Sabtu, 02 November 2013

PENGERTIAN DAN PENGELOMPOKAN PURA DI BALI






1. PENGERTIAN PURA
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sansekerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahya ngan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam Prasasti Sukawana A I tahun 882 M. Kata Ulan yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ Sanghyang di uruñan " yang artinya tempat suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk dewa Karimama, tempat suci untuk dewa api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.
Prasasti -prasasti yang disebutkan diatas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dhanna Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M) datanglah empu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rental Usana Dewa. Kedatangan Empu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan JagatBali, membuat kahyangan Catur loka pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya : jenis - jenis upacara, jenis - jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya se bagaimana di uraikan didalam lontar Dewatattwa.
Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - isatana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai didalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya . Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga isfilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri.
Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Mpu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untak Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.
Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggib pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dcngan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadpun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistim pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan upacara keagamaan tertentu (upacara penyucian) Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.
Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah - olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkcmbang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kcbudayaan Indonesia asli dengan sistcm pemujaan dewa manifcstasinya Hyang Widhi sebagai unsur kcbudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain tcrlihat pada konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini membcrikan salah satu pengcrtian bahwa Pura adalah simbul Gunung ( Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara

2. PENGELOMPOKAN PURA
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :
a. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
b. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut diatas, bukan tidak mungkin terdapat ptila pura yang berfungsi ganda yaitu sclain untuk memuja Hytng Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya ke percayaan bahwa sctelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.
Fungsi pura tcrscbut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
 
1).PURA UMUM.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat Bali. Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada bakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong kedalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra-yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.
Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.
Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2.) PURA TERITORIAL
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

3). PURA FUNGSIONAL
Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan didalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4.) PURA KAWITAN:
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut Pura Dadya sehingga mereka disebut.Tunggal Dadya. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kmbat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat tcrsebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Didalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :


a.BERDASARKAN ATAS FUNGSINYA :
1). Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi asa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya).
2) Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur).
b. Berdasarkan atas Karakterisasi nya
1). Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2). Pura Kahyangan Desa (Teritorial ) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara ) oleh Desa Adat.
3). Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .
4). Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis(vertikal geneologis)seperti:Sanggah,Pemerajan, lbu, Panti, Dadya, Batur, Penataran Dadya, Padharman dan
yang sejenisnya. 
Pengelompokan pura diatas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disung oleh klaim atau keluarga tertentu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar