Sugriva yang merupakan raja para kera memerintahkan kepada pengikutnya (yang bernama Vinata) untuk pergi ke pulau Jawa (Javadvìpa) yang terdiri dari tujuh buah kerajaan dan dua buah pulau bernama Suvarnadvìpa(pulau emas) dan Rupyakadvìpa (pulau perak). Setelah Javadvipa akan menjumpai gunung yang bernama Úiúira (gunung Agung,Bali), dengan puncaknya yang mencapai Svargaloka. Dewa-dewa dan Danawa-Danawa bersthana di sana".
.
Ràmàyana,Kiskindhàkanda 40.30.31.
A. Bali, Nusaning Nusa, Hyang-Hyang
Sagara Giri
Bali sebagai pulau kecil sudah sejak jaman dahulu menjadi perhatian dunia.
Bila saat ini globalisasi melanda pulau yang indah dan terletak di antara
ribuan pulau di hamparan biru persada Nusantara, maka di masa yang silampun
Bali telah kena pengaruh internasional, yakni masuknya agama dan peradaban
Hindu di pulau ini. Orang-orang asing yang datang ke Bali pada masa yang silam
adalah mereka para pedagang China
dan peziarah (Yàtri) dari India.
Pengaruh Hindu di Bali di samping dari India Selatan (Amaravati), juga Kamboja,
Malaya (Ligor) dan Jawa. Pada jaman Majapahit
kitab Nàgarakrtàgama menjelaskan bahwa, kondisi masyarakat Bali dinyatakan sama
dengan pulau Jawa (Nusa Bali i sàcara lawan bhùmi Jawa/tradisi dan
adat-istiadat Bali sama dengan pulau Jawa ) menunjukkan betapa kentalnya
hubungan antara Bali dengan Jawa pada waktu itu. Di pulau yang disebut Nusaning
Nusa (permatanya nusantara) atau Hyang Hyang Ning Sagara Giri (keindahan
kedewataan perpaduan gunung dan laut) itu tersebar banyak peninggalan purbakala
berupa candi-candi, pertapaan atau ashram terutama di sepanjang sungai Petanu
dan Pakerisan menunjukkan cukup banyak adanya pusat-pusat pendidikan dan
pengembangan agama Hindu.
Bali, pulau yang mungil memiliki keunikan tersendiri. Berbagai julukan
telah diberikan kepada pulau yang memikat ini diantaranya adalah The Last
Paradise on Earth (Sorga terakhir bumi),The morning of the Word (Paginya
dunia),The Island of Gods (Pulau dewata ), The Intresting Peacefull Island
(Pulau penuh kedamaian yang sangat mempesona), dan seseorang akhli purbakala
bernama Bernet Kempers menyebutnya dengan : Land of One Thousand Temples, pulau
dengan seribu pura (1977 : 73). Kenyataanya menurut ahli purbakala ini, jumlah
pura di Bali lebih dari 20.000 buah.
Kepopuleran pulau Bali
bukanlah hal yang baru, sebab sejak jaman purbakala pulau ini sudah di kenal.
Keterangan tentang kemuliaan gunung agung, yang di sebut juga To Langkir atau
Udaya Parwata, di yakni sebagai bagian dari pegunungan Mahàmeru (yang pada
jaman dahulu disebut Úiúira Parvata ) sudah di ungkapkan dalam Ràmàyana, bagian Kiskindhà Kanda, karya agung adikawi
maharsi
Vàlmìki, sebagai sthana para Dewa (Rajendra Misra,1989 : VI) dan bila kita
melihat peninggalan purbakala di daerah Goa Gajah dan Gunung Kawi ( Gianyar )
seperti yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah pada jaman dahulu tidak
sedikit orang dari luar Bali yang melakukan Tìrthayàtra berkunjung ke daerah
ini dan menetap beberapa lama pada goa-goa pertapaan yang ada.
Bila dewasa ini wisatawan datang ke
Bali untuk tujuan memperoleh kepuasaan dan kesenangan dunia(walaupun ada juga
beberapa orang yang mendalami spiritual di Bali), pada jaman dahulu peziarah ke
Bali adalah untuk mencari kedamaian dan
kebahagiaan yang sejati. Hal ini adalah hal yang wajar, karena trend dunia
sekarang (pada jaman Kali) adalah material and pleasure oriented, yakni mencari
kekayaan dan kesenangan, sedang pada jaman dahulu para yàtri (orang yang
melakukan perjalanan suci /Tìrtayàtra) lebih menekankan untuk mencari kedamaian
yang sejati (peacefull oriented) dan di balik kedamaian itu, terdapat
kebahagiaan yang sejati (anandam).
