Sabtu, 02 November 2013

Perspektif Hindu dalam Tari Bali dan Tari Pendet

Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan tersebut.
Upacara di Pura-Pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi, Pura-Pura, dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang bersifat menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi seni wali yang disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang berfungsi sebagai tontonan atau hiburan saja.
Pada seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan. Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya pada tari Pendet ada canang sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi), pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada tari Rejang pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus Rejang Renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup…), dan beras sekar ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak boleh digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang masih muda, belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan pewintenan (upacara
penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Dalam sejarahnya tari wali ini sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang berkembang di daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dibuat bersamaan atau sesudah tari wali itu diciptakan atau sebelumnya. Meskipun tarian ini diciptakan manusia, tetapi karena sudah merupakan konsensus dari masyarakat pendukungnya maka tari wali ini mendapat tempat khusus di hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agama, terutama agama Hindu.
Tari-tari wali yang tercipta di Bali mirip dengan tari-tari ritual di India. Menurut mitologi tarian-tarian wali itu diciptakan oleh Dewa Brahma,  dan Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya, yaitu Siwa Nata Raja. Di mana Dewa Siwa memutar dunia dengan gerakan mudranya yang berkekuatan ghaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna dan kekuatan tertentu sehingga
tarian ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra ini, karena sangat sakral.
Di Bali untuk menambah kekuatan sekala dan niskala pada tarian sering disertai dengan banten-banten (sesajian) Pasupati untuk penari atau perlengkapan tari tertentu. Untuk pertunjukkan tari wali tertentu, diawali dengan sesajian dan tetabuhan agar tidak diganggu bhuta kala giraha dan bhuta kala kapiragan. Tak jarang persembahan tari dalam ritual tertentu dilakukan prosesi Pasupati, baik secara sederhana dengan menggunakan banten Pasupati atau dilakukan dengan lebih khusus, lebih besar atau istimewa untuk memohon agar si penari dibimbing sesuai dengan kehendak Ida Betara.
Pasupati artinya raja gembala hewan. Maksudnya agar si penari layaknya hewan gembala yang diatur dan digembalakan sepenuhnya oleh si penggembala, yaitu Ida Betara. Maka setiap gerak-gerik penari tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri, sebagian gerakannya dijiwai oleh Ida Betara yang dimohonkan. Sehingga tarian itu akan memiliki niskala (kekuatan magis).
Pasupati
Tari Bali diciptakan penciptanya berdasarkan insting atau naluri dalam berkesenian. Apakah dengan meniru gerakan manusia, air, pohon dan sebagainya, sehingga terangkum dalam gerakan yang memiliki nilai seni.
Pada masyarakat berkebudayaan tinggi serta menjujung  nilai-nilai religius agraris dan mistis seperti di Bali, gerakan tari disertai aksen-aksen tertentu yang berkekuatan ghaib. Disertai banten-banten dan mantra-mantra tertentu untuk mengundang kekuatan sekala dan niskala, sehingga mendukung dan menunjang kesakralan tarian tersebut.
Tari sakral dipersembahkan dengan ritual tertentu pada hari tertentu untuk menyenangkan Ida Betara atau Hyang Kuasa sehingga berkenan memberi berkah berupa kesejahteraan sekala dan niskala
(jasmani dan rohani). Misalnya barong yang ada di Pura diberi persembahan puja wali dan disolahkan atau ditarikan pada saat odalan (hari jadi Pura banjar) atau karya tertentu adalah hal yang sakral. Kesakralan akan terkait dengan ritual tertentu dan ujung-ujungnya adalah keyakinan.
Sakral atau tidaknya tarian atau pertunjukan seni dapat diukur dengan beberapa kategori umum, yaitu tari sakral atau pertunjukan seni sakral tidak pernah diupah atau disewa untuk pertunjukan hiburan atau komersial. Berfungsi sebagai pelaksana atau pemuput karya. Membawa atau menggunakan perlengkapan atau peralatan yang khas. Dan orang yang akan menari juga adalah orang pilihan, baik secara skala  melalui pemilihan dan persetujuan dari masyarakat pendukungnya atau melalui
metuwunan yaitu dengan memohon petunjuk niskala baik dengan cara kerauhan (upacara penitisan sebagai sarana untuk menerima wahyu dari Hyang Widhi, biasanya orang-orang tertentu saja yang mengalami), dan sebagainya. Contoh : Tari Pendet, tari Baris Gede, tari Rejang, tari Sang Hyang, tari Topeng Dalem Sidakarya, tari Ketekok Jago, pertunjukan Wayang Lemah, dan Wayang Sapuh Leger. Ada juga tari atau pertunjukan seni tidak sakral (tari atau pertunjukan seni profan) yang bisa diupah atau disewa, berfungsi sebagai hiburan atau pendukung acara tertentu, tidak harus menggunakan peralatan atau perlengkapan tertentu yang bersifat sakral. Contoh : Joged Bumbung.
Seni tari Bali pada umumnya dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu tari wali atau tari seni pertunjukan sakral, tari bebali atau seni tari pertunjukan upacara dan juga untuk hiburan pengunjung, dan tari balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali, I Made Bandem Wijaya, pda awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tarian Bali tersebut, antara lain yang tergolong ke dalam tari wali seperti Berutuk, Sang Hyang, Dedari,
Rejang, Baris Gede, Sang Hyang Jaran, Janger. Tari bebali antara lain tari Topeng, Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong, dan tari balih-balihan misalnya tari Legong, Arja, Joged Bumbung, Drama Gong, Barong, Pendet, Kecak. Tari Pendet.
Tari Pendet
yang bercerita tentang turunnya Dewi-Dewi kahyangan ke bumi. Meski tarian ini tergolong ke dalam jenis tarian wali namun berbeda dengan tarian upacara lain yang biasanya memerlukan para penari khusus dan terlatih, siapapun bisa menarikan tari Pendet, baik yang sudah terlatih maupun yang masih awam, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa. Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis muda hanya mengikuti gerakan penari perempuan senior yang ada di depan mereka, yang mengerti tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik. Tidak memerlukan pelatihan intensif.
Pada awalnya tari Pendet merupakan tari pemujaan  yang banyak diperagakan di Pura, yang menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke alam marcapada, merupakan pernyataan persembahan dalam bentuk tarian upacara. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman tari Bali mengubah tari Pendet menjadi tari “Ucapan Selamat Datang”, dilakukan sambil menaburkan bunga di hadapan para tamu yang datang, seperti Aloha di Hawaii. Kendati demikian bukan berarti tari
Pendet jadi hilang kesakralannya. Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius  dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental.

Tari Pendet Sakral
Biasanya Tari Pendet dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan setelah tari Rejang di halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih). Para penari Pendet berdandan layaknya para penari upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara, masing-masing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku (wadah air suci), kendi, cawan, dan yang lainnya.
Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar,  Wayan Dibia, menegaskan bahwa menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali.
Tarian ini merupakan tarian yang dibawakan oleh sekelompok remaja putri, masing-masing membawa mangkuk perak (bokor) yang penuh berisi bunga. Pada akhir tarian para penari menaburkan bunga ke arah penonton sebagai ucapan selamat datang. Tarian ini biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau memulai suatu pertunjukkan (1999: 47).
Pencipta atau koreografer bentuk modern tari Pendet ini adalah I Wayan Rindi (?-1967), merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya.
Menurut anak bungsunya, I Ketut Sutapa, I Wayan Rindi memodifikasi Tari Pendet sakral menjadi Tari Pendet penyambutan yang kini diklaim Malaysia sebagai bagian dari budayanya. Keluarga I Wayan Rindi sangat menyesalkan hal ini. Semasa hidupnya I Wayan Rindi tak pernah berpikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.   

Tari Pendet Penyambutan
Di samping belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah dipatenkan karena mengandung nilai spiritual yang luas dan tak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Dalam hal ini, I Ketut Sutapa, dosen seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Bali mengharapkan pemerintah mulai bertindak untuk menyelamatkan warisan budaya nasional dari tangan jahil negara lain.
Menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sejarah seharusnya lebih proporsional dari pendekatan ilmu pengetahuan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena HAKI adalah produk budaya barat yang baru eksis kemudian. HAKI tidak cukup layak mengamankan produk-produk budaya sebelum HAKI didirikan, apa lagi pemanfaatannya lebih berorientasi kolektifitas, bukan individualitas seperti paham budaya barat.
HAKI tidak akan sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat beradab dan bermartabat. HAKI diarahkan untuk kepentingan ekonomis, sedangkan produk-produk budaya Indonesia lebih berorientasi kepentingan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar