..........mà úiúnadevà api gur åtaý naá..............
Rgveda
VII. 21.5
‘Dorongan nafsu seks itu semoga tidak mencelakakan kesucian
kami’
Mùûo na úiúnà vyadanti màdhyah.
Rgveda X. 33. 3
‘Kekacauan batin (pikiran), akibat dari dorongan seks
menggerogoti kami
seperti tikus
(menggrogoti sesuatu)’
Tempo hari pro dan kontra ditetapkan RUU Antipornografi dan Pornoaksi semakin
gencar dan bila tidak ada kearifan tentang kemajemukan bangsa Indonesia, maka RUU
itu akan ditetapkan dan diberlakukan di seluruh Indonesia. Umat Hindu,
khususnya yang bermukim di Bali bersama Pemerintah Daerah Bali telah sepakat
untuk menolak RUU itu di tetapkan menjadi Undang-Undang. Apakah perjuangan ini
akan berhasil, maka kita hanya menunggu dan berharap hal itu tidak terjadi.
Banyak pertanyaan yang muncul dengan diajukannya RUU APP tersebut dan
dikalangan masyarakat ada yang mengharapkan pihak DPR RI melakukan kajian
secara ilmiah terhadap kebenaran bahwa kemerosotan moral bangsa Indonesia,
salah satu sebab utama adalah adanya pornografi dan pornoaksi, yang menurut
Prof. Dr. Wimpi Pangkahila (2006:4) berdasarkan studi di Amerika Serikat pada
tahun 1960-1970 dan di Dermak pada tahun 1965, setelah pornografi beredar luas
dan legal, angka kejahatan seksual menurun tajam. Penelitiaan lain di Amerika
serikat menunjukkan bahwa pemerkosaan, pelaku kejahatan seksual terhadap
anak-anak, dan pelaku kejahatan lain, bukan orang yang masa remajanya gemar
menyaksikan pornografi. Sebaliknya, mereka yang justru kurang menerima
rangsangan dari bahan erotik pada masa remaja di bandingkan pada orang lain.
Demikian
pula hal tersebut dibandingkan dengan ritual kesuburan yang dilaksanakan di
Bali, misalnya upacara Jero Dong Ding Mabuncing ( perkawinan arca laki-laki dan
perempuan, simbolis Úiva dengan Parvatì atau Viûóu dengan Úrì yang tampaknya
sangat vulgar) yang dilaksanakan setiap tahun, sehari sebelum Hari Raya Nyepi,
di Desa Pekraman Muncan, Karangasem menunjukkan tidak ada terjadi kemerosotan
kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan sejenisnya terjadi di desa itu. Berdasarkan
uraian singkat tersebut di atas, bilamana belum di landasi suatu penelitiaan
yang mendalam tentang kemerosotan moral bangsa berkaitan dengan tayangan
pornografi atau pornoaksi, maka RUU APP tersebut mestinya belum perlu dibahas
apalagi ditetapkan menjadi undang-undang. Walaupun demikian, tulisan singkat
ini berusaha menguraikan bagaimana pandangan Agama Hindu terhadap seks atau
seksualitas. Untuk itu tulisan ini akan merunut informasi tentang seks didalam
kitab suci Veda maupun Susastra Hindu dan upacara kesuburan yang umum berkaitan
dengan simbolisasi pertemuan Dyauá dengan Påthivì atau Bapak Langit dengan Ibu
Bumi, Lingga dengan Yoni dan sebagainya.
Seks di
dalam kitab suci Veda dan Susastra Hindu
Kehidupan seksual pada zaman Veda pada umumnya adalah
heteroseksual (antara laki-laki dan perempuan). Homoseksual diantara sesama
lelaki dan perempuan, selengkapnya tidak di kenal dan bila mungkin ada kasus
tersebut, kitab suci Veda tidak pernah menyebutkan. “In this respect ancient India was
far healtier than most other ancient culture” demikian kata-kata A. L. Basham dalam
bukunya The
Wonder That Was India yang di
kutip kembali oleh Ivo Fiser (1989:64) dan menambahkan tidak pula ada informasi
tentang hubungan manusia dengan binatang (besttiofilia) yang tercatat dalam literature Sanskerta
seperti fakta yang umum pada peradaban kuna seperti halnya kehidupan para nomand di era modern ini.
Dari
keterangan tersebut diatas dapat diketahui bahwa kehidupan seksual yang
diamanatkan dalam kitab suci Veda adalah kehidupan seksual yang normal, antara
laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Lebih jauh A. L. Basham
(1992:172) mengatakan bahwa kehidupan seksual adalah hal yang positif sebagai
tugas keagamaan, tugas suci (religius duty), yang diamanatkan pada suaminya untuk
menggauli istrinya pada masa delapan hari setelah isrtinya menstruasi. Dalam
uraian yang lain A. L. Basham (1992:172) menyatakan orang India pada umumnya,
seperti halnya di belahan bumi lainnya, pada umumnya menganut azas perkawinan
monogami dan poligami tidak dikenal dalam Ågveda. Para raja dan pemimpin
umumnya dalam beberapa variasi ada yang berpoligami. Dalam situasi yang normal
poligami tidak dianjurkan dalam literature yang lebih tua. Dalam Apaûþamba
Dharma Sùtra (II.5.11) secara tegas melarang menghamili istri yang kedua,
bilamana istri pertama memiliki karakter yang baik dan melahirkan beberapa
anak. Dalam Narada Dharma Sùtra (I.I90) diinyatakan seseorang yang melakukan
poligami tidak pantas untuk hadir dalam sidang pengadilan (penegakkan hukum).
Dalam Arthaúàstra (III.2) dinyatakan bahwa pelaku poligami dianggap ceroboh,
dan keduanya diwajibkan membayar
kompensasi kepada istrinya yang pertama. Yang menjadi contoh atau model
perkawinan yang ideal adalah perkawinan Rāma dengan Dewi Sità yang sangat setia,
saling mencintai, tidak pernah terusik oleh adanya istri yang kedua.
Di
dalam kitab suci Veda gejala atau fenomena alam sering disimbolisasikan sebagai
aktivitas seksual. Hujan sering disebut sperma, cairan mani (retaá) yang menyuburkan tanah (Rv
I.100.3;128.3 dst., Av.IV.15.11). Parjanya, dewa hujan disebut menyimpan
spermanya pada milik istrinya yang tampak seperti sapi jantan (Rv.III.55.17).
Ia disebut juga retodha atau yang melahirkan semua
tumbuh-tumbuhan.(Rv.VII.101.6; dst.III.56.3; Av.VIII.7.21). Ia disebut juga
yang memberi kesegaran (yang memuaskan) bumi dengan spermanya. Aktivitas
penciptaan alam kadang-kadang digambarkan sebagai hubungan seksual antara Dyauá (Bapak langit) dengan Påthivì (Ibu Bumi). Ia menjadi basah
diresapi (garbharasa) dan ditusuk (nividdha) olehnya (Rv I.164.8). Ide
berpasangan dalam berhubungan dinyatakan dalam bentuk kata majemuk ‘dvandva’ yakni dyavapåthivì (Fiser,
1969:44). Sesungguhnya sangat banyak gejala alam (natural phenomenal) yang digambarkan sebagai seksual intercourse
yang dampaknya memberikan kesuburan kepada bumi.
Berikut
kami sampaikan bagaimana pandangan kitab suci Veda terhadap seorang perempuan,
istri atau wanita dan laki-laki: Seorang gadis hendaknya suci, hendaknya berbudi
luhur dan berpengetahuan tinggi (Atharvaveda XI.1.27). Seorang gadis menentukan
sendiri pria idaman calon suaminya (svayamvara/Rgveda
X.27.12). Mempelai wanita sumber kemakmuran (Ågveda X.85.36). Seorang lelaki
yang terlalu banyak mempunyai anak selalu
menderita (Rgveda I.164.32). Terjemahan mantra ini menunjukan bahwa bila
lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau
suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian
nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut seorang
wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu
(patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh kebahagiaan
(Atharvaveda XIV.1.42).
Dalam
perkembangan ketika muncul pemujaan kepada ‘linga
dan yoni’ yang diduga akarnya berasal
dari masa pra Veda, maka visualisasi ‘linga
dan yoni’ baik yang tersamar
(distilir) maupun yang natural dan bahkan yang vulgar mulai tampak sesudah
zaman Veda dan berkembang dalam berbagai aspek budaya (seni arca, lukis) dan
sebagainya.
Seks dan
pengendalian diri
Pada
manggala (bagian awal dari tulisan) ini telah dikutipkan tentang pentingnya
pengendalian diri terhadap adanya dorongan nafsu seks yang sering menjerumuskan
umat manusia. Berdasarkan kutipan tersebut maka penyaluran dorongan seksual
hanya dibenarkan melalui lembaga perkawinan (vivàha) dan lembaga perkawinan dianggap sah bila dilakukan dengan Vivàhasaýskara. Perkawinan adalah sebuah
upacara Yajña, demikian dikatakan dalam kitab Taittriya Brahmana (II.2.2.6)
(Pandey, 1991:153). Bila terjadi hubungan seksual tanpa pelaksanaan upacara Vivahasamskara, maka hal itu tidak
dianggap sebagai perkawinan yang sah. Lebih jauh tentang seks dan perkawinan
diamanatkan didalam Veda dan Susastra Hindu sebagai berikut.
Sam
jaspatyam suyamam astu devah.
Rgveda X.85.23
‘Ya, para dewata, semoga
kehidupan perkawinan kami
berbahagia dan tentram’
Asthuri
no garhapapatyani santu.
Rgveda
VI.15. 19
‘Hendaknyalah hubungan
suami-istri kami tidak bisa putus
berlangsung abadi’
Sam
anjantu visvedevah, samapohrdayaninau
Rgveda
X.85.42
‘Semoga para dewata dan apah
mempersatukan hati kami,
suami-istri
Ihaiva
stam ma vi yaustam,
visvam
ayur vyasnutam.
Kridantau
putrair naptrbhih,
modamanau
sve grhe
Rgveda
X.85. 42
‘Ya, pasangan suami-istri, semoga
anda tetap disini dan tidak pernah terpisahkan. Semoga anda berdua mencapai
kehidupan yang penuh kebahagiaan. Semoga anda, bermain dengan anak-anak lakimu
dan cucu-cucu lakimu, tinggal di rumah ini dengan gembira
Mantra
terakhir (Rgveda 85. 42) tersebut di atas dapat kita jumpai kembali di dalam
kitab Atharvaveda XIV. 1.22 yang menyiratkan tentang makna perkawinan untuk mewujudkan
kehidupan dan kebahagiaan bersama dengan putra-putri dan cucu-cucu yang lahir
dari perkawinan mempelai diamanatkan untuk bergembira dan tinggal di rumah
sendiri yang menunjukkan kepada kita seseorang yang telah siap memasuki masa Gåhastha (hidup berumah tangga)
hendaknya dapat menyiapkan rumah sendiri, tidak tergantung kepada orang lain.
Jadi sebelum memasuki Gåhasthàúrama,
seorang Brahmacari secara matang
harus mandiri untuk nantinya dapat mendapatkan perkawinan ideal sebagai
diamanatkan dalam mantra Veda di atas. Untuk itu seseorang dituntut berkerja
keras sesuai dengan Dharma.
Lebih
jauh tentang makna atau prinsip dasar tentang tujuan perkawinan di tegaskan
dalam kitab-kitab Dharmaúàstra adalah untuk mewujudkan 3 hal, yaitu:
1)
Dharamasampatti, kedua mempelai secara
bersama-sama melaksanakan Dharma yang
meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajna, sebab
di dalam Grhastalah Yajna dapat dilaksanakan secara sempurna.
2)
Praja , kedua mempelai mampu melahirkan
keturunan (putra-putri) yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada
leluhur. Melalui Yajna dan lahirnya putra yang suputra (Berbudhi perkerti
luhur) seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitrarna), kepada Tuhan Yang Maha Esa (Devarna) dan kepada para guru (Rsirna).
3)
Rati , kedua mempelai dapat menikmati
kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan Kama ) yang tidak
bertentangan Dharma (Kantawala, 1989:89).
Berdasarkan kutipan tersebut diatas,
maka perkawinan menurut kitab suci Veda dan Susastra Hindu lainnya adalah untuk
mewujudkan kebahagiaan bersama lahir dan batin termasuk pula dalam pengertian
memperoleh keturunan yang suputra (anak-anak dan cucu-cucu) sebagai penerus
kehidupan keluarga. Lebih jauh kitab suci Veda menyatakan bahwa suami-istri itu
satu jiwa dalam dua badan.
Aksyau nau madhusamkasenau samanjanam,
Antah krnusva mam hrdi mana innausahasati.
Atharvaveda
VII.36.1
‘Hendaknya manis bagaikan madu cinta
kasih dan pandangan
antara suami dan istri penuh keindahan.
Semogalah senantiasa
hidup bersama dalam suasana bahagia
tanpa kedengkian (di
antara mereka). Semoga satu jiwa bagi
semuanya.’
Terhadap
terjemahan mantra ini, Devi Chand (1982:299) menjelaskan: hendaknya saling
mengusahakan kebahagiaan bersama seperti halnya para dokter meneliti
tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh manfaat dari tumbuh-tumbuhan itu (sebagai
orang yang berguna). Demikianlah antara seorang suami dan istri senantiasa
berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan sesuai Brata-Brata Vivāha (kewajiban dan
pantangan-pantangan ) dalam perkawinan.
Suami dan
istri hendaknya tidak jemu-jemu mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta
kebahagiaan dalam rumah tangga diamanatkan pula dalam
Manavadharmaúàstra sebagai berikut.
Tatha
nityam yateyatam stripumsau tu
krtakriyau,
Ytatha
nabhicaratemTau tau viyukta vitateratam.
Manavadhamasastra IX.102.
‘ Hendaknya lak-laki dan perempuan yang
terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya agar
mereka tidak bercerai, mewujudkan antara satu dengan yang lain’.
Anyonyasyavy
abgicaro bhaved amaranantikah,
Esa
dharmah samasena jneyah stri pumsayoh parah.
Manavadharmaúàstra IX.101.
‘Hendaknya hubungan yang setia
berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus dianggap hukum yang
tertinggi bagi suami istri.’
Samtusto bharyaya bharta bhartra bharya
tathaiva ca,
Yasminn eva kule nityam kalyanam tatra
vai dhruvam.
Manavadharmaúàstra
III.60.
‘Keluarga dimana suami berbahagia dengan
istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagian pasti kekal
dan abadi’
Suami dan
istri diamanatkan untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan jalan yang benar
(mengikuti hukum yang berlaku) dan memperoleh putra yang perwira, membangun
rumah sediri dan hidup didalamnya:
Syonadyoneraghi
budhyamanau sahamudau hasamudau
mahasa modamanau
Sugu
suputrau suguhrau tar-thau jivabusasoVibhatih.
Atharvaveda XIV.2.43.
‘Wahai suami dan istri, hendaknya kamu
berbudi pekerti
yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan
diantara
kamu. Lakukanlah tugas dan kewajibanmu dengan
baik dan
patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah
putra-putri
yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan
hiduplah
bersuka cita di dalamnya’.
Berdasarkan
uraian di atas maka pengendaliaan diri terhadap dorongan seks sangat diperlukan
oleh setiap orang, terlebih lagi bagi mereka yang sedang menempuh kehidupan
Brahmacarya, seperti diamanatkan dalam Mahàbhàrata (Ādiparva I. 170
.71): ‘brahmacaryam paro dharmah’ , chastify is the highest virtue or the
highest law (Meyer, 1989:258 ).
Ada hal
yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang popular disebut
dengan nama Smarastava, Panca Kanyam. Mantra ini terdiri dari satu bait mantram yang
biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yang meninggal
tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. Menurut informant pandita Úiva,
mantra ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat seorang
istri hamil ) dan pada saat bayi berumur tiga bulan (Hooykaas, 1971:38).
Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Panca Kanya, sebagai berikut.
Ahalya Draupadi Sita, Tara Mandodari tatha.
Panca-kanyam smaren
nityam, Maha-pataka-nasanam.
‘Seseorang
hendaknya bermeditasi kepada 5 perempuan
mulia,
yaitu : Ahalya, Draupadi, Sita, Tara dan Mandodari.
Mereka
yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dilenyapkan’.
Terhadap
mantram di atas, Prof. Dr. C. Hooykaas (1971:38) memberikan penjelasan tentang
kelima perempuan mulia itu, sebagai berikut: “Ahalya popular dikenal sebagai
istri dari maharsi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan
kemudian dihukum dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan (dibebaskan)
oleh Sri Rama. Draupadi dan Sita adalah masing-masing pahlawan perempuan dalam
Mahabharata dan Ramayana. Tara adalah istri Brhaspati yang dilarikan oleh Soma,
dan Mandodari tercatat sebagai paling favorit
dari para istri Rahvana. Kelima orang perempuan itu digambarkan secara
tradisional sebagai perempuan yang sangat cantik dan menawan. Tokoh-tokoh
perempuan ideal pada umumnya dari kalangan profesi Bràhmaóa dan Kûatriya.
Demikian antara lain tokoh-tokoh perempuan idieal dalam Veda dalam Susatra
Hindu lainnya. Di samping tokoh-tokoh ideal diatas, terdapat juga
tokoh-tokoh yang tidak patut ditiru, antara lain: Kaikeyi, Surphanaka (Titib,
1998:53) di dalam kitab Ràmàyaóa.
Di dalam kehidupan sehari-hari (di
Bali), bila seorang istri dalam keadaan hamil, maka pihak keluarga suami
berusaha mengadakan acara ‘Prasantia’ dan
‘dharmagita’ dengan harapan bayi
dalam kandungan istrinya dapat mendengarkan (vibrasi) dan sifat-sifat mulia dan
keutamaan tokoh-tokoh protagonis dari teks-teks yang dibaca. Umumnya teks-teks
yang dibaca adalah Ramayana, Sarasamuscaya dan lain-lain.
Ritual
kesuburan dan Realitas sosial
Ritual atau upacara memohon kesuburan di
masa yang silam hampir terdapat di seluruh belahan dunia. Tradisi ini sudah ditemukan
dalam masa pra-Veda. Demikian halnya di Bali, rupanya sebelum Agama Hindu
datang ke Bali, upacara ini telah dilaksanakan. Upacara-upara tersebut antara
lain pemujaan kepada Lingga. Abhiseka
Lingga yang umum berkaitan dengan pemujaan kepada dewa Úiva. Di desa Muncan,, Kecamatan Selat,
Kabupaten Karangasem, setiap tahun tepatnya pada hari Pengerupukan, sehari menjelang hari raya Nyepi, saat mengakhiri
upacara Caru Tabuh Gentuh pada sore
hari melaksanakan upacara Jero Dong Ding
Mabuncing, yakni perkawinan (sexsual
intercourse) antara sepasang arca laki-lak dan perempuan yang diberi nama
Jero Dong dan Jero Ding. Kata Jero Dong Ding mengingatkan bunyi gamelan
Selonding yang dulu pernah ada di desa Muncan. Nama lainnya disebut Bhatara Sanga, mungkin karena arca
tersebut berlangsung setiap akhir dari sasih Kesanga atau juga Dewata Nawa Sangga yang turun ke dunia
dalam wujud sepasang dewa dan dewi yang menganugrahkan kesuburan pada umat
manusia
Arca atau patung Jero Dong dibuat dari pohon dadap
(kayu sakti) bercabang tiga, sekitar
250 Centimeter yang kemudian posisinya dibalik. Bagian pangkal menjadi kepala
dan badannya, dua cabang yang sejajar dijadikan sepasang kaki dan cabang yang
ketiga dijadikan alat kelamin (phalusnya)
dilengkapi dengan sepasang tangan, wajah dalam keadaan terseyum dan posisi
rambut diikat seperti layaknya rambut seorang pandita (maprucut), sedang Jero Ding (yang
wanita) dibuat dari pelapah enau menjelang dewasa (jake dehe) tinggi sekitar 240 centimeter yang juga posisinya
dibalik, bagian pangkalnya sebagai kepalanya dan badan, sedang bagian atasnya
sebagai kaki, dilengkapi dengan alat kelamin dari bahan yang sama, buah dada
dan sepasang tangan, dengan rambut berasal dari ijuk yang menempel pada pelepah
enau tersebut, dilengkapi pula dengan hiasan kepala dan wajahnya juga dalam
keadaan terseyum. Kedua arca ini menggunakan busana layaknya penganten,
menggunakan kain dan kampuh poleng atau
yang bercorak loreng (sakordi). Jero
Ding dilengkapi denga sebilah keris dipunggungnya.
Kedua arca tersebut didirikan dengan
upacara pamelapas dan Pabyakala (natab banten beten) pada
tanggal 7 maret 2006 (anggara pon ukir) tepatnya menjelang 21 hari sebelum hari
pengerupukan. Tiga hari sebelumnya di Pura Ulunsui (disebelah Timur desa)
berlangsung upacara Usabha, yakni
upacara memohon kesuburan bagi tanah pertanian. Seperti dijelaskan pada hari Mabuncing, didahului dengan upacara Bhuta Yajña Caru Tabuh Gentuh, menjelang usai upacara ini dilanjutkan dengan kedua
patung tersebut diupacarakan berupa upacara Masakapan
(vidhividhana) dan Mabuncing yang dilaksanakan oleh pemangku desa (pemangku puseh desa) yang jumlah seluruhnya 7 orang dibantu oleh
prajuru desa lainnya. Seorang diantara pemangku
tersebut mengangkat Jero Dong dan
yang lainnya mengangkat Jero Ding
dengan menyikap kain masing-masing dengan memasukkan phalus ke dalam vagina sehingga
menampakkan adegan layak sensor. Adegan orang dewasa ini disaksikan oleh
sebagian besar masyarakat desa Muncan, baik anak-anak dan orang dewasa,
laki-laki maupun perempuan dengan iringan sorak sorai mengamati acara yang unik
itu.
Bagi masyarakat luar desa Muncan bila
melihat peristiwa ini tersebut tentunya akan menyebukan sebagai acara
pornografi dan pornoaksi. Pornografi, karena memperlihatkan hal-hal yang tampak
seksual dan pornoaksi menampakkan adegan bercumbu rayu dan bahkan coutis. Acara ini berlansung cukup lama,
karena diiringi dengan pemukulan kentongan besar (panjang 5,5 meter) yang
dibunyikan pada akhir tahun dan menjelang tahun baru saka, dipukul oleh seorang
atau dua orang pemangku sambil menikmati makanan khas Karangasem yang disebut nasi gibungan. Selain acara Mabuncing, kedua arca tersebut di- pralina (dimatikan secara ritual)
selanjutnya diarak mengelilingi desa sebanyak 3 kali dengan arah prasvya (kebalikan jalan arahnya jarum
jam) menuju alam kematian. Prosesi ini diikuti dengan gamelan dari kentongan
yang terbuat dari batang bambu.
Rupanya keyakinan masyarakat desa Muncan
tentang keberadaan Jero Dong Ding ini
merupakan hal yang universal, hanya dengan visualisasi yang realistik seperti
halnya pengamatan Bernet Kempers (1959:135) terhadap Linga dan yoni di pura
Pusering jagat Pejeng Gianyar berupa phalus
dan vagina yang tampaknya sangat
natural. Kepercayaan ini berawal pada konsep Rvabhineda, dua hal yang berbeda (bertentangan dan saling
memerlukan), Yakni adanya Bapak Angkasa dan Ibu Bumi, yang di dalam kitab suci
Veda disebut Dyauh dan Prthivi. Menurut Ida Nyoman Gede Gunung,
Geria Gunungbiu di desa Muncan, patung Jero Dong Ding ini adalah perwujudan
dari Dewata Nawa Sanga yang kemudian
menjelma menjadi sepasang Gandhava
(penari dan penabuh gamelan Kahyangan) dan hidupnya hanya memuaskan nafsunya.