Pulau Bali sebagai tujuan wisata
dunia di tengah-tengah globalisasi saat ini menghadapi berbagai tantangan dan
cobaan baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal yang di
akibatkan oleh konskuensi logis dari kepariwisataan dan globalisasi. Untuk itu
berbagai permasalahan telah dan akan terus muncul ke permukaan. Bilamana umat
Hindu sebagai penghuni pulau dewata ini tidak mampu mengantisipasi perkembangan
yang dihadapi, maka akan terjadi kehancuran yang tidak diharapkan.
Upaya-upaya untuk melestarikan
pulau Bali dengan aneka kekayaan yang dimiliki patut dilakukan oleh semua
pihak, terlebih lagi generasi muda terpelajar dan cendekiawan Hindu hendaknya
terpanggil untuk melakukan karya-karya nyata yang bertujuan mengangkat harkat
derajat dan kesejahteraan mesyarakat sekaligus dalam usaha melestarikan warisan
budaya yang merupakan aset nasional yang tiada taranya.
Dalam era globalisasi, tepatnya
setelah kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, pulau Bali yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Indonesia mulai
mengalami penyesuaian dengan kehidupan berbangsa dan bernegara R.I dengan Dasar
Negara Pancasila dan UUD 1945 sehingga hal-hal yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 mulai dikoreksi oleh umat Hindu yang menjadi penghuni
mayoritas di pulau yang indah ini. Sejak saat itulah terjadi friksi-friksi
terutama mereka yang terbiasa menikmati privileges di alam penjajahan.
Dampaknya semakin dirasakan oleh yang tidak ikhlas menerima pembaharuan atau
menerima Pancasila atau melaksanakan agama Hindu secara konskuen dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berbagai persoalan muncul,
terutama dalam kaitannya dengan Desa Adat yang secara populer kita kenal dengan
kasus-kasus adat di daerah ini (Lihat Harian Nusa Tenggara, Minggu, 19 Mei
1996).
Untuk itu pemahaman tentang agama
Hindu dan budaya Bali yang di dalamnya terdapat aneka kekayaan yang perlu
dilestarikan, namun hal-hal yang menghitami Bali, yang memberikan noda-noda
hitam terhadap keluhuran agama Hindu hendaknya disirnakan, mengingat budaya
Bali adalah ekspresi dan sekaligus wadah tumbuh kembangnya agama Hindu yang
kini mulai memancarkan cahaya di bumi Indonesia.
B. Agama Hindu dan Budaya Bali.
Antara agama Hindu dan budaya Bali
adalah ibarat tenunan benang kain endek Bali,
yang sudah saling jalin-menjalin dengan warna dan coraknya yang khas. Seseorang
yang awam akan merasakan sulit untuk membedakan antara agama Hindu dan
kebudayaan Bali. Bila kita mengkaji lebih jauh
sebenarnya terdapat perbedaan yang jelas antara agama Hindu dan budaya Bali, demikian pula antara agama Hindu dan Adat Bali.
Untuk menghindari kerancuan atau salah pengertian tentang hal tersebut di atas,
kiranya terlebih dahulu perlu dijelaskan beberapa pengertian yang terkait
dengan topik tulisan ini, yaitu agama Hindu, Budaya Bali, Adat dan Desa Adat.
1. Agama Hindu, Sanatana Dharma
atau Vaidika Dharma
Agama Hindu adalah agama yang
bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan himpunan wahyu Tuhan Yang Maha
Esa. Dari kitab suci Vedalah mengalir semua ajaran agama Hindu baik yang
menyangkut ajaran Úraddhà (keyakinan/keimanan), Tata-susila (etika) dan Àcàra
(ritual dan lain-lain). Wahyu Tuhan Yang Maha Esa pada mulanya turun di lembah
sungai Sindhu dan dari kata Sindhu inilah muncul istilah Hindu yakni nama yang
pada mulanya diberikan oleh orang-orang Persia untuk menyebut kebudayaan yang
berkembang di lembang sungai Sindhu, kemudian orang Yunani menyebutnya dengan
Indoi dan orang-orang Barat menyebutnya dengan India, sedang nama asli dari
anak benua India adalah Bhàrata atau Bhàratawarsa. Hindu kemudian menjadi nama
dari agama yang bersifat Sanatana, yakni agama yang abadi, oleh karena itu
agama Hindu juga dikenal dengan Sanatana Dharma. Di samping itu, oleh karena
agama ini bersumber pada kitab suci Veda, maka agama ini juga disebut dengan
nama Vaidika Dharma.
Ciri khas dari agama Hindu atau
Hindu Dharma adalah memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap pikiran rasional
manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut suatu pengekangan yang tidak
semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari
pemikiran, perasaan dan pemikiran umat manusia. Ia memperkenalkan kebebasan
yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah
suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan
berpikir manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap
hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan
kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu maupun
dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada
setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh
karena itu, segala macam keyakinan/ Úraddhà, bermacam-macam bentuk pemujaan
atau Sàdhana, bermacam-macam ritual atau adat-istiadat yang berbeda semuanya
memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu dan
dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan
yang lain.
Karakteristik atau ciri lainnya
yang merupakan barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang kiranya
menimbulkan perpecahan di dalam Hindu Dharma adalah Iûþadevatà dan Adhikara
(Sarma, 1987: 5). Iûþa atau Iûþadevatà adalah kebebasan untuk memuja salah satu
manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sesuai penjelasan kitab suci Veda dan susastra
Hindu lainnya sedang Adhikara adalah memilih disiplin dan atau cara tertentu
sesuai dengan kemampuan dan kepuasan batinnya.
Svami Sivananda seorang dokter bedah
yang pernah praktek di Malaysia dan meninggalkan profesinya itu kemudian
menjadi seorang Yogi besar dan rohaniwan agung, pendiri Divine Life Society
menyatakan: Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah
gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan
apabila mendengar tentang sekta-sekta(sampradaya atau perguruan/ashram Hindu)
dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma, tetapi perbedaan itu
sesungguhnya merupakan tipe pemahaman dan tempramen sehingga menjadi keyakinan
yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang
utama dari Hindu Dharma, karena dalam agama ini tersedia tempat bagi semua tipe
pemikiran manusia dari yang tertinggi sampai yang terendah,demi untuk
pertumbuhan dan evolusi mereka(Sivananda,1988:134). Mengingat adanya berbagai
perbedaan, terutama yang menyangkut Àcàra yang bersifat gradual, maka nampak
warna yang berbeda-beda di dalam Hindu.
Dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam ajaran agama Hindu kita mengenal pula istilah
Dharma Agama. Istilah Dharma Agama pertama kali rupanya dipopulerkan pada
tanggal 28 Februari 1959 ketika Parisada Hindu Dharma Indonesia dibentuk yang
ketika bernama Parisada Dharma Hindu Bali, sebagai suatu pendekatan pembinaan
terhadap umat Hindu di Indonesia untuk menjadi umat beragama Hindu yang baik,
di samping istilah Dharma Negara. Istilah ini ditetapkan kembali pada buku
Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia yang telah diputuskan sebagai buku
pedoman pembinaan umat oleh Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia
tahun 1988 yang lalu.
Dalam buku Pedoman Pembinaan Umat
Hindu Dharma Indonesia di nyatakan pendekatan Dharma Agama meliputi tiga
komponen memfungsikan peranan agama sebagai faktor innovatif, kreatif dan
integratif di samping merupakan sumber nilai dan norma serta usaha untuk
meningkatkan peranan agama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa bagi umat
Hindu di Indonesia (PHDI Pusat, 1990 : 14). Sedang yang di maksud Dharma Negara
adalah hal dan kewajiban serta tanggung jawab umat Hindu untuk senantiasa
membela, mempertahankan, mengisi, kemerdekaan, mengabdi, dan berbakti kepada
nusa, bangsa dan negara sesuai dengan salah satu ajaran Catur Guru Bhakti,
yaitu bhakti kepada Guru Wisesa/ hormat dan cinta kepada tanah air, bangsa,
negara dan pemerintah (Ibid : 10).
2. Budaya Bali
Bila kita melihat bermacam-macam
kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka nampak jelas perbedaan
antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya.
Populernya Bali di seluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur
dan indah itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh
dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara agama
Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa agama
Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa
kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan
jiwa dan nafas hidup dari budaya dan kebudayaan ini.
Agama Hindu dapat disebut sebagai
isi dan budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu
sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya
setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah
lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama
sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam
wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan
Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran
agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya,
ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan
Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar
pada: (1). pandangan hidup masyarakat Bali, (2). seni budaya Bali, (3).
adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu
dan (4). organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperi Desa Adat, Subak
dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan ajaran
Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.
3. Adat-istiadat dan Desa Adat
Seperti telah diungkapkan pada
bagian awal tulisan ini masih terdapat kerancuan pengertian antara agama dan
adat di kalangan masyarakat. Kerancuan ini disebabkan karena terjadi jalinan
sedemikian rupa antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu
sebagai jiwa atau nafas hidupnya. Kerancuan tersebut antara lain disebabkan
oleh pandangan yang menyatakan bahwa segala aktivitas masyarakat Bali terutama
yang menyangkut upacara agama disebut sebagai adat Bali dan sepanjang
pengetahuan penulis, tidaklah ada adat yang memiliki upacara. Berbagai upacara
di Bali sebenarnya merupakan aktifitas agama Hindu. Jadi yang memiliki upacara
adalah agama Hindu yang bersumber pada wahyu (Úruti) Tuhan Yang Maha Esa yang
terhimpun dalam kitab suci Veda yang pokok-pokok ajaran dan pelaksanaanya diatur
dalam tiga kerangka dasar agama Hindu, yakni Tattva (Úraddhà), Tata susila dan
Àcàra Agama (PHDI Pusat, 1988: 53). Untuk itu perlu dipahami pengertian yang
terkandung dalam istilah adat-istiadat dan Desa Adat secara lebih baik lagi.
Adapun yang di maksud dengan adat
adalah istilah yang pada mulanya berasal dari bahasa Arab yang menurut ahli
Hukum Adat bernama Van Vollenhoven berarti kebiasaan atau adat-kebiasaan
(Purwita,1984:4)
Bila kita perhatikan
sungguh-sungguh, yang di maksud dengan adat atau di sebut juga adat agama Hindu
oleh masyarakat, tidak lain adalah wujud pelaksanaan Àcàra agama yakni
bentuk-bentuk upacara agama Hindu dengan berbagai rangkaiannya di samping juga
yang tradisi yang bersumber dari pelaksanaan ajaran agama yang diwarisi secara turun
temurun.
Selanjutnya istilah Desa Adat yang
sekarang di kenal, pada mulanya dikenal dengan sebutan 'desa' saja. Tetapi
dengan adanya pembentukan desa yang lain oleh pemerintah Belanda, yang
mempunyai tugas khusus dalam penanganan administrasi pemerintah di tingkat
bawah, maka terjadilah kerancuan pengertian 'desa'. Oleh karena itu untuk
memberikan pembedaan yang tegas maka desa yang berbeda fungsi dan tugasnya
tersebut di beri nama masing-masing 'Desa Adat' dan 'Desa Dinas' atau 'Desa
Administratif'. Istilah ini secara tertulis pertama kali di temukan dalam buku
I Gusti Putu Raka, tahun 1955 (Pitana,1994:139)
Batasan tentang Desa Adat secara
resmi (formal) telah di tuangkan dalam pasal 1 (e). Peraturan daerah Bali No.
06 Tahun 1986 yang manyatakan bahwa Desa Adat adalah : "Kesatuan
masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara
turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri".
Demikian antara beberapa istilah
atau pengertian yang perlu kita pahami bersama mengingat telah terjadi jalinan
yang demikian padat antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu
sebagai jiwa dari kebudayaan daerah ini. Jalinan yang demikian baik hendaknya
tetap terpelihara jangan sampai dirobek atau diputuskan oleh umat sendiri
karena tidak memahami apa yang kita miliki.
C. Fungsi dan peranan Desa Adat dalam
pelaksanaan agama Hindu
Desa Adat dengan Banjar-Banjarnya
adalah lembaga masyarakat umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan. Secara
nyata dasar keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara
agama yang berlangsung di Desa Adat seperti upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa
dan lain-lain, Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan Krama Desa.
(Kepala Bidang Bimas Hindu, Kanwil Depag Prop Bali , 1978:5)
Demikian pula bila kita mengkaji
ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan
kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian
kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah Desa Adat tidak saja merupakan
persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam
masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja
Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Diwujudkan dengan mendirikan pura Kahyangan
Tiga atau Kahyangan-Kahyangan Desa. Mewujudkan hubungan yang harmonis antara
sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui aturan yang
berlaku sebagai anggota Desa Adat atau Krama Desa dan membina hubungan yang
harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa Adat
yakni dengan pemeliharaan bersama desa, fasilitas desa dan Banjar masing-masing
dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita
Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa Adat
untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi
Desa Adat.
Dalam membina hubungan yang
harmonis antar sesama warga Desa Adat hendaknya selalu di kembangkan sikap
Amulat Úarìra ( introspeksi dan toleransi ) dengan suatu keyakinan bahwa semua
makhluk (semua orang adalah bersaudara/Vasudaiva kutumbakam) seperti di
amanatkan dalam mantra suci Veda berikut:
"Engkau telah terlindung dalam
mengambil air di tempat yang sama.
Aku nyatakan engkau seluruhnya dalam satu pengertian"
Aku nyatakan engkau seluruhnya dalam satu pengertian"
Atharvaveda III.30.6.
"Bumi ini tempat tinggal
(seluruh umat manusia), seperti sebuah keluarga, semua orang berbicara
berbeda-beda dan menganut kepercayaan yang berbeda, semuanya bersatu seperti
dalam satu kandang sapi, semoga kesejahteraan berlimpah"
Atharvaveda XII.1.45.
Terhadap adanya kesatuan pandangan
dalam kehidupan di Desa Adat kemudian di Bali kita mengenal adigium yang
merupakan azas dari kebersamaan, yakni : Salulung Sabyayantaka ( sa + luhung +
luhung sa + byaya (sa) + antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah
Bali di sebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan sepenanggungan. Atas
dasar azas kebersamaan ini hendaknya setiap anggota Desa Adat merupakan bagian
dari keluarga besar Desa Adat termasuk masalah kesejahteraan warganya. Bila hal
ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak terjadi warga umat Hindu
sampai dipelihara di panti-panti asuhan yang tidak bernafaskan Hindu.
Memperhatikan landasan dan tujuan
hidup manusia menurut ajaran Hindu, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kebahagiaan yang sejati, maka fungsi Desa Adat yang paling menonjol bagi warga
atau Krama-nya, adalah untuk bersama-sama meringankan beban kehidupan baik suka
dan duka (dalam Pasuka-dukan Desa). Dengan demikian fungsi atau peranan Desa
Adat dalam pelaksanaan agama Hindu secara lebih detail dapat juga dirinci
sebagai berikut :
a.
Mengatur hubungan Krama Desa
dengan Kahyangan.
b.
Mengatur pelaksanaan Pañca Yajña
dalam masyarakat.
c.
Mengatur penguasaan Setra.
d.
Mengatur hubungan antar sesama
Krama Desa.
e.
Mengurusi tanah, sawah dan
barang-barang lainya milik Desa Adat
f.
Menetapkan sanksi-sanksi bagi
pelanggaran terhadap hukum Adat (awig-awig).
g.
Menjaga keamanan, ketertiban dan
kedamaian masyarakat.
h.
Memberikan perlindungan hukum bagi
Krama Desa
i.
Mengikat persatuan dan kesatuan
antar sesama Krama Desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi,
teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan.
j.
Menjunjung dan mensukseskan
program pemerintah dalam memajukan desa, pendidikan dan perekonomian (MPLA Dati
I Bali, 1989/1990 : 24 - 25 )
Bila Desa Adat mampu melaksanakan fungsi dan peranannya, maka tujuan Desa Adat untuk mewujudkan desa yang Sukertagama (masyarakat tentram karena melaksanakan ajaran agama), Tata Tentram Kertaraharja (tentram dan sejahtra) akan dapat diwujudkan untuk itu para Prajuru Desa hendaknya senantiasa mencari upaya dengan mengkaji potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa Adat termasuk sumberdaya manusia (SMD)nya untuk dapat di kembangkan sebaik-baikmya. Sabha-Sabha Desa (Musywarah Desa) atau Sangkepan (sidang-sidang) dan Paruman Desa (rapat desa) hendaknya diadakan secara rutin dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam memanage (mengurus) Desa Adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu. Untuk itu pula aktivitas pembinaan kepada Krama Desa hendaknya terus dilakukan, misalnya menyosialisasikan keputusan-keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) maupun kebijaksanaan pemerintah. Bila semuanya itu di laksanakan dengan mantap, tidaklah mungkin terjadi kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh Desa Adat, misalnya perpecahan antar Krama Desa, meninggalkan Kawitan/leluhur (Atilar Kawitan), kumpul kebo (Mitra Ngalang ), masalah wangsa (keturunan), penguasaan tanah Desa Adat (pelabha pura) oleh seseorang, masalah kesulinggihan/kepamangkuan, penggunaan Setra/Kuburan, awig-awig Desa Adat yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 19945 sekaligus yang bertentangan dengan agama Hindu dan lain-lain.
Untuk lebih berfungsinya Desa Adat dalam mewujudkan Desa Sukertagama sebagai yang diharapkan, maka pembinaan kehidupan rohani (spiritual) warganya sangat mutlak di perlukan. Untuk itu usaha yang terus menerus menyelenggarakan penyuluhan agama Hindu dan pembinaan kehidupan agama Hindu pada umumnya hendaknya senantiasa diupayakan. Hubungan antara Prajuru Desa Adat dengan Kramanya dapat di ibaratkan seperti hubungan orang tua (bapak-ibu) kepada anak-anaknya. Anak-anak akan berhasil meniti hidupnya bila mendapat pendidikan yang baik. Dalam hal ini prinsip disiplin pendidikan Catur Upaya Naya Sandhi: Sàma (melihat sama semua warganya dan bersikap adil), Bheda (dapat membedakan yang baik dengan yang nakal, rajin dan tulus), Dàna (memberi hadiah / penghargaan kapada yang rajin) dan Daóða (menghukum memberikan perhatian kepada yang bersalah).
Usaha untuk meningkatkan pengamalan
ajaran agama bagi Krama Desa di mulai dari tiap-tiap individu dan keluarga
dalam kehidupan bermasyarakat Hal yang penting adalah usaha untuk membiasakan
diri secara rutin dan tekun untuk mengamalkan ajaran agama. Bentuk-bentuk
pengamalan ajaran agama atau Dharma dijabarkan dalam 7 jenis perbuatan seperti
dinyatakan dalam kitab Våhaspati Tattwa, meliputi : Úila (perbuatan baik),
Yajña ( pengorbanan Suci), Tapa (pengekangan diri), Dàna (bersedekah/menolong
orang lain), Pravåjya (mengembara menambah ilmu pengetahuan/kerohanian), Bhikûu
atau Dikûa (melakukan penyucian diri/menjadi Dwijati/Pandita) dan Yoga (senantiasa
menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi Wasa dan Bhaþàra Kawitan/Leluhur,
melalui sembahyang atau mengendalikan geraknya indra kita dapat bermeditasi
kepada Nya) dan tentunya ajaran-ajaran lain sebagai penuntun hidup, hendaknya
secara kontinyu mesti didalami dan diamalkan oleh segenap umat Hindu dengan
sebaik-baiknya.
D. Kasus-kasus Adat dan penanganannya
Bila kita mengamati media massa
baik surat kabar maupun eletronik (TV dan Radio), walaupun tidak banyak dan
tidak terlalu sering, namun acap kali kita menemukan berita atau munculnya
berbagai kasus-kasus Adat yang terjadi di berbagai Desa Adat di Bali.
Kasus-kasus itu tidaklah banyak bila kita bandingkan dengan jumlah Desa Adat di
seluruh Bali (sebanyak 1.610 Desa Adat), namun demikian mengingat publikasi
oleh media massa, nampak terjadi kerawanan atau permasalahan yang sepertinya
sulit dipecahkan oleh Desa Adat.
Kasus-kasus Adat sering sebenarnya
bukanlah murni permasalahan agama dan Adat atau prajuru Desa Adat dalam
memecahkan berbagai permasalahan yang timbul di Desa Adat. Sering sekali bila
kita dalami, kasus-kasus tersebut bermuatan politik, sentimen atau untuk
kepentingan peribadi dan kelompok tertentu. Dalih Adat apalagi agama
seakan-akan masyarakat Bali tidak berdaya dengan permasalahan yang dihadapinya
itu.
Bila kita perhatikan dengan
seksama, kasus-kasus Adat dapat terjadi dalam hubungan antar individu yang
bertentangan dengan norma agama terjadi di dalam Desa Adat, misalnya kasus:
Mitra Ngalang, Lokika Sanggraha, Badawasa (Homosek dan Lesbian), Salah Timpal
(Sodomi), Gamya-Gamana (Incest), Cuntaka dan lain-lain.
Kasus-kasus Adat yang berhubungan
dengan Krama Desa dan Wilayah Karang Desa dan Parhyangan di antaranya adalah:
judian (sering dengan dalih Tabuh Rah/bila Perang Sata atau adu ayam mestinya
tanpa taruhan apapun.Lihat Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek agama
Hindu yang telah ditetapkan oleh Parisada), pelacuran, anak yang lahir tidak
ada orang tuanya (tidak ada mengakui), bayi/orok yang dibuang di Pelemahan Desa
Adat (termasuk juga di wilayah Parhyangan), pelabha pura (untuk dimaklumi bahwa
Pura diakui sebagai sebuah badan hukum, oleh karena itu pura berhak memiliki
tanah pelabha pura) dan lain-lain.
Kasus-kasus Adat yang terkait
dengan kesucian pura, misalnya kehilangan pratima, arca, bhusana pura dan
lain-lain. Masalah Sulinggih (siapa saja berhak sebagai Sulinggih, prosedurnya
meminta ijin kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten setempat),
masalah kepemangkuan dan lain-lain, awig-awig apalagi pararem yang tidak membenarkan
seseorang untuk sulinggih adalah bertentangan dengan Dharma (agama Hindu).
Bila kita berpedoman kepada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum Hindu yang telah diresepir dalam
hukum Adat Bali dan berpedoman kepada keputusan-keputusan (juga
Keputusan-Keputusan Seminar yang telah ditetapkan oleh) Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat maupun Majelis Pembina Lembaga Adat Propinsi Bali serta
perundang-undangan yang berlaku, maka kasus-kasus tersebut dengan mudah dapat
diatasi. Dalam hal ini kearifan dan kebijaksanaan Prajuru Desa Adat sangat
menentukan. Bilamana dalam menanganinya mengalami kebuntuan atau tidak
terpecahkan, sebaiknya meminta petunjuk dari lembaga umat Hindu terkait maupun
aparat Pemerintah dalam mencari jalan keluarnya. Dalam Hindu tidak dikenal
"Botleneck" (jalan yang buntu), niscaya terdapat saja jalan untuk
mengatasi berbagai kasus yang muncul.
Hal yang perlu diperhatikan dalam
menangani berbagai permasalahan yang muncul adalah faktor psikologis. Umumnya
masyarakat Bali seperti halnya masyarakat lainnya patut dan ingin dihargai,
pelecehan dan sejenisnya menimbulkan ketersinggungan dan bila sudah tersinggung
akan menjadi sentimen pribadi yang sulit untuk disembuhkan. Faktor ini
hendaknya mendapat perhatian, sehingga dengan kearifan dan moral power yang
dimiliki oleh para Prajuru Adat, pemuka Agama dan pemuka masyarakat, maka
berbagai kasus Adat akan mudah dapat ditangani.
D. Simpulan
Dilaksanakannya fungsi-fungsi dan
peranan Desa Adat oleh Prajuru Desa Adat dan seluruh Krama Desa atau Warganya,
mengantarkan warga Desa Adat mewujudkan tujuan Desa Adat, yakni masyarakat yang
Sukertagama dan Tata Tentram sesuai tujuan agama Hindu. Bila fungsionalisasi
Desa Adat berhasil dilaksanakan, maka segala dampak negatif globalisasi akan
dapat diantisipasi dengan baik.
Untuk dapat memfungsikan Desa Adat
semaksimal mungkin, maka usaha dari Prajuru, Sekehe Taruna-taruni serta seluruh
warganya termasuk Aparat Desa Dinas (Pemerintah) dan lembaga-lembaga lainnya
dapat memahami peranan yang mesti di lakukan oleh Desa Adat, untuk itu
pembinaan kepada semua Krama (warga) Desa Adat terutama dalam bidang keagamaan
sangat di perlukan.
Daftar Pustaka
1. Covarrubias, Miguel
1977 : Monumental Bali, Van Goor Zonen Den Haag,
2. Devi Chand
1982 : The Atharvaveda, Text & translation , Munshiram Mano harlal,Delhi.
3. Kepala Bidang Bimas Hindu kanwil Dep. Agama Prop. Bali
1977/1978 : Desa Adat Bali Menghapi Kepariwisataan,
Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku/Brosur di Bali, Denpasar
4. Majelis pembinaan Lembaga Adat Dati I Bali
1989/1990 : Mengenal dan Pembinaan Desa Adat di Bali, Proyek pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 Kab. di Bali, Denpasar
5. Misra, Rajendra, Abhiraj
1990 : Sejarah Kesusasteraan Sansekerta,Dharmam Publisher, Denpasar
6.ParisadaHindu Dharma Indo nesia Pusat
1990 : Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia, PT. Upada Sastra, Denpasar.
7. Pitana, I Gede 1994
1994 : Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Penerbit Bali Post, Denpasar
8. Purwita, Ida Bagus Putu
1984
1977 : Monumental Bali, Van Goor Zonen Den Haag,
2. Devi Chand
1982 : The Atharvaveda, Text & translation , Munshiram Mano harlal,Delhi.
3. Kepala Bidang Bimas Hindu kanwil Dep. Agama Prop. Bali
1977/1978 : Desa Adat Bali Menghapi Kepariwisataan,
Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku/Brosur di Bali, Denpasar
4. Majelis pembinaan Lembaga Adat Dati I Bali
1989/1990 : Mengenal dan Pembinaan Desa Adat di Bali, Proyek pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 Kab. di Bali, Denpasar
5. Misra, Rajendra, Abhiraj
1990 : Sejarah Kesusasteraan Sansekerta,Dharmam Publisher, Denpasar
6.ParisadaHindu Dharma Indo nesia Pusat
1990 : Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia, PT. Upada Sastra, Denpasar.
7. Pitana, I Gede 1994
1994 : Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Penerbit Bali Post, Denpasar
8. Purwita, Ida Bagus Putu
1984
9.Sarma,D.S. :
1987
1987
10.Sivananda, Sri Svami
1988 : Desa Adat dan Banjar Adat Bali, Perce-
takan Kawi Sastra, Denpasar
The Nature and History of Hinduism,
dalam Kenneth Morgan, The Religion of Hinduism, Motilal Banarsidass, Delhi.
All About Hinduism, The Divine Life
Sosiety,Sivanandanagar,Uttar Pradesh India.
11 Sudarshana, Devi
1957 : Vrhaspati Tattwa, Old Javanese Philoso-phical Text,International Academi of Indian Culture, Delhi.
11 Sudarshana, Devi
1957 : Vrhaspati Tattwa, Old Javanese Philoso-phical Text,International Academi of Indian Culture, Delhi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abinash Chandra Das : Ågveda Culture, Bharatiya Publishing House,
1979 New Delhi, India.
2. Dvivedi, Kapil Deva : The
Essence of the Vedas, Vishva Bharati
1990 Research, Gyanpur, Varanasi, India.
1990 Research, Gyanpur, Varanasi, India.
3. Basham, A.L. : The Wonder that
was India, Rupa & Co, New
1992 Delhi.
1992 Delhi.
4. Dutt, M.N. : Santi Parva,
Mahabharata,Vol.6, Parimal
1988 Publications, New Delhi.
1988 Publications, New Delhi.
5. 1988 : Anusasana Parva,
Mahabharata,Vol.7, Parimal
Publications, New Delhi.
Publications, New Delhi.
6. Hooykaas : The Pañca Yajñas in India and Bali, Adyer
1975 Library, Baroda University, India.
1975 Library, Baroda University, India.
7. Pudja, G. : Bhagavadgita,
Mayasari, Jakarta.
1979
1979
8. Pudja,G. & Sudharta,Tjok.Rai
: Manavadharmaúàstra,Veda Smrti, CV.Junasco,
1978 Jakarta.
1978 Jakarta.
9. Puniatmaja, Oka I B. :
Silakrama, Parisada Hindu Dharma Pusat,
1978 Denpasar.
1978 Denpasar.
10. --------- : Bhagavata Puràóa
dalam The Principals of the
1990 Upanisads, Oxford University Press,Bombay.
1990 Upanisads, Oxford University Press,Bombay.
11. 1990 : Devì Bhagavata Puràóa
dalam The Principals
of the Upanisads, Ibid.
of the Upanisads, Ibid.
12. 1990 : Kurma Purana dalam The
Principals of the
the Upanisads, Ibid.
the Upanisads, Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar