah atau disewa, berfungsi sebagai hiburan atau pendukung acara tertentu, tidak harus menggunakan peralatan atau perlengkapan tertentu yang bersifat sakral. Contoh : Joged Bumbung.
Seni tari Bali pada umumnya dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu tari wali atau tari seni pertunjukan sakral, tari bebali atau seni tari pertunjukan upacara dan juga untuk hiburan pengunjung, dan tari balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali, I Made Bandem Wijaya, pda awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tarian Bali tersebut, antara lain yang tergolong ke dalam tari wali seperti Berutuk, Sang Hyang, Dedari,
Rejang, Baris Gede, Sang Hyang Jaran, Janger. Tari bebali antara lain tari Topeng, Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong, dan tari balih-balihan misalnya tari Legong, Arja, Joged Bumbung, Drama Gong, Barong, Pendet, Kecak. Tari Pendet.
Tari Pendet
yang bercerita tentang turunnya Dewi-Dewi kahyangan ke bumi. Meski tarian ini tergolong ke dalam jenis tarian wali namun berbeda dengan tarian upacara lain yang biasanya memerlukan para penari khusus dan terlatih, siapapun bisa menarikan tari Pendet, baik yang sudah terlatih maupun yang masih awam, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa. Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis muda hanya mengikuti gerakan penari perempuan senior yang ada di depan mereka, yang mengerti tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik. Tidak memerlukan pelatihan intensif.
Pada awalnya tari Pendet merupakan tari pemujaan  yang banyak diperagakan di Pura, yang menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke alam marcapada, merupakan pernyataan persembahan dalam bentuk tarian upacara. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman tari Bali mengubah tari Pendet menjadi tari “Ucapan Selamat Datang”, dilakukan sambil menaburkan bunga di hadapan para tamu yang datang, seperti Aloha di Hawaii. Kendati demikian bukan berarti tari
Pendet jadi hilang kesakralannya. Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius  dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental.

Tari Pendet Sakral
Biasanya Tari Pendet dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan setelah tari Rejang di halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih). Para penari Pendet berdandan layaknya para penari upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara, masing-masing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku (wadah air suci), kendi, cawan, dan yang lainnya.
Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar,  Wayan Dibia, menegaskan bahwa menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali.
Tarian ini merupakan tarian yang dibawakan oleh sekelompok remaja putri, masing-masing membawa mangkuk perak (bokor) yang penuh berisi bunga. Pada akhir tarian para penari menaburkan bunga ke arah penonton sebagai ucapan selamat datang. Tarian ini biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau memulai suatu pertunjukkan (1999: 47).
Pencipta atau koreografer bentuk modern tari Pendet ini adalah I Wayan Rindi (?-1967), merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya.
Menurut anak bungsunya, I Ketut Sutapa, I Wayan Rindi memodifikasi Tari Pendet sakral menjadi Tari Pendet penyambutan yang kini diklaim Malaysia sebagai bagian dari budayanya. Keluarga I Wayan Rindi sangat menyesalkan hal ini. Semasa hidupnya I Wayan Rindi tak pernah berpikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.   

Tari Pendet Penyambutan
Di samping belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah dipatenkan karena mengandung nilai spiritual yang luas dan tak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Dalam hal ini, I Ketut Sutapa, dosen seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali mengharapkan pemerintah mulai bertindak untuk menyelamatkan warisan budaya nasional dari tangan jahil negara lain.
Menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sejarah seharusnya lebih proporsional dari pendekatan ilmu pengetahuan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena HAKI adalah produk budaya barat yang baru eksis kemudian. HAKI tidak cukup layak mengamankan produk-produk budaya sebelum HAKI didirikan, apa lagi pemanfaatannya lebih berorientasi kolektifitas, bukan individualitas seperti paham budaya barat.
HAKI tidak akan sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat beradab dan bermartabat. HAKI diarahkan untuk kepentingan ekonomis, sedangkan produk-produk budaya Indonesia lebih berorientasi kepentingan sosial.

PENGERTIAN DAN PENGELOMPOKAN PURA DI BALI






1. PENGERTIAN PURA
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sansekerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahya ngan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam Prasasti Sukawana A I tahun 882 M. Kata Ulan yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ Sanghyang di uruñan " yang artinya tempat suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk dewa Karimama, tempat suci untuk dewa api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.
Prasasti -prasasti yang disebutkan diatas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dhanna Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M) datanglah empu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rental Usana Dewa. Kedatangan Empu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan JagatBali, membuat kahyangan Catur loka pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya : jenis - jenis upacara, jenis - jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya se bagaimana di uraikan didalam lontar Dewatattwa.
Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - isatana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai didalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya . Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga isfilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri.
Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Mpu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untak Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.
Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggib pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dcngan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadpun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistim pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan upacara keagamaan tertentu (upacara penyucian) Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.
Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah - olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkcmbang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kcbudayaan Indonesia asli dengan sistcm pemujaan dewa manifcstasinya Hyang Widhi sebagai unsur kcbudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain tcrlihat pada konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini membcrikan salah satu pengcrtian bahwa Pura adalah simbul Gunung ( Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara

2. PENGELOMPOKAN PURA
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :
a. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
b. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut diatas, bukan tidak mungkin terdapat ptila pura yang berfungsi ganda yaitu sclain untuk memuja Hytng Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya ke percayaan bahwa sctelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.
Fungsi pura tcrscbut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
 
1).PURA UMUM.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat Bali. Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada bakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong kedalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra-yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.
Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.
Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2.) PURA TERITORIAL
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

3). PURA FUNGSIONAL
Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan didalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4.) PURA KAWITAN:
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut Pura Dadya sehingga mereka disebut.Tunggal Dadya. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kmbat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat tcrsebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Didalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :


a.BERDASARKAN ATAS FUNGSINYA :
1). Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi asa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya).
2) Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur).
b. Berdasarkan atas Karakterisasi nya
1). Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2). Pura Kahyangan Desa (Teritorial ) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara ) oleh Desa Adat.
3). Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .
4). Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis(vertikal geneologis)seperti:Sanggah,Pemerajan, lbu, Panti, Dadya, Batur, Penataran Dadya, Padharman dan
yang sejenisnya. 
Pengelompokan pura diatas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disung oleh klaim atau keluarga tertentu saja.

Jumat, 01 November 2013

PENCIPTAAN JAGAT RAYA MENURUT HINDU DAN RESPON TERHADAP TEORI-TEORI ILMIAH BARU



In the beginning, there was but the Absolute Self alone.
Nothing else was. Brahman willed,
 Let me create the world

                                                                                       Aitareya Upaniûad I.1.1.
Pendahuluan
            Teori tentang penciptaan jagat raya bersumber kepada kitab suci Veda dan susastra Hindu. Kitab suci Veda merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari kitab Ågveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda. Masing-masing kitab itu disebut Samhita dan keempatnya disebut Catur Veda Samhita. Masing-masing Samhita tersebut memiliki kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upaniûad yang jumlahnya cukup banyak. Seluruh kitab-kitab tersebut digolongkan ke dalam kitab-kitab Sruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab-kitab Upaniûad juga disebut kitab-kitab Vedànta atau bagian akhir yang merupakan semacam kesimpulan atau intisari Veda.
            Di samping sumber utama tersebut di atas, sumber lainnya adalah kitab-kitab yang digolongkan ke dalam kitab-kitab susastra Hindu, yaitu kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata, juga kitab-kitab Puràóa yang jumlahnya sebanyak 18 buah. Kitab-kitab tersebut menguraikan tentang penciptaan alam semesta, makhluk hidup di dalamnya dan bagaimana proses penciptaan tersebut terjadi. Khusus kitab-kitab Puràóa, sampradaya atau kelompok keagamaan Hindu Vaiûóava memasukkannya ke dalam kitab Veda atau sruti,  yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan meyakini mahàrûi Vyasa sebagai penyusun kitab-kitab tersebut juga sebagai avatara-Nya (Penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa).


Penciptaan menurut kitab suci Veda
Di dalam kitab suci Veda terdapat dua Sùkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasùkta dan Puruûasùkta. Yang pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta. Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazùkta (Terjadinya Alam Semesta)(Ågveda X.129.1-7) tersebut.

 ‘Pada waktu itu, tidak ada makhluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya (1)’

‘Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’

‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan.  Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’

‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Åûi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi  (4)’

‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’

‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang  dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’
                       
‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’

            Dari terjemahan mantram Ågveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta ini. Sùkta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sùkta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material. Sùkta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. Sùkta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para Åûi yang bermeditasi kepada-Nya (Sùkta 4). Sùkta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. Sùkta  keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta.
            Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasùkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Åûi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian. V.  Madhusudan Reddy (1991:186) menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dengan kekuatan-Nya yang sangat unik dengan pemusatan pikiran, mewujudkan kekuatan anima (salah satu kekuasaan-Nya menjadikan diri-Nya sangat halus tidak tertangkap oleh indra penglihatan) menciptakan dunia dan alam semesta yang tidak abadi dan berbagai keserbaragaman. Tuhan Yang Maha Esa mengejawantah dalam berbagai hal, dan juga menjadi dasar yang mengatur semua, menyatukan dan mengharmonisasikannya, seperti dinyatakan dalam terjemahan mantra Ågveda V.81.2 berikut:

‘Tuhan Maha Pencipta, Yang memancarkan cahaya-Nya dalam berbagai wujud, dan yang selalu menganugrahkan kebajikan kepada semua ciptaan-Nya. Yang Maha Bercahaya menerangi jagat raya, sorga, dan selalu bercahaya di luar Fajar’.

            Tuhan Yang Maha Esa yang memancarkan cahaya gemerlapan, menyinari segalanya dan memberikan kesadaran kepada alam semesta. Ia adalah api kedevataan, maha mengetahui dan merupakan nafas hidup dari jagat raya, yang tanpa batas, yang kekuatan tapa-Nya tiada habisnya, bagaikan mentega dan nektar keabadian. Lebih jauh di dalam Ågveda III.26.7 dinyatakan bahwa:

Segala sesuatunya merupakan ekspåûi pancaran Cahaya dari segala cahaya. Ia yang muncul dari keadaan Gelap (Malam Brahma). Ia yang sangat mengagumkan, Ia yang membentang sangat jauh dan mengejawantahkan diri-Nya.

            Di dalam Ågveda I.113.1 dinyatakan bahwa alam semesta sebagai Wujud Yang Agung (Supreme Form). Hal tersebut merujuk kepada tiga kondisi Yang Maha Suci, yaitu status caratham, jagatas tasthusas dan amritam martyam, yakni yang tidak bergerak dan kekal abadi dan yang berubah-ubah, yang tidak terbatas dan yang terbatas, dan yang hidup abadi dan yang fana (Reddy, 1991:188).
            Demikian pula dinyatakan bahwa kekuatan aktif yang bersinar terang benderang merupakan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, bermanifestasi melalui hukum-Nya yang abadi, tercipta bersama dengan kausa material alam semesta, dari sana malam (sesudah alam tercipta berlangsung) diciptakan. Dari sana pula samudra atmosfir yang mengandung prinsip-prinsip kosmik menjadi terwujud (Ågveda X.190.1).
            Berdasarkan uraian singkat di atas dapat dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa melalui kekuatan tapas, memancarkan energi (cahaya) dari kegelapan yang pekat dan kosong, kemudian atas kehendak-Nya berlangsung proses penciptaan yang berasal dari energi atau cahaya-Nya yang maha dahsyat tersebut.
            Tentang penciptaan alam semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruûasùkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa) (Ågveda X.90.1-16)  yang terjemahannya dikutipkan sebagai berikut.

Puruûa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’

‘Sesungguhnya Puruûa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’

‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruûa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’

‘Tiga perempat dari Puruûa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa  dan yang tidak bernyawa (4)’.

‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Viràj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’

‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruûa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi,  kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’

‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruûa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Åûi mempersembahkan kurban (7)’

‘Dari korban Puruûa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’

‘Dari korban  Puruûa  yang dipersembahkan, Ric (Ågveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’

‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.

‘Ketika mereka menjadikan Puruûa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’

‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan  Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’

‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.

‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul  bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.

‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga  kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruûa sebagai kurban (15)’

‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’

            Puruûasùkta adalah sebuah Sùkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sùkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahàrûi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahàrûi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).
            Puruûa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruûa. Dari Puruûa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).
            Menurut Puruûasùkta di atas,  Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia. Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan  (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula. Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut  Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.
            Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ågveda X.121.1 berikut.

Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.       

            Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu            kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).
            Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.


Penciptaan menurut kitab-kitab Upaniûad (Vedànta)
            Seperti disebutkan di atas, kitab-kitab Upaniûad juga disebut sebagai sruti (wahyu Tuhan Yang Maha Esa). Kitab-kitab Upaniûad juga disebut kitab-kitab Uttara Mimaýúa atau Vedànta yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat yang artinya akhir dari Veda  (vedasya antah), kesimpulan maupun tujuan Veda (Radha- krishnan, 1990:24). Di dalam kitab-kitab Upaniûad, kata yang dipergunakan untuk mengartikan Yang Nyata Maha Tinggi, Ma Pencipta adalah Brahman. Kata ini berasal dari akar kata brh yang berarti berkembang, timbul atau muncul ke mana-mana. Kata turunannya berarti meluap ke luar, berbuih ke luar, perkembangan yang tidak habis-habisnya, brihattvam. Menurut Sankara, Brahman berasal dari akar kata brihati, melampaui, atisayana, kebadian, murni. Menurut Madhva, Brahman adalah oknum yang seluruh sifatnya ada dalam kesempurnaan, brihanto hy asmin gunah. Yang nyata bukanlah suatu abstraksi yang redup, melainkan sangatlah hidup dan dengan vitalitas yang kuat  (Radhakrishan, 1990:52).
            Di dalam Brihadaranyaka Upaniûad (II.1.1-20) dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta semua makhluk. Itulah sesungguhnya yang harus dimengerti. Brahman adalah Satyasya Satyam. Yang Nyata dari Yang Nyata, sumber dari semua benda-benda yang ada. Di dalam  Katha Upaniûad  (II.50) dinyatakan bahwa api setelah memasuki alam semesta mengambil semua bentuk. Di dalam Chandogya Upaniûad (VI.8.4) dinyatakan bahwa api yang muncul pertama dari Makhluk Pertama, dan dari api muncullah air, dari air muncullah tanah. Pada saat peleburan kembali, tanah dilebur pada air, air pada api, dan api pada Makhluk Pertama.
Mandukya Upaniûad menyatakan bahwa Brahman adalah catus-pat, berkaki empat atau memiliki empat azas, yaitu: Brahman (Impersonal), Isvara (Personal), Hiranyagarbha (bibit seperti telur berwarna keemasan yang melahirkan Brahmanda-Brahmanda, telor-telor Brahman atau planet-planet di alam raya) dan Viraj (energi yang bercahaya). Radhakrishnan (1990:65) menyatakan adanya empat macam status dari Yang Nyata Abadi, yaitu (1) Brahman Yang Mutlak, (2) Isvara, yakni Jiwa yang berkemampuan (Creative Spirit), (3) Hiranyagarbha (Jiwa alam semesta), dan (4) Alam Semesta.
            Dalam perkembangan selanjutnya ketika kitab-kitab Upaniûad dirumuskan menjadi sebuah sistem filsafat yang dikenal dengan nama Vedànta, maka muncullah kitab Vedàntasara atau Vedàntasutra yang disusun oleh mahàrûi Vyasa. Kitab ini diduga sudah ada sebelum 5.000 tahun  yang lalu. Sekitar 5.000 tahun yang lalu muncul kitab Srimadbhagavatam atau Bhagavata Puràóa yang memberi ulasan terhadap Vedàntasutra. Setelah itu kitab ini dijelaskan oleh beberapa acarya atau guru-guru suci. Ulasan Sankaracarya (sekitar abad delapan Masehi), merupakan ulasan dari perguruan impersonal dan monistik (advaita). Ulasan Ramanujacarya (sekitar abad sebelas Masehi) dari perguruan keesaan khusus (vasistadvaita).Ulasan Nimbarkacarya (sekitar abad dua belas sampai empat belas Masehi) adalah ulasan keesaan dan dualisme  (dvaitadvaita) dan ulasan Madhvacarya (abad tiga belas Masehi) adalah perguruan dualisme (Bhaktisvarupa, 2003:4).
            Menurut Bhaktisvarupa Damodara Svami (2003:35) Vedànta merupakan bentuk risalat ilmiah dan keagamaan yang paling maju dari warisan kultural dan spiritual India. Makna dasar dari kata Vedànta adalah pengetahuan kebenaran yang tertinggi. Vedànta tidak hanya merujuk kepada Vedàntasutra melainkan juga kepada semua pustaka Veda, yang menjelaskan kesimpulan-kesimpulan dari Veda, khususnya Bhagavadgìtà, Srimadbhagavatam, kitab-kitab Upaniûad, dan lain sebagainya.
            Di dalam sutra (aforisme) 1.1.2 dari Vedàntasutra dinyatakan: janmadyasya yatah, yang terjemahannya adalah: Brahman, Kebenaran Mutlak atau Tuhan Yang Maha Esa adalah yang dari Siapa penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan alam semesta ini berasal. Secara singkat dapat dinyatakan Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
            Perwujudan alam semesta ini sebagai energi material dipisahkan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui Kala, waktu yang merupakan segi impersonal Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber asli dan sebab dari segala sesuatu sarva karana karanam. Dalam Bhagavadgìtà (X.8), Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krisna memberi tahu Arjuna, teman dan penyembah-Nya, “Akulah sumber dari semua dunia spiritual dan material. Segala sesuatu memancar dari-Ku (Bhaktisvarupa, 2003:52).


Penciptaan menurut kitab-kitab Puràóa
Isi pokok kitab-kitab Puràóa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada setiap masa), (4) Vamsa (cerita dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Åûi-Åûi dan raja yang  akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya pada sarga dan pratisarga sebagai berikut.
1)  Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus)
Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara) dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat), selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga udaritah). Di kitab-kitab Puràóa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak termanifestasikan, avyakrita, yakni unsur materi yang pertama atau Prakriti), dari tiga lapis Ahamkara (keakuan dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara) dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas) organ indriya (Panca Budhiriya, Karmendriya dan pikiran) dan obyek-obyek indriya. Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan (2) Laukika (keduniawian). Penciptaan kedevataan merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata, saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha, mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia. Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan). Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Puràóa menggambarkan jalan pengetahuan (Jnana Marga)(Tagare, Vol. Part 5, 1989: XXIV).
Di dalam kitab Bhagavata Puràóa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlaut pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devata yang bersemayam pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit). 
            Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Puràóa (17.1-16), sebagai berikut:
Agni bersabda:
Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam Samkhya disebut Brahma). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).
1)      Brahma, yang tidak menampakan diri, sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam  Prakriti (unsur materi) dan ke dalam Puruûa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya (2).
2)      Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat). Kemudian terwujudlah ego (ahamkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan (3).
3)       Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara). Kemudian angin (vayu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rupa) menjadi ada dari padanya (4).
4)       Air (apah) sebagai unsur dasar rasa (ràsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (prithivi) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indriya (menjadi ada) yang nampak berkilauan (5).
5)       Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup (6).
6)      Sang Hyang Brahma menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan  (disebut)  sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi (7).
7)      Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan (8).
8)      Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup (di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).
9)      Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ågveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).
10)  Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).
11)  Kemudian Ia menciptakan para Åûi Marici, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).
12)  Oh, Yang Mulia! Para Åûi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).
Pada bagian lain, kitab Agni Puràóa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci   proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:
1)      Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahma. Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca mahabhuta (1).
2)      Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindriyasarga). Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).
3)      Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan  sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain (3).
4)      Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvaksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).
5)      Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan  yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).
6)      Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyàti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinì. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).
           Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Puràóa, yang dapat diringkas (direkapitulasi), sebagai berikut.
1) Ciptaan pertama
(1). Mahat (ciptaan kesadaran yang tinggi)
            (2). Tanmatra (ciptaan disini disebut  juga Bhutasarga)
            (3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)
            Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai
            awal ciptaan.
1)      Penciptaan yang kedua
(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)
            (5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)
            (6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).
            (7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)
            (8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)
Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi  mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).
2)      Penciptaan (setelah) kedua (?)
(9). Kaumarasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara  dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu, Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).
G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Puràóa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Puràóa  ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedànta, (2). Teori Puràóa dan (3). Teori Samkhya. Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:
1)      Teori Samkhya-Vedànta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur  yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Mahabhuta dan Pañca Tanmatra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña. Kitab-kitab Puràóa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Samkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/ I.1.4,16).  Teori sintese Samkhya-Vedànta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Puràóa, antara lain: Agni Puràóa XVII.2-26, Brahmanda Puràóa I.1.3.6, dan Kurma Puràóa I.2.3.
2)      Teori Puràóa. Ksetrajña disebut Brahma yang  bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk  matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma. Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).
3)      Teori Samkhya. Teori Vedànta, Samkhya  dan Puràóa dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas), Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu (dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.
Dari kutipan di atas, maka jelaslah bagi kita teori evolusi yang tercantum dalam kitab-kitab Puràóa rupanya merupakan perpaduan antara teori penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda (Brahmana dan Upaniûad/Vedànta) dan sistem filsafat Hindu Samkhya.
2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta)
Penciptaan alam semesta tidaklah sebuah kenyataan yang permanen (kekal), semua ciptaan akan berakkhir pada masa penghancuran yang selanjutnya berulang pada masa penciptaan kembali. Demikianlah, dalam kitab-kitab Puràóa diuraikan beberapa macam penghancuran besar dan kecil (Shastri, Vol.3, Part I, 1990:XXI).Di dalam kitab-kitab Puràóa dinyatakan sebuah penghancuran total terjadi pada setiap hari Brahma yang lamanya sama dengan satu Kalpa, satu periode yang lamanya 432 juta tahun manusia. Satu Kalpa terdiri dari 14 Manvantara. Jadi satu hari Brahma sama dengan satu Kalpa terdiri dari 14 kali penghancuran. Tetapi penghancuran tersebut tidak merupakan penghancuran total, melainkan parsial. Pada akhir Manvantara (akhir Manvantara yang ke-14), sama dengan sehari Brahma dan hal itu merupakan satu Kalpa, yang sama dengan sebuah penghancuran yang besar. Hal itu juga merupakan sebuah penghancuran yang lengkap ketika Brahma mengakhiri kehidupan-Nya. Sebelum penghancuran ini (Prakritaprakaya), mahluk hidup dan benda-benda yang bergerak dan yang tidak bergerak, para devata, Asura, ular-ular, raksasa, dan lain-lain semuanya hancur lebur. Segala sesuatunya itu lenyap danm kembali kepada Prakriti yang masuk dan tersembunyi ke dalam devata tertinggi Sang Hyang Siva. Sang Hyang Siva sendiri yang bertahan, tidak ada mahluk apapun di mana-mana (Linga Puràóa I.85.7-8).
Ketika awal penciptaan kembali setelah masa penghancuran, Sang Hyang Siva tampil dalam 2 wujud, yaitu berupa Prakriti dan Atman. Sang Hyang Visnu mengambil wujud sebagai Prakriti dan terletang dalam sikap seorang yogi  (yoganidra) di tengah-tengah air. Selanjutnya Brahma lahir dari sebuah bunga padma yang muncul dari pusar Sang Hyang Visnu. Brahma meminta Sang Hyang Siva untuk memberikan kekuatan untuk menciptakan kembali alam  semesta bersama seluruh isinya (Ibid., I.85. 10-11)
Kitab Kurma Puràóa menyebut Pratisarga dengan Pratisañcara dan menguraikan dua versi yang berbeda, satu menunjukkan pengaruh Vaiûóava dan yang lain menunjukkan pengaruh Saiva. Terdapat 4 macam penghancuran (laya), yakni: Nitya, Naimittika, Prakrita dan Atyanta. Nitya adalah ketidak munculannya sehari-hari dari bumi ini dalam kegelapan dan Atyantika adalah persatuan tertinggi dan terakhir dari setiap roh individu ke-dalam alam Visnu melalui pengetahuan spiritual. Dalam tiap Pralaya ini, roh individu tidak kembali lagi menjelma dari alam baka. Naimittika Pralaya mengambil tempat pada akhir setiap Kalpa. Pada saat itu, terjadi kekeringan yang mengerikan selama ratusan tahun dan semua samudra menguap yang menjadikan panas matahari sangat kejam. Api kehancuran meledak dan membakar habis segalanya dan Sang Hyang Visnu (Prajapati) dalam wujud sebagai seorang Yogi dalam posisi tidur (Yoganidra) untuk satu Kalpa lamanya. Terdapat beberapa jenis Kalpa (Kurma II.45). Prakrita Pralaya datang setelah dua tahun parardha. Sang Hyang Mahadeva berwujud api yang memusnahkan dan membakar seluruh jagat raya termasuk para devata Brahma, Visnu dan Siva (tiga devata ini lebih rendah tingkatannya dibanding dengan Tuhan Yang Maha Agung). Menggunakan hiasan karangan bunga dari tengkorak manusia, Mahadeva menunjukkan tarian Tandava. Devi (pasangannya) masuk ke dalam tubuh Sang Hyang Mahadeva dan proses penarikan kembali semua unsur  Pañca Mahabhuta berlangsung, unsur Prithivi (tanah) bersama dengan Guna (seperti bau) menyatu ke dalam unsur air dan seterusnya, sampai segala sesuatunya lebur dan bersatu ke dalam Mahat, yang akhirnya kembali ke dalam diri Sang Hyang Mahadeva. Pradhana dan Puruûa kembali terpisah, saat itu terjadi keseimbangan unsur Tri Guna dari Prakriti (Kurma I.5.19, II.45. dan 46, 1-25).
Proses peleburan dan penciptaan kembali dapat pula kita jumpai dalam Visnu (I.7.41-43; VI.3.2) dan Brahmanda Puràóa (II.4.132-190, II.4.3.1-24; II.4.1.1311). Berikut kami kutipkan penjelasan tentang proses peleburan dan penciptaan kembali  menurut kitab Brahmanda Puràóa.
(1)   Nitya Pralaya (yang biasa) yakni segala sesuatu yang terjadi setiap hari seperti hidup dan matinya semua mahluk.
(2)   Naimitika Pralaya (secara periodik), mengambil bagian pada akhir sebuah Kalpa, yakni pada akhir satu set ribuan (Catur) Yuga. Sang Hyang Brahma memulai menarik semua unsur alam semesta ke dalam diri-Nya. Terjadi kekeringan yang berkelanjutan ratusan tahun lamanya, matahari dengan 7 pancaran sinarnya membakar segala sesuatu dan semua samudra menguap. Api Samvartaka membakar Catur Loka (Bhur, Bhuvah, Svah dan Mahat). Selanjutnya mendung Samvartaka menebarkan hujan yang sangat deras dan s egala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak hancur lebur menjadi satu dalam bentuk samudra luas membentang dan Sang Hyang Brahma berwujud ribuan mata, ribuan kepala menyatu padu dan tertidur nyanyak untuk  seribu set Catur Yuga (siang dan malamnya Brahma) (II.4.132-190). Pada akhir malamnya Brahma, Ia bangkit kembali dan kembali mencipta. Siang dan malam Brahma, yang merupakan satu hari Brahma disebut Visesakalpa (Ibid. 190-210).
(3)   Prakritika Pralaya terjadi pada saat berakhirnya periode Brahma. Ketika itu berlangsung Pratyahara (tertariknya seluruh alam semesta) dalam waktu yang singkat, Bhuta (unsur materi yang kasar dan halus) langsung lenyap, evolusi Prakriti mulai dengan Mahat dan berakhir dengan Visesa hancur lebur. Air menelan  sifat tertentu seperti bau di bumi, api di dalam air meluap sampai ke Akasa, yang kemudian bersatu ke dalam Bhutadi. Dalam hal ini, evolusi Prakriti menelan semua yang lebih rendah, sampai Mahat menyatu ke dalam Gunasamya (keseimbangan Guna). Hanya Atman yang tersisa. Proses leburnya kembali prinsip dasar (Tattvasamya) berulang-ulang kembali (Bhagavata II.4.3.1-24).
(4)   Atyantika Pralaya bila seseorang mampu membebaskan dirinya melalui pengetahuan spiritual. Ia tidak mengambil wujud apapun, seperti halnya kecambah (tidak pernah muncul ke luar) ketika benih terbakar (Ibid.80-84). Hal  ini disebut penghancuran jalan spiritual (II.4.1.131)(Tagare, Vol. 22. Part I, XXXV).
Berdasarkan uraian tersebut, proses Pralaya dalam kitab-kitab Puràóa pada prinsipnya sama, dalam beberapa hal terjadi perbedaan namun hal tersebut tidaklah demikian penting dan teori tersebut sangat dekat dengan ajaran filsafat Samkhya dan Vedànta. Lebih jauh tentang penciptaan alam semesta, Sri Sathya Sai Avatar (2001:30) menyatakan: “There was no one to know who I am...... Till I created this world at my pleasure.....  With one word....”. Dari Omkara muncullah unsur-unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu yang pertama adalang ether. Dari ether muncul udara, dari udara muncul api, dari api muncul air, dari air  terciptalah bumi. Dari pusat Omkara munculah Kebenaran dan seluruh jagat raya ada dalam Keagungan dan Kemuliann-Nya. Dari samudra universal mucul Waktu (Kala) yang menguasai setiap saat. Yang mengatur siang dan malam. Selanjutnya, seperti sebelumnya. Tuhan Maha Pencipta menciptakan  matahari, bulan dan sorga, dan bumi. Di bumi segera saju muncul gunung-gunung, segera juga muncul sungai-sungai yang mengalirklan airnya. Bumi posisinya di bawah dan angkasa di atas. Terciptalah samudra-samudra dan lautan-lautan, tanah dan batas air, matahari, bulan dan pasir di gurun. Dia menciptakan angkasa, bumi dan sorga di luar itu dan air di bawah. “To prove my existence...... came all forms.......beasts.....and birds flying.....human beings......mankind......speaking ......hearing......And all powers.......were bestowed upon them under my orders”. “The fist place was granted to mankind and My knowledge was placed in his mind”. Yang terakhir ini kiranya berkaitan dengan God Spot yang terdapat pada bagian otak manusia.
Respon Hindu Tentang Penciptaan Terhadap Teori-Teori Ilmiah Baru
            Kebanyakan teori sains modern mengenai asal mula alam semesta didasarkan pada konsep Big Bang (ledakan besar) dan variasinya. Teori ini pertama-tama disusun pada tahun 1927 oleh seorang pendeta Belgia yang bernama Georges Lamaitre. Gagasan utama dari Big Bang adalah bahwa seluruh jagat raya diledakkan dari suatu keadaan padatan yang tak terbatas, pada tingkatan suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Akibatnya, alam semesta terpecah-pecah dan mengalami pendinginan. Para pendukung teori Big Bang menjelaskan bahwa pada suatu tingkat ekspansi tersebut terwujudlah berbagai partikel sub-atom. Setelah itu elemen-elemen cahaya seperti hidrogen dan helium terbentuk diikutim oleh elemen-elemen berat. Dengan terbentuknya elemen-elemen, tidak ada elektron bebeas yang tersisa yang memancarkan foton cahaya dan jagat raya ini menjadi transparan untuk radiasi, yang diamati sekarang sebagai latar belakang kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:39).
            Teori penciptaan alam semesta  Big Bang ini adalah teori yang sangat terkenal. Teori ini semakin mendapat dukungan dari berbagai kalangan ilmuwan karena menunjukkann bukti-bukti yang sangat kuat  dan dapat diterima secara meluas. Bahkan banyak kalangan agamawan akhirnya mendukung teori ini. Pengajuan teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa alam semesta  ini sekarang sedang mengembang. Pengamatan telah dilakukan dengan teleskop Hubble milik Amerika Serikat. Sebagai catatan teleskop Hubble diluncurkan oleh NASA pada 1990. Setahun kemudian, 1991 menyusul telekop Compton yang lebih canggih, bisa mendeteksi pancaran sinar Gama. Dan tahun 2003 NASA meluncurkan teleskop Spitzer yang bisa mendeteksi sinar infra merah. Data dari teleskop yang sangat canggih itu mencatat bahwa ternyata semua benda langit sedang bergerak saling menjauhi. Dan itu terjadi secara merata di berbagai penjuru langit. Jadi kalau kita melihat ke ‘atas’, maka diperoleh dasta bahwa benda-benda langit itu saling menjauhi. Demikian puka kalau kita melihat ke arah ‘bawah’ benda-benda langit pun bergerak saling menjauhi. Begitu pula bila kita melihat langit sebelah kiri dan kanan, semuanya sama, benda-benda langit bergerak saling menjauhi. Maka hanya ada satu kesimpulan, yaitu: alam semesta ternyata sedang mengembang. Bila demikian adanya, maka berarti, dulu alam semesta ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan sekarang. Atau dengan kata lain benda-benda langit berada pada posisi lebih dekat. Dan jika kita runut lebih ke belakang lagi, benda-benda langit itu dalam posisi sangat dekat. Dan akhirnya, sekian miliar tahun yang lalu,  semua benda langit berada dalam satu tempat. Di pusat alam semesta. Seluruhnya dimampatkan ke dalam satu titik. Betapa dahsyatnya pemampatan itu, karena material yang tak berhingga besarnya ditambah dengan energi yang sangat besar tak terkira ‘dipakska” berada dalam titik yang sama. Seperti sebuah pegas yang ditekan, maka dia cenderung akan melawan untuk melenting menuju posisi seimbangnya (Mustofa, 2005:54).
            Teori Big Bang mengatakan bahwa alam semesta yang dikompres ke dalam satu titik itu lantas menjadi tidak stabil, dan meledak dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Sehingga seluruh material cikal bakal alam semesta itu terhambur ke segala penjuru langit, itulah saat penciptaan alam semesta dimulai. Kejadian itu, diperkirakan oleh para pakar astronomi terjadi sekitar 12 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu 12 miliar tahun itulah alam semesta mengalami pendinginan secara berangsur-angsur. Dalam masa itu juga tercipta berbagai benda langit secara bertahap, seperti nebula, galaksi, matahari, planet dan satelit. Akibat ledakkan itu seluruh alam semesta mengembang. Bagaikan balon udara yang sedang ditiup (Mustofa, 2005:55).
            Ada beberapa tahapan proses penciptaan alam semesta ini.
1)  Tahap pertama adalah ketika alam semesta berupa cikal bakalnya yang disebut sebagai Sop Kosmos. Pada tahapan tersebut cikal bakal alam semesta itu berada dalam kondisi yang sangat labil disebabkan tempratur dan tekanan yang sangat tinggi. Zat yang ada di dalam Sop Kosmos itu tidak bisa didefinisikan sesuai dengan ragam zat yang ada sekarang. Dia bukan zat padat, bukan zat cair, juga bukan gas. Semacam kumpulan energi yang sangat ekstrim. Sebab semua material dan energi di alam ini dikompres ke dalam sebuah titik yang berukuran hampir nol, di mana ruang dan waktu juga berada di dalamnya. Semuanya terdapat dalam cikal bakal alam semesta dalam ukuran ‘Hampir Tiada’. Bahkan ada yang berpendapat bahwa cikal bakal itu sebenarnya adalah sebuah ‘Ketiadaan Mutlak. Alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Waktu pun tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya Ketiadaan Mutlak (Mustofa, 2005:56).
       Tahap pertama teori Big Bang di atas bahwa  alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya ‘Ketiadaan Mutlak’ sejalan dengan teori penciptaan menurut NasadiyaSùkta, kitab suci Ågveda (X.129.1-7) di atas. Teori Big Bang hampir sama dengan proses Pralaya (peleburan kembali) menuju Sristi atau Utpati (proses penciptaan).
2)  Tahap kedua adalah sesaat setelah ledakan terjadi. Pada detik pertama, suhu alam semesta turun menjadi 10 pangkat 10 derajat Kelvin. Ini sama dengan suhu di pusat matahari. Atau sama dengan suhu di bintang yang paling panas. Dan beberapa jam kemudian, mulailah terbentuk partikel-partikel elementer pembentuk alam semesta. Dan kemudian tercipta atom-atom bermassa rendah seperti Hidrogen dan Helium (Mustofa, 2005:56). Tahap kedua ini tampak seperti proses terciptanya Panca Tanmatra (lima unsur halus yang tidak dapat diukur) yakni: Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa), Rupa (unsur panas), Sparsa (unsur air) dan Sabda (unsur suara) yang nantinya memadat menjadi Panca Mahabhuta (lima unsur) yang lebih padat, yakni: Prathivi (tanah), Teja (api) Vayu (udara), Apah (air), dan Akasa (ether).
3) Tahap ketiga, selama jutaan tahun kemudian, alam semesta tidak mengalami perubahan yang berarti. Akan tetapi terus menerus mengembang ke segala penjuru. Puluhan jenis unsur alam semesta terbentuk. Ruang alam semesta semakin membesar. Waktu pun ikut bergerak maju (Mustofa, 2005:56). Proses tersebut sangat dekat maknanya dengan proses sthiti, yakni stabilnya alam semesta namun bergerak terus pada porosnya.
4)  Tahap keempat, selama kurun waktu miliaran tahun kemudian, terbentuklah benda-benda langit akibat pengelompokkan atom-atom dan molekul-molekul yang bersenyawa. Pada pembentukan generasi pertama, terciptalah bintang-bintang atau gugusan bintang dari material yang memang hanya ada di waktu itu, yaitu Hidrogen dan Helium. Hidrogen dan Helium ini masih tersisa di dalam matahari maupun bintang-bintang di jagad semesta. Dan setiap saat terjadi perubahan empat atom Hidrogen menjadi satu Helium sehingga menghasilkan panas jutaan derajat. Dan kemudian, panas itulah yang menghidupi ‘planet-planet’ yang mengorbit di sekitar matahari. Termasuk di dalamnya adalah bumi. Tanpa matahari, planet bumi tidak bisa memunculkan kehidupan. Allah menciptakan matahari agar di bumi terjadi kehidupan. Jika, suatu ketika, matahari padam, maka bumi pun ikut ‘mati’. Dan matahari memang akan mati di suatu saat nanti, sekian ratus juta tahun ke depan. Kenapa begitu? Ya, karena matahari itu sebuah tabung ‘gas’ yang sangat besar, namun terus-menerus mengalami penurunan jumlahnya akibat terbakar terus menerus. Reaksi yang terjadi di dalam matahari itu disebut sebagai reaksi termonuklir alias reaksi fusi. Lama kelamaan atom Hidrogennya habis, yang ada hanya atom Helium. Maka berhentilah proses pembakaran di sana. Dan matahari itu pun padam. Matahari kita tersebtuk sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Dia termasuk kelompok matahari generasi kedua, karena di dalamnya ditemukan gas-gas yang memiliki massa lebih besar dari Hidrogen dan helium. Sekitar 2 persen massa matahari ternyata mengandung Oksigen dan Carbon (Mustofa, 2005:56-57). Tahap keempat ini tampak seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda (telur Brahman, yakni planet-planet di jagat raya) dan matahari disebut sebagai yang terbesar dan yang memancarkan cahaya yang sangat besar di antara Brahmanda-Brahmanda tersebut. Di dalam Veda matahari (surya) disebut jyotir uttamamam, devam adidevam (cahaya yang gemerlapan dan utama, terbesar di antara planet-planet di alam raya) dan dsebut juga sebagai surya atma jagatas tasthusas ca (sumber hidup di jagat raya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak).
5)  Tahap kelima. Matahari, dulunya berasal dari gas panas (nebula) yang berpusar. Di tengah-tengah pusaran itu terbentuk matahari. Sedangkan di pinggirannya terjadi pendirnginan lokal yang lebih cepat dari pada pusatnya. Akibat pendinginan itu, maka terjadilah padatan-padatan, yang kemudian terpental akibat gaya putra (sentrifugal). Bagian yang terpental itu adalah cikal bakal planet-planet. Termasuk di dalamnya adalah planet bumi. Ini terjadi sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Jadi bumi kita sebenarnya sudah berusia sangat tua. Alam semesta sendiri berumur lebih tua, diperkirakan 12 miliar tahun. Dan sampai sekarang, proses penciptaan alam tersebut belum berhenti. Setiap saat selalu ada bintang atau matahari yang tercipta. Sebagaimana juga selalu ada matahari dan bintang yang padam. Demikian pula selalu ada planet-planet yang tercipta dan yang mengalami kehancuran. Benda-benda langit jumlahnya hampir tak berhingga. Di alam semesta ini diperkirakan ada sekitar 10 pangkat 80 partikel yang bisa teramati oleh para peneliti. Dalam waktu yang bersamaan, alam semesta juga terus berkembang. Hal ini teramati melalui teleskop Hubble. Sampai kapankah alam semesta terus berkembang? Diperkirakan sampai 3 miliar tahun lagi. Setelah waktu itulah, diperkirakan alam akhirat akan dimulai oleh Allah (Mustofa, 2005:57-58). Uraian tahap kelima ini masih sama seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda di jagat raya ini dan total umur alam semesta dinyatakan dalam kosmologi Vedànta adalah: 100 tahun Brahma = 100 x 360 x 2 x 1 Brahma = 311 triliun dan 40 milir tahun dan pada setiap 311.040 miliar tahun terjadilah peleburan total atau keseluruhan. Setelah itu penciptaan dimulai lagi (Bhaktisvarupa, 2003:76).
6)  Tahap keenam adalah tahap diciptakan oleh-Nya makhluk hidup di permukaan planet bumi hingga drama kehidupan yang digelar sampai kiamat nanti (Mustofa, 2005:58). Tentang bentuk kehidupan di bumi, kitab Padma Puràóa menyatakan sebagai berikut. “Secara keseluruhan terdapat 8.400.000 bentuk kehidupan. 900.000 bentuk kehidupan di dalam air, dan 2000.000 bentuk pohon dan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya,  terdapat  1.100.000 species binatang, serangga, dan reptil, dan 1.000.000 species burung. Akhirnya, terdapat 3.000.000 jenis hewan dan 400.000 species manusia” (Bhaktisvarupa, 2003:24).

Teori Big Vision
            Teori Big Vision dikemukakan oleh Bhaktisvarupa Damodara Svami, yang ketika belum diinisiasi menjadi seorang rohaniwan bernama T. D. Singh, Ph.D. Menurutnya teori Big Vision adalah teori asal mula kehidupan dan penciptaan jagat raya yang terwujud berdasarkan Vedànta. Konsep sentral dari Big Vision ini adalah bahwa jagat raya mempunyai tujuan untuk membimbing para makhluk hidup pada jalan kebahagiaan yang sempurna. Karena merasa kagum  terhadap  benda-benda  unik dan tidak dapat dipahami di dunia ini seperti hukum-hukum alam yang teratur (susunan kecerdasan, dan nilai unik dari konstanta fisika dari jagat raya. Banyak ilmuwan dan sarjana terkemuka merasa bahwa barangkali ada tujuan tertentu dari penciptaan jagat raya ini. Banyak orang berpikir bahwa jagat raya kita ini adalah sangat spesial dan memiliki suatu tujuan.  Semua pernyataan ini secara tidak langsung mendukung model Big Vision Vedànta.
            Menurut Vedànta, tujuan di balik  manifestasi dunia material ini adalah untuk membawa para makhluk hidup  yang sedang mengkhayal menuju kepada tingkat  kebahagiaan yang sejati dengan membangkitkan bhakti, yoga, dan pengabdian di dalam diri setiap orang. Bhakti merupakan sifat pengabdian yang paling luhur yang menghubungkan individu dengan Jiwa Yang Tertinggi – Tuhan Yang Maha Esa dengan kerendahan hati yang paling dalam serta pelayanan yang murni. Dengan salah menggunakan kebebasan bertindak (memilih/kehendak bebas), makhluk hidup di jagat raya ini ingin mengambil peran sebagai Majikan Yang Tertinggi dan menikmati secara tidak terbatas dengan berusaha untuk memuaskan permintaan pikiran dan indera-indera yang tiada habis-habisnya. Ketika seseorang serius telah memahami kedudukannya yang salah dan telah mengalami bahwa ia tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan sejati secara material maka ia akan mulai bertanya, “Apakah kesalahan saya? Bagaimana caranya  saya mendapatkan kebahagiaan sejati?” Maka ia akan berpaling kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon pertolongan. Pencarian untuk memahami makna kehidupan yang lebih dalam ini merupakan saat penetuan  (titik balik) dari kehidupan suatu individu (Bhaktisvarupa, 2003:56).
            Kosmologi Vedànta didasarkan pada Big Vision yang agung dari Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan kebahagiaan tertinggi kepada seluruh makhluk hidup. Demikianlah ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan, “Mengapa jagat raya ini diciptakan?” Oleh karena itu Vedànta menjelaskan kosmologi ketuhanan. Dalam kitab suci Bhagavadgìtà (IX.10) Tuhan Yang Maha Esa menyatakan bahwa Beliau adalah sumber dari segala sesuatu. Orang mendapatkan sekilas prinsip-prinsip dasar Big Vision dengan mengamati beberapa gejala di dalam laboratorium kosmik, antara lain: (1) Hekakat kehidupan material yang bersifat sementara, (2) Evolusi kesadaran dan keunikan dari kehidupan manusia, (3) Tuntunan dari Paramatma, Tuhan Yang Maha Esa, dan (4) Elemen-elemen kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:56-59).
            Berdasarkan uraian tersebut di atas, teori Big Vision dimaksudkan untuk membangun teori atau kosmologi yang berbasis ajaran ketuhanan, karena eksperimen manusia yang menggunakan daya nalar dan daya pikir sangat terbatas, sedang kitab suci yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa tidak diragukan lagi kebenarannya.
            Demikianlah penciptaan jagat raya menurut Hindu dan respon terhadap teori-teori ilmiah baru tentang penciptaan alam semesta yang perlu lebih dikembangkan lagi dalam memahami proses penciptaan itu. Mengakhiri tulisan ini dikutipkan ulasan Deepak Chopra terhadap karya Rabindranath Tagore Pantai Keabadian, sebagai berikut.

 “Tagore mengenal dirinya sendiri dengan kejernihan dan keyakinan yang luar biasa. Dia tahu bahwa rumah sejatinya adalah keabadian. Dia tidak pergi ke mana-mana setelah mati, sebab keabadian tidak memiliki masa lalu, masa sekarang atau pun masa depan. Ilmu pengetahuan telah membuktikan pendapat ini. Benda-benda materi memang terasa padat ketika disentuh, tetapi pada level kuantum 99,999 persen dari sebuah atom sebenarnya adalah ruang kosong dan kepadatan itu akan lebur menjadi sekumpulan energi yang memancar. Energi ini tidak pernah diciptakan dan tidak pernah dihancurkan. Energi ini menyala ke luar masuk dalam wilayah prekuantum sebanyak jutaan kali setiap detiknya. Itulah satu-satunya kelahiran dan kematian dalam arti yang nyata yang bisa kita alami. Tubuh kita sama sekali bukanlah kejadian yang unik sebab tubuh kita mati ratusan kali sebelum mata anda selesai membaca satu kata dalam kalimat yang sedangkan anda baca ini. Apa yang kita sebut kematian adalah sebuah kesalahan istilah, kematian adalah sekadar terhentinya proses muncul dan hilang. Setelah menghembuskan nafas yang terakhir, kita kembali kepada situasi di mana waktu tidak ada lagi. Apa yang kita sebut maut sebenarnya adalah terhentinya kelahiran dan kematian” (Chopra, 2004:19-20).

             
Daftar Pustaka

Ayodhya Prasad, Pandit.1993. Gems of Vedic Wisdom. Calcuta: Kanak Lal Saha.

Bhaktisvarupa Damodara Swami (T.D. Singh, Ph.D).2003. Vedànta & Sains, Kehidupan dan Asal Mula Jagat Raya. Kolkata-Roma-Denver: BhaktiVedànta Institute.
Basham, A.L.1992. The Wonder That Was India, New Delhi: Rupa & Co.

Klostermaier, Klaus K.1990. A Survey of Hinduism, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt.Ltd.
Madhusudan Reddy, V. 1991. The Vedic Epiphany, I. Hyderabad: Institute of Human Study.
Mustofa, Agus.2005. Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Surabaya: Padma Press.

Panikkar, Raimundo.1989. The Vedic Experience, Mantra Mañjari, An Anthology of the Vedas for Modern Man and Contemporary Celebration. New Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited.

Radhakrishnan, S.1990. The Principals Upaniûads. Centenary Edition. Bombay: Oxford University Press.

Sai Avatar, Sri Sathya, Chaitanya Jyoti. Prasnati Nilayam, Andra Pradesh: Sri Sathya Sai Seva Organization.

Somvir. 2001. 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Penerbit Paramita.

Tagore, Rabindranàth. 2004.  Pantai Keabadian. Diedit dan Diberi Pengantar oleh Deepak Chopra, Yogyakarta: Pohon Sukma.
Titib, I Made. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.