“Setiap pembunuhan dan bentuk kekerasan (penganiayaan) lain
tak peduli apa penyebabnya yang dilakukan oleh
atau ditujukan
kepada
orang lain adalah suatu tindakan
kejahatan
kemanusiaan”
Gandhi
dalam Harijan, 20-7-1935, 180-181
Pendahuluan
Satu abad atau saratus tahun yang
lalu, tepatnya pada tanggal 11 September 1906 Mohandas K. Gandhi merumuskan
strategi Satyagraha di Johannesberg,
Afrika Selatan. Kemudian sejak September 2006-September 2007 saat ini, dunia
memperingati Seabad Satyagraha. Dalam
suasana tersebut ajaran Mahatma
Gandhi tentang Ahimsa dan masyarakat tanpa kekerasan sangat penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat umum.
Ajaran dan sosok Gandhi telah
menjadi milik dunia. Ia telah mendarmabaktikan pemikiran dan hidupnya untuk
memajukan dunia, mewujudkan perdamaian abadi yang dilandasi kebenaran, keadilan
dan cinta kasih yang tulus. Dalam situasi masyarakat yang dihantui oleh
berbagai tindak kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di
bumi Nusantara ini. Ajaran Gandhi tentang Satyagraha
dan Ahimsa sangat relevan untuk
ditelaah dan diamalkan. Kekerasan telah terjadi di mana-mana. Di lembaga
pendidikan yang terhormat dari lembaga pendidikan tinggi sampai di sekolah
dasar, seperti di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang menyiapkan
calon birokrat yang melayani dan mumpuni, kekerasan berlangsung seru dengan
melibatkan banyak pihak dan mengakibatkan beberapa korban berjatuhan. Kekerasan
terjadi di sekolah dasar, seorang anak telah berani melakukan tindak brutal
mengeroyok teman atau adik kelasnya, dan korban pun begelimangan. Kekerasan
yang dilakukan oleh anak-anak sekolah dasar dikaitkan pula dengan tayangan Smack Down di TV. Ayah kendung menganiaya anaknya denan sangat
sadis (Bali Post, 5 September 2007) dan sebagainya. Kekerasan tinggal kekerasan
dan tiada hentinya ditayangkan di media massa. Mulai dari ujung utara Nusantara
sampai selatan, dari barat sampai ke timur, dan di rumah tangga, di lembaga
pendidikan, di berbagai sektor kehidupan kekerasan telah menghantui masyarakat,
dan bagi masyarakat Bali sangat merasakan dampak dari kekerasan yakni tindakan
teroris yang meledakan bom di Jalan Raya Legian Kuta dan Kafe Jimbaran. Kedua
ledakan besar yang mengakibatkan meninggalnya ratusan orang, terutama orang
asing telah mencoreng nama Bali dan Indonesia sebagai negara yang tidak aman.
Negara yang belum mampu menuntaskan penangkapan gembong teroris dan dampaknya
di sektor ekonomi sangat dirasakan hingga kini.
Dalam situasi yang mengkhawatirkan ini, Fakultas Sastra Universitas
Udayana bekerja sama dengan Indian
Cultural Centre (ICC) Bali
menyelenggarakan seminar internasional memperingati Seabad Satyagraha, tanggal 19 Mei 2007 dengan menghadirkan seorang
Gandhian, Mantan Duta Besar India, Pascal Alan Nazareth dengan topik
pembicaraan Peran Kebenaran dan Diplomasi di Jaman Terorisme (The Role of Truth and Diplomacy in Terrorism
Era) yang menyatakan
bahwa abad 20
merupakan abad yang paling brutal
dan merusak hampir sepanjang sejarah
umat manusia. Hampir seratus juta orang terbunuh dalam dua perang dunia, kamar
gas Hitler, perang antar negara, dan perang saudara. Dengan runtuhnya tembok
Berlin, muncul harapan besar bahwa abad baru akan membuka lembaran baru
perdamaian dan persaudaraan semesta. Sayangnya kenyataan jauh dari harapan.
Saat ini lebih banyak orang hidup dalam ketakutan, mati mendadak dan brutal
dibandingkan sebelumnya. Runtuhnya World
Trade Centre (WTC) 11 September
2001 yang dikenal dengan istilah 11. 9 (eleven
nine) sangat membekas dalam ingatan. Pelaku bom bunuh diri merupakan ikon
teror di jaman ini. Bagaimana orang melindungi dirinya, keluarganya, dan
negaranya dalam situasi yang seperti ini. Bagaimana orang mengetahui dan
mencegah kebrutalan teroris, siapa yang mendapatkan keuntungan dari misteri dan
kejutan ini. Apa yang membuat teroris begitu ingin dan sama sekali tidak takut
mati dengan melakukan tindakan teroris. Pertanyaan-pertanyaan ini menunggu
jawaban, namun menjawab pertanyaan-pertanyaan ini bukan perkara yang mudah.
Bahkan hampir semua sistem pengawasan canggih yang dimiliki negara super power tidak mampu mencegah
serangan teroris. Serangan pencegahan dan hukum keras terbukti sama sekali
bukan tindakan pencegahan yang efektif. Tindakan pencegahan semacam ini justru
menimbulkan tindakan teroris yang lebih brutal dan lebih canggih lagi.
Demikian Pascal Alan Nazareth
mengawali presentasinya. Ia yang berbicara di berbagai belahan dunia, di depan
akademisi di berbagai kampus terkemuka di Amerika dan Eropa mengajak dunia
untuk mengubah cara pandang dan sikapnya dengan mengimplementasikan ajaran
Gandhi yang terbukti mampu mengantarkan India menuju kemerdekaan. Nazareth mengutip Albert Einstein yang mengatakan
“Lesatan daya atom mengubah segalanya kecuali pemikiran kita; kita sedang
menuju ke arah tragedi tiada banding. Kita membutuhkan cara berpikir baru agar
umat manusia tetap dapat bertahan ................ Perdamaian tidak bisa dijaga
dengan kekuatan. Perdamaian hanya dapat dicapai dengan pemahaman”.
Nazareth mengutip kata pengantar
buku “Gandhi in the Post Modern Age”
karya Prof. Ralph Bultjens, Penerima Penghargaan Sejarah Toynbee, menulis:
“Kelemahan peradaban modern tampak dari cara menakutkan yang tidak efektif
dalam mengatasi konflik. Dalam hubungan internasional maupun penggunaan
cara-cara pencegahan militer, tidak memperbaiki kelemahan dunia. Interpretasi
yang agak pesimistik terhadap sejarah ini ditentang dengan satu pengecualian
penting, penerapan kebijakan dan teknik diplomasi Mahatma Gandhi di India.
Gandhi bukan hanya berhasil menyelamatkan umat manusia dari keniscayaan
sejarahnya, tetapi juga mendukung terus digunakannya”.
Keberhasilan perjuangan Gandhi
Setelah tiga puluh tahun Gandhi
mencanangkan perjuangan diplomasi dengan prinsip Satyagraha dan Ahimsa,
Inggris angkat kaki dari India secara sukarela. Inggris dan India terpisah dan
tetap berteman dan India bergabung dalam Persemakmuran Inggris sebagai mitra
sejajar. Pernyataan Gandhi bahwa “Revolusi damai .................merupakan
program transformasi hubungan yang berakhir dengan pemindahan kekuasaan dengan
damai, tidak bisa disangkal”.
Kemanjuran strategi kebenaran dan
diplomasi Gandhi juga dapat dengan jelas dilihat di berbagai belahan dunia.
Dengan menggunakan strategi ini, Martin Luther King lebih membawa manfaat bagi
bangsa kulit hitam selama dekade 1960-an, dibanding dengan perang saudara, dan
ratusan tahun berikutnya perjuangan hukum di Amerika Serikat berhasil. Demikian
pula Dalai Lama menerapkan strategi yang sama untuk Tibet. Ketika menerima
penghargaan pada Desember 1989 ia mengatakan: “Saya menerima penghargaan ini
atas nama orang yang tertindas di mana saja, dan semua yang memperjuangkan
kebebasan dan perdamaian dunia. Saya menerimanya atas nama seorang manusia yang
membangun tradisi modern perubahan tanpa kekerasan – Mahatma Gandhi – yang
hidupnya mengilhami saya. Dan tentu saja, saya menerimanya atas nama jutaan
rakyat Tibet, kaum laki-laki dan perempuan Tibet yang berani, yang menderita
dan begitu banyak menderita...................”.
Professor Gene Sharpe dari Harvad,
dalam bukunya berjudul “The Politics of
Non Violent Action”, menulis “Gandhi adalah seorang experimenter dalam
pengembangan “perang tanpa kekerasan”. Karyanya menjadi pioneer dan, meskipun
tidak terlalu benar, mewakili
perkembangan sejarah baik dalam etika maupun politik .............
Banyak masalah dalam pengembangan dan penerapannya lebih lanjut. Namun dalam
kata dan tindakannya Gandhi berfokus
pada apa yang kemungkinan menjadi kunci pemecahan masalah “bagaimana
orang bisa hidup dengan damai, dan pada saat yang sama, secara aktif dan
efektif, melawan penindasan dan ketidakadilan”.
Solusi Antisipasi
Apa yang diperlukan dunia saat ini bukanlah
“perang terhadap terorisme”, tetapi perang terhadap ketidakbenaran,
ketidakadilan, penindasan, dan perang itu sendiri”. Pascal Alan Nazareth membuat kesimpulan dengan kalimat yang
dikutip dari buku Jonathan Schell berjudul “The
Unquerable World”. Dalam buku tersebut dinyatakan: “Ketika abad baru dimulai, maka tidak ada pertanyaan
yang lebih penting dari ‘apakah dunia telah mulai siklus baru kekerasan,
mengutuk abad 21 karena mengulang darah abad 20’. Dan lihatlah kenyataan.
bahaya kontemporer, tidak seperti sebelumnya, yaitu ‘tentara konvensional dan
kebencian persaingan negara-negara kuat yang sistematis’ tapi ‘penyebaran
senjata nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya yang terus menerus dan iblis
negara, suku, agama, dan pertarungan kelas yang tidak kunjung selesai’. Ia
menyatakan bahwa, meskipun dengan adanya serangan 11 Septermber 2001 dan
kebutuhan untuk mengambil tindakan keras mengatasi ancaman global, namun jalan
baru dan menjanjikan telah terbuka. “Abad 20 memberi pelajaran berharga” yaitu
bahwa bentuk-bentuk tindakan non kekerasan dapat diterapkan secara efektif untuk menggantikan
kekerasan di setiap tahapan permasalahan politik. Inilah sumpah perlawanan
Mohandas K. Gandhi terhadap Kerajaan Ingris di India, gerakan hak-hak sipil
Martin Luther King di Amerika Serikat, gerakan anti kekerasan di Eropa Timur
dan Rusia yang meruntuhkan komunisme dan Uni Soviet”. Demikian mantan Duta
Besar India, Pascal Alan Nazaret mengakhiri makalahnya yang sangat menarik
peserta seminar.
R. C. Zaehner dalam bukunya “Hinduism”, (1993:206) yang telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa
Aspek Pemikiran Hinduisme, diterbitkan oleh Penerbit P.T. Gramedia Pustaka
Utama mengidentikan Gandhi dengan Yudhisthira, saudara tertua dari Pandawa. Ia
melukiskan, “Dalam kepribadiannya yang lemah itu cita-cita lama akan pembebasan
diri, ‘ketulusan’ (ahimsa,
diterjemahkan olehnya sebagai ‘tanpa kekerasan’) dan kebenaran bertemu. Ia
melukiskan dirinya sebagai seorang Hindu sanatani,
seorang yang mengikuti sanatana dharma
‘hukum abadi’ yang pernah eksis dalam (diri) dharma-raja, Yudhisthira. Dan dilema Gandhi sama dengan dilema
Yudhisthira: apakah sanatana dharma,
yang, katanya harus ditaati ini ada? Dimanakah dia berada? Adakah dia berada di
dalam hati ataukah dalam perkara-perkara seperti dinyatakan oleh para Brahmana?
Harus diingat bahwa Yudhisthira pun tersiksa oleh keragu-raguan sama yang
menyakitkan ini. Adakah dharma yang
diajarkan oleh para Brahmana itu dharma
‘abadi’, ataukah itu dharma yang
merupakan sumber dari keberadaan dirinya, yakni dharma yang merupakan berkat mana ia menjadi “Raja dharma”, “Raja Kebenaran”, karena
kesadaran moral seorang yang benar tak dapat keliru? Dia ragu-ragu karena Tuhan
sendiri telah mendorongnya ke arah perang dan kekerasan, dan menyuruhnya
berbohong, tetapi ia pun tahu bahwa
kesadaran moralnya melampaui “kebenaran” dari para Brahmana dan dari Krishna
sendiri. Dilema Yudhisthira lebih menakutkan, lebih meresahkan daripada dilema
Gandhi. Kesadaran moral-nya adalah
yang pertama antara yang pernah memprotes melawan masyarakat yang kejam dan
tidak adil ini. Belum ada pembaharu sebelum dia. Demikian kata-kata Zaehner
dalam buku tersebut.
Berkaitan dengan perlawanan tanpa
kekerasan yang diperjuangkan selama kehidupan Gandhi, Ketut Wisarja (2007:19)
mengutip Mochtar Lubis dalam pengantar terjemahan buku “Gandhi, Semua Manusia
Bersaudara” menyatakan: “Kekuatan perlawanan tanpa kekerasan Gandhi yaitu ahimsa ditunjang pula oleh perjuangan satyagraha yang berlandaskan perjuangan
untuk berdiri senantiasa menegakkan kebenaran. Keduanya ditopang oleh satu
kekuatan besar yaitu swadesi (mencintai
tanah air dan lebih menyenangi pemakaian barang-barang buatan rakyat sendiri)
merupakan tiga tiang dasar perjuangan Gandhi dan rakyat India untuk menekan
kekuasaan Inggris mengakui kemerdekaan India”.
Perjuangan Gandhi untuk meraih
kemerdekaan tidak lepas dari ajaran-ajarannya (utamanya dari ajaran Agama Hindu)
yang dipraktikkan dalam hidupnya. Dalam menjalankan aksi perlawanannya, ia
selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis dasar gerakkannya.
Untuk lebih memahami lebih jauh ajaran atau prinsip-prinsip anti kekerasan
Gandhi, di sini dikemukakan beberapa hal yang penting (Wisarja, 2007:75),
sebagai berikut: (1) Ahimsa. Secara
harfiah ahimsa berarti “tidak menyakiti”, tetapi menurut Gandhi pengertian
seperti itu belum cukup, menurutnya ahimsa
berarti menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak
menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan
diri sendiri dengan memberalat serta mengorbankan orang lain. Gandhi memandang ahimsa dan kebenaran (satya) ibarat saudara kembar yang sangat
erat, namun membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran (satya) sebagai tujuannya. Pengertian ahimsa sebagai suatu sarana berarti
tidak mengenal kekerasan untuk mencapai kebenaran, baik dalam wujud pikiran,
ucapan, maupun tindakan. Justru kebalikannya, ahimsa harus menciptakan suasana membangun, cinta, dan berbuat baik
kepada orang lain meskipun orang lain itu pernah menyakitinya, bahkan terhadap
musuhnya sekalipun. (2) Satyagraha.
Secara harfiah satyagraha berarti
suatu pencaria kebenaran dengan tidak mengenal lelah. Berpegang teguh pada
kebenaran artinya satyagraha
merupakan jalan hidup seorang yang berpegang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan mengabdikan seluruh hidupnya pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena jalan
satu-satunya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan sarana ahimsa, maka satyagraha juga berarti “mengejar tujuan benar dengan sarana ahimsa. Satyagraha mengambil bentuk tindakan dengan sikap non-violence berdasarkan ahimsa. Tindakan tersebut secara praktis
dapat dilaksanakan dengan: Pertama, civil disobidience (ketidak patuhan sipil),
berarti melanggar hukum yang dipandang tidak adil, misalnya hukum pajak yang
pernah diterabas Gandhi dan para pengikutnya pada tahun 1919. Kedua, non-cooperation, berarti menolak mengambil bagian dalam sistem yang
tidak adil, yang menyebabkan banyak orang tertindas dan menderita. Ketiga, fasting atau puasa, yakni pengendalian diri agar menghasilkan
kewaspadaan dan sikap hormat pada orang lain. Puasa dimaksudkan untuk
menyadarkan orang-orang yang melakukan kesalahan. (3) Swadesi. Pengertian swadesi
adalah cinta tanah air sendiri, cara mengabdi kepada masyarakat yang
sebaik-baiknya kepada lingkungannya sendiri lebih dahulu. Gandhi secara jelas
memberikan urutan swadesi ini, yaitu
pengabdian diri untuk keluarga, pengorbanan keluarga untuk desa, desa untuk
negara dan negara untuk kemanusiaan. Maksud Gandhi agar swadesi ditaati untuk menciptakan ketentraman dunia, sedangkan
pengingkaran terhadapnya mengakibatkan kekacauan. Pelaksanaan swadesi ini antara lain: sebisa-bisanya
agar membeli segala keperluan dari dalam negeri dan tidak membeli barang-barang
import, bila barang-barang tersebut dapat dibuat dalam negeri sendiri. Melihat
situasi dan kondisi waktu itu memungkinkan untuk melaksanakan anti import
barang-barang asing sebagai protes dan boikot terhadap kaum penjajah. (4) Hartal. Hartal semacam pemogokan nasional, toko-toko ditutup sebagai protes
politik dan para pekerja melakukan pemogokan massal. Untuk pertama kalinya
Gandhi memutuskan untuk menentang pemerintah kolonial Inggris di India. Ia
memutuskan melaksanakan hartal
(pemogokan total). Ia mengatakan bahwa suatu hari kegiatan dagang harus
dihentikan, toko-toko tutup, dan pekerja-pekerja mogok. Hartal ini merupakan permulaan dari perjuangan selama 28 tahun,
yang berakhir dengan penjajahan Inggris menghentikan penjajahan atas bangsa
India. Hartal dilakukan oleh rakyat
India sebagai sebuah protes politik, namun hari-hari mogok itu dihabiskan
dengan berpuasa dan kegiatan keagamaan lainnya.
Lebih jauh walaupun Gandhi
menjadikan ashram yang dibangunnya
sebagai tempat eksperimen dari ajaran-ajaran, prinsip-prinsip atau nilai-nilai
kemanusiaan yang dianutnya, ternyata eksperimennya itu dapat diterapkan dan
terbukti berhasil menciptakan masyarakat ideal yang anti kekerasan. Ajaran,
prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan itu dituangkan dalam bentuk peraturan
hidup (etika) di ashram, (Wisarja,
2007:141) yang jumlahnya 11 butir (ekadasavrata)
yaitu: (1) Sat (kebenaran). Kata satya, kata dasarnya sat yang artinya ada atau kebenaran,
bahkan bagi Gandhi, kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ada merupakan satu
konsepsi tentang peristiwa-peristiwa dalam hidup, yang alami dan yang dapat
dirasakan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hidup itu benar-benar ada,
nyata dan bukan impian. Yang nyata dan ada itu semata-mata adalah Kebenaran.
Dalam komunitas ashram, kebenaran
tidak hanya dalam pengertian berkata
jujur atau tidak berdusta, melainkan harus terdapat pula pada semua segi, yakni
pikiran, ucapan, dan tindakan. Mengejar kebenaran merupakan bhakti sejati (pengabdian) yang
mengarahkan orang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran tersebut haruslah
ditempuh melalui sikap nirbhaya
(keberanian) keuletan, dan sikap tidak mudah menyerah. Pengertian Kebenaran
dalam perspektif Gandhi mengandung keselarasan dari tiga unsur, yaitu: pikiran,
ucapan, dan tindakan. Keselarasan dari ketiga unsur tersebut menjamin
terselenggaranya kehidupan kepribadian setiap warga ke dalam ketaatan pada
peraturan yang menjadi pengikat dalam kebersamaan. (2) Ahimsa (kasih sayang). Pengabdian kepada Kebenaran harus tetap
mengandalkan sikap ahimsa (kasih
sayang) terhadap sesama sekaligus terhadap makhluk lainnya. Ahimsa mengandung pengertian tidak
menyakiti. Ahimsa merupakan suatu sikap tidak menyakiti manusia mana pun, baik
pikiran, ucapan, maupun tindakan, sekalipun konon untuk kepentingan manusia itu
sendiri. Prinsip ahimsa ini harus
dijalankan dalam aktivitas keseharian manusia, utamanya bagi warga dalam ashram. Prinsip ini merupakan bentuk
dari dasar pencegahan konflik dalam masyarakat, karena konflik biasanya muncul
oleh berbagai perilaku “menyakiti” manusia lain dengan cara apa pun. Apabila
setiap anggota masyarakat mematuhi prinsip ini, niscaya setiap konflik yang
akan muncul dapat diminimalisir. Setiap manusia secara sadar mengamalkan
prinsip ini sebagai kebutuhan dasar kemanusiaan untuk tidak saling menyakiti
dan memusihi. (3) Brahmacharya
(penguasaan indera). Pada dasarnya, brahmacharya
mengandung pengertian sebagai sikap yang harus disesuaikan dengan proses
pencarian Brahma, yakni Kebenaran. Brahmacharya lebih ditekankan pada
perilaku dari setiap manusia untuk selalu bersikap sesuai dengan Kebenaran itu
sendiri. Bagi Gandhi, brahmacharya
sebagai prinsip ketiga dalam ashram lebih dari penguasaan nafsu hewani,
melainkan juga mencakup penguasaan setiap indera yang terdapat dalam diri
manusia. Bagaimana mungkin brahmacharya dapat dicapai sedangkan indera sendiri
menjanjikan kenikmatan bagi orang yang memenuhi. Dengan mengutip ajaran suci
Bhagavadgita, Gandhi optimis bahwa pencapaian brahmacharya dapat dipenuhi.
Dengan tidak melayani kebutuhan indera, maka kerinduan terhadap objek-objek
indera akan hilang dengan sendirinya, tetapi rasa rindu terhadap benda-benda
itu muncul. Rasa rindu tersebut akan sirna sendirinya dengan usaha selalu
mendekatkan diri kepada Brahma (Tuhan
Yang Maha Esa). (4) Penguasaan Rasa Lidah.
Prinsip ini berhubungan erat dengan brahmacharya, karena penguasaan rasa lidah
pada dasarnya merupakan perilaku yang membantu tercapainya kualitas kemanusiaan
menuju pada Brahma. Penguasaan rasa lidah dalam banyak hal berkaitan dengan
upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk makanan secara berlebihan,
baik soal selera maupun mengubah orientasi makanan menjadi suatu kenikmatan.
Setiap penghuni ashram diharapkan
menghindarkan diri dari perilaku makan yang sekedar yang sekedar memenuhi
kenikmatan indera semata serta tidak berlebih-lebihan, menghindari makan daging
dan alkohol serta makanan yang membangkitkan nafsu. Prinsip menghindarkan diri
dari berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan serta menghindari setiap
makanan yang telah ditentukan merupakan ikhtiar dari setiap warga ashram untuk tidak memenuhi tuntutan
inderawi semata-mata. (5) Asteya (tidak
mencuri). Prinsip tidak mencuri merupakan prinsip kelima yang harus dijalankan
oleh warga ashram. Tindakan mencuri merupakan sebuah pantangan bagi orang yang
memperjuangkan dan membela Kebenaran. Mencuri merupakan tindakan yang merugikan
orang lain, karena merasakan kehilangan miliknya. Tindakan mencuri adalah
perilaku yang merusak hubungan sosialitas dalam ashram, karena akan memunculkan
rasa tidak aman dan sikap saling mencurigai. Jika didiamkan hanya akan
melahirkan situasi tidak kondusif bagi perjalanankehidupan ashram. Prinsip ini merupakan suatu upaya untuk menghindarkan diri
dari nafsu untul menguasai sesuatu yang bukan menjadi haknya. Andaikata setiap
manusia memiliki dan menjalankan prinsip ini, maka keserakahan yang biasanya
menjadi realitas kemanusiaan dapat diminimalisir, bahkan dihentikan potensi
perkembangannya. (6) Aparigraha
(memilih hidup dalam kesederhanaan). Prinsip ini merupakan pengembangan yang
lebih luas dari prinsip asteya, yaitu upaya manusia warga ashram untuk
menghindarkan diri dari kepemilikan atau benda yang tidak diperlukan sekaligus
yang bukan menjadi haknya. Melalui prinsip ini pula Gandhi membuat permakluman
bahwa setiap warga dilarang untuk menyimpan sesuatu bagi keperluan untuk masa
yang akan datang. Pelarangan ini mengandung pengertian agar setiap orang
mempunyai kesempatan untuk memperoleh bagian, dan tidak menjadi monopoli yang
dapat merusak hubungan antarwarga. Monopoli hanya akan menimbulkan kecemburuan
sosial dan sekaligus kesenjangan sosial dalam sosialitas ashram. Prinsip ini sesungguhnya merupakan suatu sikap mental agar
setiap warga ashram memiliki kemampuan untuk saling memperhatian sesama, tidak
serakah dan tidak terlalu menjadikan hidup berorientasi kepada
kebutuhan-kebutuan fisik semata. Setiap warga ashram harus bersama-sama menikmati aktivitas kehidupan, tanpa ada
yang paling kaya sekaligus yang berada dalam kemiskinan. Semuanya adalah milik
bersama. Prinsip ini seolah juga memberikan suatu pemahaman akan pengaruh dari
sikap hidup masyarakat sosialis purba yang menginginkan terbentuknya masyarakat
tanpa harta milik. (7) Karya Pangan.
Prinsip ini berkaitan dengan prinsip asteya
dan aparigraha. Prinsip karya pangan
merupakan upaya untuk memenuhi sikap hidup yang mengutamakan asteya dan
aparigraha, yaitu dengan menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup
sendiri, usaha mandiri tanpa melakukan pencurian. Ketaatan terhadap asteya dan aparigraha hanya dapat ditunjang dengan melaksanakan karya pangan.
Pemenuhan kebutuhan sendiri melalui karya pangan merupakan kewajiban moral bagi
setiap warga yang sehat. Kewajiban ini merupakan suatu prinsip hidup agar tidak
menggantungkan dirinya dan warga di ashram
terhadap orang lain. Karya pangan menjadi wujud daribentuk kemandirian.
Konskuensi logisnya menjadi suatu kekuatan bagi tubuh masyarakat sipil dengan
kemampuan untuk mengelola dan mencukupi kebutuhan sendiri. (8) Swadesi. Swadesi pada dasarnya mengandung suatu pengertian bahwa manusia
bukanlah makhluk yang memiliki kekuasaan penuh. Manusia masih memiliki
batas-batas kekuasaan yang membuat dirinya memiliki banya kelemahan. Atas dasar
ini, pengabdian manusia kepada masyarakat sebaik-bainya hanya dapat dilakukan
ketika mereka melakukan pengabdian kepada lingkungannya sendiri lebih dahulu.
Melalui pengabdian ini (dari lingkuangan terdekat sampai yang jauh lebih luas)
akan menumbuhkan kepekaan sosial atas setiap bentuk penderitaan sekaligus upaya
melakukan pembebasan umat manusia dari setiap bentuk penindasan dan
ketidakadilan. (9) Nirbhaya (tidak
mengenal takut). Situasi politik yang tidak menentu dan di tengah ketertindasan
masyarakat India akibat kekejaman kolonial, membuat Gandhi menganjurkan suatu
anjuran Nirbhaya, yaitu suatu sikap untuktidak pernah mengenal rasa takut,
terhadap kekuatan apa pun. Prinsip ini melahirkan suatu semangat yang sangat
luar biasa bagi warga ashram untuk menunjukkan kebenranian dan jiwa patriotismenya
melawan pemerintah koloni Inggris. Bagi Gandhi, setiap warga India harus
dihilangkan rasa takutnya untuk berani berbicara dan berpendapat di muka umum,
sekaligus menuntut dihilangkannya ketidakadilan bagi warga. Lebih jelas Gandhi
mengatakan bahwa sikap bebas dari rasa takut berasal dari luar, misalnya bebas
dari rasa takut pada penyakit, luka, kematian, kehilangan milik, kehilangan
orang yang paling dekat dan disayang, kehilangan kemasyhuran atau takut dihina
dan lain-lain. Rasa takut yang dianjurkan oleh Gandhi hanyalah rasa takut
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menemukan dan menghilangkan rasa takut
tersebut, Gandhi menganjurkan agar dimulai dan penaklukan rasa takut dalam diri
sendiri. Penaklukan tersebut pada akhirnya akan menghilangkan rasa takut dari
luar. (10) Menghapuskan Rasa Emoh
Bersentuhan. Prinsip ini pada dasarnya mmerupakan bentuk penghapusan
kelas-kelas sosial dalam masyarakat Hindu di India. Selama ini dalam masyarakat
Hindu di India terjadi persoalan mendasar berkaitan dengan interaksi sosial.
Artinya, terjadi proses pengeliminasian atau peminggiran kelas-kelas sosial
tertentu berdasarkan kelahiran dan keturunan, atau yang disebut kasta. Kasta
yang lebih tinggi seolah lebih mulia sehingga dilarang bersentuhan dengan kasta
yang lebih rendah. Realitas ini bagi Gandhi dianggap bertentangan dengan
prinsip ahimsa dan kodrat manusia yang dilahirkan dalam keadaan suci. Menurut
Gandhi tidak seorang pun mungkin dilahirkan sebagai orang yang tidak boleh
disentuh karena kita semua adalah percikan sinar dari yang satu dan sama.
Sangatlah keliru untuk memperlakukan insan-insan tertentu sebagai orang yang
pantang disentuh karena kelahiran. Prinsip ini mengandung suatu bentuk
penghargaan atas kodrat kemanusiaan sebagai makhluk yang sederajat, tidak boleh
terjadi berbagai bentuk diskriminasi dalam bentuk apa pun. Prinsip ini seolah
mengindikasikan suatu bentuk jaminan bagi demokratisasi dalam masyarakat
liberal yang memiliki tiga prinsip, yaitu: netralitas, kebebasan, dan
kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan. Bagi Gandhi, melalui prinsip ini
maka setiap warga ashram harus
diberikan kedudukan yang sama dan wajib melakukan interaksi berdasarkan
nilai-nilai kemanusiaan, bukan berdasarkan status sosial yang berasal dari
keturunan dan kelahiran. (11) Toleransi.
Toleransi merupakan prinsip terakhir dalam ashram.
Toleransi merupakan perluasan dari sikap hidup untuk tidak melakukan proses
diskriminasi dalam masyarakat. Artinya, di dalam masyarakat ashram yang berasal dari berbagai
komunitas harus menjalankan prinsip toleransi dan tidak saling membeda-bedakan.
Terhadap agama-agama yang ada, Gandhi berpandangan bahwa semuanya mengandung
wahyu Kebenaran, namun karena agama-agama tersebut garis besarnya dibuat oleh
manusia yang tidak sempurna, maka keyakinan-keyakinan itu dipengaruhi oleh
ketidaksempurnaan tersebut dan Kebenaran tersebut menjadi tidak mutlak adanya.
Bila dikaji secara mendalam, pada dasarnya pemahaman Gandhi ini mencoba
memberikan suatu persepsi bahwa setiap agama mengandung Kebenaran, tetapi
Kebenaran tersebut diberikan penafsiran oleh manusia, maka ia tidaklah kemudian
dapat diidentikkan sebagai Kebenaran yang sempurna. Hal ini karena berbagai
bentuk kelemahan manusia yang turut terlibat dalam memberikan berbagai bentuk
interpretasi atas agama. Ketidaksempurnaan tersebut memberikan inspirasi bagi
Gandhi untuk bersikap mengembangkan prinsip toleransi, yakni menghormati
keyakinan-keyakinan yang dianut olehorang lain. Ketidaksempurnaan itulah yang
memberikan alasan bagi Gandhi agar setiap orang dapat menemukan bentuk-bentuk
Kebenaran yang terdapat dalam agama lain. Itulah sebabnya, pengambilan
nilai-nilai yang baik dan benar dalam setiap agama seolah menjadi keharusan
moral yang harus dijalankan dalam komunitas ashram.
Demikian 11 aturan, disiplin, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang
diimplementasikan dalam kehidupan ashram
yang memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat India umumnya.
Dalam masyarakat anti kekerasan
dikembangkan prinsip dasar semua manusia bersaudara (Vasudhaivakutumbhakam). Pandangan Gandhi ini (Wisarja, 2007:155)
tidak bisa dilepaskan dari pengertiannya tentang manusia. Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa manusia tidak akan menemukan dirinya sendiri, tanpa terlibat
dalam kebutuhan besar, yaitu sosialitas. Manusia memang makhluk otonom, tapi
otonom yang berkorelasi, otonomi tidak bisa ditemukan. Itulah sebabnya Gandhi
berpegang teguh pada pemahaman untuk mengajarkan pada setiap orang menghargai
orang lain sebagai manusia. Manusia dengan nilai kemanusiaannya harus menjadi
landasan dalam setiap bentuk pergaulan hidup dalam sosialitas. Pembentukan
masyarakat tanpa kekerasan hanya dapat dilakukan melalui komitmen warganya
untuk menjalankan ahimsa dan satyagraha. Ahimsa adalah falsafah pantang
kekerasan yang dikembangkan sedangkan satyagraha adalah aksi perjuangan yang
tidak memakaikekerasan. Penguatan sikap moral untuk menjauhi (emoh) kekerasan
adalah pilar utama mengubah keadaan masyarakat dari himsa menuju ahimsa. Emoh
kekerasan mengandung nilai universalitas, karena ia dikembangkan ke dalam
prinsip kemanusiaan yang bersifat universal. Semua umat manusia bersaudara,
sebagai saudara, tanpa permusuhan, dan tidak saling membenci, serta kamauan
untuk tidak pernah menghadirkan kekerasan di dalamnya menjadi representasi dari
kesempurnaan sikap hidup manusia dalam mewujudkan dirinya sebagai makhluk
sosial. Nilai-nilai ini jelas mempresentasikan kebenaran. Kebenaran adalah
Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, sehingga
wujud kasih sayang sebagai sebuah kebenaran merupakan tempat bersemayamnya
Tuhan Yang Maha Esa. “Di mana ada kasih sayang, di sanalah Tuhan Yang Maha Esa
bersemayam”.
Penutup
Mengakhiri makalah ini diketengahkan bahwa masyarakat tanpa kekerasan atau
masyarakat teladan yang diidamkan oleh Mahatma Gandhi. Bagi Gandhi, masyarakat
yang sempurna terlahir dari situasi keadaan manusianya yang memiliki
kesempurnaan pula. Begitu juga sebaliknya, manusia yang jahat juga berakibat
bagi bangunan masyarakat yang menjadi temapt para individu tersebut mengembangkan
kehidupannya. Manusia yang sempurna menurut Gandhi adalah pribadi yang satyagrahi yaitu orang yang mampu
mengatasi kekuatan-kekuatan jahat yang dilakukan dengan sikap ahimsa dan pemurnian diri yaitu mencakup
sikap lepas bebas terhadap harta milik dan bebas terhadap kelezatan dan
kenikmatan melalui kehidupan yang sederhana, puasa, dan brahmacharya. Kesempurnaan manusia yang demikian pada akhirnya akan
berhubungan dengan kondisi masyarakat.
Bagaimana membangun masyarakat
teladan yang ideal, seperti telah disebutkan di atas, adalah membangun setiap
subjek atau manusianya, dan pembangunan manusia tidak dapat lain, kecuali
menanamkan pendidikan budi pekerti dan moralitas sejak anak-anak, menjauhkan
dari kebencian, kekerasan, irihati, kesederhanaan, disiplin diri, sembahyang,
puasa, dan penghargaan, Dalam kalimat yang singkat adalah menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati dan universal. Bila aturan hidup, disiplin,
nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang diajarkan Gandhi diikuti oleh seluruh
lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia, maka niscaya masyarakat anti
kekerasan akan dapat diwujudkan, dengan demikian ancaman terorisme dan
sejenisnya yang diekspresikan melalui tindak kekerasan dapat diatasi dan
dicegah sedini mungkin.
Daftar Pustaka
Alan Nazareth, Pascal, 2007. The Role of Truth and Diplomacy in Terrorism
Era. Makalah Seminar Internasional memperingati Seabad Satyagraha dilaksanakan oleh Fakultas Sastra Universitas
Udayana bekerja sama dengan Indian
Cultural Centre (ICC) Bali,
tanggal 19 Mei 2007.
Gandhi, M.K. 1996. Tuhanku (My God).
Himpunan Pemikiran M. K. Gandhi tentang Tuhan Yang Maha Esa dihimpun oleh
R.K.Prabhu, Denpasar: Ashram Gandhi.
Wisarja, I Ketut.2007. Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan.
Surabaya: Penerbit Paramita.
Zaehner,
R. C. 1993. Kebijaksanaan dari
Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia
Pustaka Utama