Dari pelampisan nafsunya itu muncullah kesuburan yang didambakan oleh
masyarakat. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Jero Gede Darma (mantan Bendesa
Desa Pakraman Muncan) yang menyatakan kedua patung tersebut adalah perwujudan
dewa Visnu dan dewi Sri, dikaitkan dengan makna acara Usabha Ulunsui tersebut
di atas. Acara Jero Dong Ding Mabuncing ini
umumnya selalu bertepatan dengan padi di sawah di seputar Muncan mulai hamil
(akan mengeluarkan bunga yang kemudian menjadi buliran padi). Seperti telah
disebutkan bahawa ritul kesuburan ini sarat dengan makna, antara lain memohon
kepada sang Hyang Widhi supaya padi di sawah tumbuh subur dengan masyarakat
menjadi makmur. Disamping itu diamanatkan juga bahwa bagi manusia sifat Gandhrwa tidak sepenuhnya ditiru, namun
perlu pengendalian diri dan hubungan seksual antara suami istri akan mendapat
karunia-Nya bila terlebih dahulu menempuh upacara Vivaha Samskara (vidhividhana atau ritual perkawinan) dan bila hal itu tidak dilaksanakan, maka desa
tersebut akan cemar (cuntaka) karena terjadinya kasus Mamitra Ngalang yang sangat pantang dilakukan dikalangan
masyarakat. Walaupun masyarakat desa Muncan setiap tahun melaksanakan acara di
atas, rupanya selama ini tidak pernah terjadi kemerosotan moral berupa
pemerkosaan dan sejenisnya seperti yang menjadi kekhawatiran yang dilansir oleh
pendukung gagasan diberlakukannya Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (RUU
APP).
Simpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1)
Seks
merupakan dorongan yang terdapat pada setiap makhluk. Sebagai manusia yang
beradab, setiap orang hendaknya mengendalikan dorongan seksual tersebut.
2)
Seorang
yang mampu mengendalikan dorongan seksualnya dan hidup dalam disiplin
spriritual dan tekun mempelajari ilmu pengetahuann disebut Brahmacarya, dan
dipandang sebagai hukum atau ajaran agama yang tertinggi.
3)
Penyaluran
dorongan seksual (rati) hanya
dibenarkan melalui lembaga perkawinan, dan perkawinan ini dianggap sah dan
dibenarkan bila dilakukan terlebih dahulu melaksanakan Vivaha samskara (vidhividhana).
4)
Di dalam Agama
Hindu dijumpai beraneka bentuk ritual untuk memohon kesuburan, namun karena
pandangan masyarakat tulus, tidak menghubungkan hal tersebut dengan erotisme.
Di lingkungan masyarakat yang melakukan ritual tersebut tidak tampak adanya
kemerosotan sosial.
Daftar Pustaka
Basham, A.L 1992. The Wonder That Was India. New Dehli: Rupa & Co.
Chand, Devi. 1982. The Antharvaveda. New Dehli: MOntilal
Banarsidass.
Fiser, Ivo. 19767. Indian Erotics of Oldest Period. New Dehli: Gaurav Publishing House.
Hooykaas. C & T. Goudriaan, 1971.
Stuti and Stava of Balinise
Brahman Priest. Amsterdam, London: North Holland Publishing Campany.
Kantawala, S. G. 1989. Marriage and Family in The
Mahabharata. Some Aspects, in Moral. Dilemmas in The Mahabharata. Edited by Bimal Krisna Matilal.
New Delhi: Motilal Banarsidass.
Kempers, Bernet. 1959. Monumental Bali. Den Haag: Van Goor Zonen.
Meyer, Johann Jakob.1989. Sexsual LIfe in ancient Indian. New Dehli: Motilal Banarsidass.
Padey, Rajbali.1991. Hindu Samskara. New Dehli: Motilal Banarsidass.
Sudhartha, Tjokorda Rai, dan Gde
Puja. 2004. Manavadharmaúàstra (Veda Smrti), Kompedium Hukum Hindu. Surabaya: Paramitha.
Suniti Bala Gupta. 1982. Women Characters in the Stories
of the Mahabharata, dalam Great Women of India. Mayavati, Almora, Himalaya,:
Advaita Ashrama
.
Sushil KumarDe. 1982. Great Women in Vedic Literature, dalam Great Women of India. Mayavati, Almora, Himalaya: Advaita
Ashram.
Titib, I Made. 1998. Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis
Kehidupan.
Surabaya: Paramita.
Titib, I
Made. 1998. Citra
Wanita Dalam Kekawin Ramayana (Cermin masyarakat Hindu Tentang Wanita). Surabaya: Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar