Kamis, 31 Oktober 2013

SEMANGAT AHIMSA Untuk Mereduksi Kekerasan Dewasa Ini



Setiap pembunuhan dan bentuk kekerasan (penganiayaan) lain
 tak peduli apa penyebabnya yang dilakukan oleh atau ditujukan
kepada orang lain adalah suatu tindakan
kejahatan kemanusiaan”

                                                         Gandhi dalam Harijan, 20-7-1935, 180-181
Pendahuluan
            Satu abad atau saratus tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 September 1906 Mohandas K. Gandhi merumuskan strategi Satyagraha di Johannesberg, Afrika Selatan. Kemudian sejak September 2006-September 2007 saat ini, dunia memperingati Seabad Satyagraha. Dalam suasana tersebut ajaran  Mahatma Gandhi  tentang Ahimsa dan masyarakat tanpa kekerasan sangat penting untuk  disebarluaskan kepada masyarakat  umum.
            Ajaran dan sosok Gandhi telah menjadi milik dunia. Ia telah mendarmabaktikan pemikiran dan hidupnya untuk memajukan dunia, mewujudkan perdamaian abadi yang dilandasi kebenaran, keadilan dan cinta kasih yang tulus. Dalam situasi masyarakat yang dihantui oleh berbagai tindak kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di bumi Nusantara ini. Ajaran Gandhi tentang Satyagraha dan Ahimsa sangat relevan untuk ditelaah dan diamalkan. Kekerasan telah terjadi di mana-mana. Di lembaga pendidikan yang terhormat dari lembaga pendidikan tinggi sampai di sekolah dasar, seperti di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang menyiapkan calon birokrat yang melayani dan mumpuni, kekerasan berlangsung seru dengan melibatkan banyak pihak dan mengakibatkan beberapa korban berjatuhan. Kekerasan terjadi di sekolah dasar, seorang anak telah berani melakukan tindak brutal mengeroyok teman atau adik kelasnya, dan korban pun begelimangan. Kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak sekolah dasar dikaitkan pula dengan tayangan Smack Down di TV.  Ayah kendung menganiaya anaknya denan sangat sadis (Bali Post, 5 September 2007) dan sebagainya. Kekerasan tinggal kekerasan dan tiada hentinya ditayangkan di media massa. Mulai dari ujung utara Nusantara sampai selatan, dari barat sampai ke timur, dan di rumah tangga, di lembaga pendidikan, di berbagai sektor kehidupan kekerasan telah menghantui masyarakat, dan bagi masyarakat Bali sangat merasakan dampak dari kekerasan yakni tindakan teroris yang meledakan bom di Jalan Raya Legian Kuta dan Kafe Jimbaran. Kedua ledakan besar yang mengakibatkan meninggalnya ratusan orang, terutama orang asing telah mencoreng nama Bali dan Indonesia sebagai negara yang tidak aman. Negara yang belum mampu menuntaskan penangkapan gembong teroris dan dampaknya di sektor ekonomi sangat dirasakan hingga kini.
Dalam situasi yang mengkhawatirkan ini, Fakultas Sastra Universitas Udayana bekerja sama dengan Indian Cultural Centre (ICC) Bali menyelenggarakan seminar internasional memperingati Seabad Satyagraha, tanggal 19 Mei 2007 dengan menghadirkan seorang Gandhian, Mantan Duta Besar India, Pascal Alan Nazareth dengan topik pembicaraan Peran Kebenaran dan Diplomasi di Jaman Terorisme (The Role of Truth and Diplomacy in Terrorism Era)  yang  menyatakan  bahwa  abad  20  merupakan  abad yang paling brutal dan merusak hampir sepanjang  sejarah umat manusia. Hampir seratus juta orang terbunuh dalam dua perang dunia, kamar gas Hitler, perang antar negara, dan perang saudara. Dengan runtuhnya tembok Berlin, muncul harapan besar bahwa abad baru akan membuka lembaran baru perdamaian dan persaudaraan semesta. Sayangnya kenyataan jauh dari harapan. Saat ini lebih banyak orang hidup dalam ketakutan, mati mendadak dan brutal dibandingkan sebelumnya. Runtuhnya World Trade Centre (WTC) 11 September 2001 yang dikenal dengan istilah 11. 9 (eleven nine) sangat membekas dalam ingatan. Pelaku bom bunuh diri merupakan ikon teror di jaman ini. Bagaimana orang melindungi dirinya, keluarganya, dan negaranya dalam situasi yang seperti ini. Bagaimana orang mengetahui dan mencegah kebrutalan teroris, siapa yang mendapatkan keuntungan dari misteri dan kejutan ini. Apa yang membuat teroris begitu ingin dan sama sekali tidak takut mati dengan melakukan tindakan teroris. Pertanyaan-pertanyaan ini menunggu jawaban, namun menjawab pertanyaan-pertanyaan ini bukan perkara yang mudah. Bahkan hampir semua sistem pengawasan canggih yang dimiliki negara super power tidak mampu mencegah serangan teroris. Serangan pencegahan dan hukum keras terbukti sama sekali bukan tindakan pencegahan yang efektif. Tindakan pencegahan semacam ini justru menimbulkan tindakan teroris yang lebih brutal dan lebih canggih lagi.
            Demikian Pascal Alan Nazareth mengawali presentasinya. Ia yang berbicara di berbagai belahan dunia, di depan akademisi di berbagai kampus terkemuka di Amerika dan Eropa mengajak dunia untuk mengubah cara pandang dan sikapnya dengan mengimplementasikan ajaran Gandhi yang terbukti mampu mengantarkan India menuju kemerdekaan. Nazareth  mengutip Albert Einstein yang mengatakan “Lesatan daya atom mengubah segalanya kecuali pemikiran kita; kita sedang menuju ke arah tragedi tiada banding. Kita membutuhkan cara berpikir baru agar umat manusia tetap dapat bertahan ................ Perdamaian tidak bisa dijaga dengan kekuatan. Perdamaian hanya dapat dicapai dengan pemahaman”.
            Nazareth mengutip kata pengantar buku “Gandhi in the Post Modern Age” karya Prof. Ralph Bultjens, Penerima Penghargaan Sejarah Toynbee, menulis: “Kelemahan peradaban modern tampak dari cara menakutkan yang tidak efektif dalam mengatasi konflik. Dalam hubungan internasional maupun penggunaan cara-cara pencegahan militer, tidak memperbaiki kelemahan dunia. Interpretasi yang agak pesimistik terhadap sejarah ini ditentang dengan satu pengecualian penting, penerapan kebijakan dan teknik diplomasi Mahatma Gandhi di India. Gandhi bukan hanya berhasil menyelamatkan umat manusia dari keniscayaan sejarahnya, tetapi juga mendukung terus digunakannya”.


Keberhasilan perjuangan Gandhi
            Setelah tiga puluh tahun Gandhi mencanangkan perjuangan diplomasi dengan prinsip Satyagraha dan Ahimsa, Inggris angkat kaki dari India secara sukarela. Inggris dan India terpisah dan tetap berteman dan India bergabung dalam Persemakmuran Inggris sebagai mitra sejajar. Pernyataan Gandhi bahwa “Revolusi damai .................merupakan program transformasi hubungan yang berakhir dengan pemindahan kekuasaan dengan damai, tidak bisa disangkal”.
            Kemanjuran strategi kebenaran dan diplomasi Gandhi juga dapat dengan jelas dilihat di berbagai belahan dunia. Dengan menggunakan strategi ini, Martin Luther King lebih membawa manfaat bagi bangsa kulit hitam selama dekade 1960-an, dibanding dengan perang saudara, dan ratusan tahun berikutnya perjuangan hukum di Amerika Serikat berhasil. Demikian pula Dalai Lama menerapkan strategi yang sama untuk Tibet. Ketika menerima penghargaan pada Desember 1989 ia mengatakan: “Saya menerima penghargaan ini atas nama orang yang tertindas di mana saja, dan semua yang memperjuangkan kebebasan dan perdamaian dunia. Saya menerimanya atas nama seorang manusia yang membangun tradisi modern perubahan tanpa kekerasan – Mahatma Gandhi – yang hidupnya mengilhami saya. Dan tentu saja, saya menerimanya atas nama jutaan rakyat Tibet, kaum laki-laki dan perempuan Tibet yang berani, yang menderita dan begitu banyak menderita...................”.
            Professor Gene Sharpe dari Harvad, dalam bukunya berjudul “The Politics of Non Violent Action”, menulis “Gandhi adalah seorang experimenter dalam pengembangan “perang tanpa kekerasan”. Karyanya menjadi pioneer dan, meskipun tidak terlalu benar, mewakili  perkembangan sejarah baik dalam etika maupun politik ............. Banyak masalah dalam pengembangan dan penerapannya lebih lanjut. Namun dalam kata dan tindakannya Gandhi berfokus  pada apa yang kemungkinan menjadi kunci pemecahan masalah “bagaimana orang bisa hidup dengan damai, dan pada saat yang sama, secara aktif dan efektif, melawan penindasan dan ketidakadilan”.


Solusi Antisipasi
            Apa yang diperlukan dunia saat ini bukanlah “perang terhadap terorisme”, tetapi perang terhadap ketidakbenaran, ketidakadilan, penindasan, dan perang itu sendiri”. Pascal Alan Nazareth  membuat kesimpulan dengan kalimat yang dikutip dari buku Jonathan Schell berjudul “The Unquerable World”. Dalam buku tersebut dinyatakan: “Ketika  abad baru dimulai, maka tidak ada pertanyaan yang lebih penting dari ‘apakah dunia telah mulai siklus baru kekerasan, mengutuk abad 21 karena mengulang darah abad 20’. Dan lihatlah kenyataan. bahaya kontemporer, tidak seperti sebelumnya, yaitu ‘tentara konvensional dan kebencian persaingan negara-negara kuat yang sistematis’ tapi ‘penyebaran senjata nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya yang terus menerus dan iblis negara, suku, agama, dan pertarungan kelas yang tidak kunjung selesai’. Ia menyatakan bahwa, meskipun dengan adanya serangan 11 Septermber 2001 dan kebutuhan untuk mengambil tindakan keras mengatasi ancaman global, namun jalan baru dan menjanjikan telah terbuka. “Abad 20 memberi pelajaran berharga” yaitu bahwa bentuk-bentuk tindakan non kekerasan dapat  diterapkan secara efektif untuk menggantikan kekerasan di setiap tahapan permasalahan politik. Inilah sumpah perlawanan Mohandas K. Gandhi terhadap Kerajaan Ingris di India, gerakan hak-hak sipil Martin Luther King di Amerika Serikat, gerakan anti kekerasan di Eropa Timur dan Rusia yang meruntuhkan komunisme dan Uni Soviet”. Demikian mantan Duta Besar India, Pascal Alan Nazaret mengakhiri makalahnya yang sangat menarik peserta seminar.
            R. C. Zaehner dalam bukunya “Hinduism”, (1993:206) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme, diterbitkan oleh Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama mengidentikan Gandhi dengan Yudhisthira, saudara tertua dari Pandawa. Ia melukiskan, “Dalam kepribadiannya yang lemah itu cita-cita lama akan pembebasan diri, ‘ketulusan’ (ahimsa, diterjemahkan olehnya sebagai ‘tanpa kekerasan’) dan kebenaran bertemu. Ia melukiskan dirinya sebagai seorang Hindu sanatani, seorang yang mengikuti sanatana dharma ‘hukum abadi’ yang pernah eksis dalam (diri) dharma-raja, Yudhisthira. Dan dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira: apakah sanatana dharma, yang, katanya harus ditaati ini ada? Dimanakah dia berada? Adakah dia berada di dalam hati ataukah dalam perkara-perkara seperti dinyatakan oleh para Brahmana? Harus diingat bahwa Yudhisthira pun tersiksa oleh keragu-raguan sama yang menyakitkan ini. Adakah dharma yang diajarkan oleh para Brahmana itu dharma ‘abadi’, ataukah itu dharma yang merupakan sumber dari keberadaan dirinya, yakni dharma yang merupakan berkat mana ia menjadi “Raja dharma”, “Raja Kebenaran”, karena kesadaran moral seorang yang benar tak dapat keliru? Dia ragu-ragu karena Tuhan sendiri telah mendorongnya ke arah perang dan kekerasan, dan menyuruhnya berbohong, tetapi ia pun tahu bahwa kesadaran moralnya melampaui “kebenaran” dari para Brahmana dan dari Krishna sendiri. Dilema Yudhisthira lebih menakutkan, lebih meresahkan daripada dilema Gandhi. Kesadaran moral-nya adalah yang pertama antara yang pernah memprotes melawan masyarakat yang kejam dan tidak adil ini. Belum ada pembaharu sebelum dia. Demikian kata-kata Zaehner dalam buku tersebut.
            Berkaitan dengan perlawanan tanpa kekerasan yang diperjuangkan selama kehidupan Gandhi, Ketut Wisarja (2007:19) mengutip Mochtar Lubis dalam pengantar terjemahan buku “Gandhi, Semua Manusia Bersaudara” menyatakan: “Kekuatan perlawanan tanpa kekerasan Gandhi yaitu ahimsa ditunjang pula oleh perjuangan satyagraha yang berlandaskan perjuangan untuk berdiri senantiasa menegakkan kebenaran. Keduanya ditopang oleh satu kekuatan besar yaitu swadesi (mencintai tanah air dan lebih menyenangi pemakaian barang-barang buatan rakyat sendiri) merupakan tiga tiang dasar perjuangan Gandhi dan rakyat India untuk menekan kekuasaan Inggris mengakui kemerdekaan India”.
            Perjuangan Gandhi untuk meraih kemerdekaan tidak lepas dari ajaran-ajarannya (utamanya dari ajaran Agama Hindu) yang dipraktikkan dalam hidupnya. Dalam menjalankan aksi perlawanannya, ia selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis dasar gerakkannya. Untuk lebih memahami lebih jauh ajaran atau prinsip-prinsip anti kekerasan Gandhi, di sini dikemukakan beberapa hal yang penting (Wisarja, 2007:75), sebagai berikut: (1) Ahimsa. Secara harfiah ahimsa berarti “tidak menyakiti”, tetapi menurut Gandhi pengertian seperti itu belum cukup, menurutnya ahimsa berarti menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memberalat serta mengorbankan orang lain. Gandhi memandang ahimsa dan kebenaran (satya) ibarat saudara kembar yang sangat erat, namun membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran (satya) sebagai tujuannya. Pengertian ahimsa sebagai suatu sarana berarti tidak mengenal kekerasan untuk mencapai kebenaran, baik dalam wujud pikiran, ucapan, maupun tindakan. Justru kebalikannya, ahimsa harus menciptakan suasana membangun, cinta, dan berbuat baik kepada orang lain meskipun orang lain itu pernah menyakitinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. (2) Satyagraha. Secara harfiah satyagraha berarti suatu pencaria kebenaran dengan tidak mengenal lelah. Berpegang teguh pada kebenaran artinya satyagraha merupakan jalan hidup seorang yang berpegang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengabdikan seluruh hidupnya pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena jalan satu-satunya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan sarana ahimsa, maka satyagraha juga berarti “mengejar tujuan benar dengan sarana ahimsa. Satyagraha mengambil bentuk tindakan dengan sikap non-violence berdasarkan ahimsa. Tindakan tersebut secara praktis dapat dilaksanakan dengan: Pertama, civil disobidience (ketidak patuhan sipil), berarti melanggar hukum yang dipandang tidak adil, misalnya hukum pajak yang pernah diterabas Gandhi dan para pengikutnya pada tahun 1919. Kedua, non-cooperation, berarti menolak mengambil bagian dalam sistem yang tidak adil, yang menyebabkan banyak orang tertindas dan menderita. Ketiga, fasting atau puasa, yakni pengendalian diri agar menghasilkan kewaspadaan dan sikap hormat pada orang lain. Puasa dimaksudkan untuk menyadarkan orang-orang yang melakukan kesalahan. (3) Swadesi. Pengertian swadesi adalah cinta tanah air sendiri, cara mengabdi kepada masyarakat yang sebaik-baiknya kepada lingkungannya sendiri lebih dahulu. Gandhi secara jelas memberikan urutan swadesi ini, yaitu pengabdian diri untuk keluarga, pengorbanan keluarga untuk desa, desa untuk negara dan negara untuk kemanusiaan. Maksud Gandhi agar swadesi ditaati untuk menciptakan ketentraman dunia, sedangkan pengingkaran terhadapnya mengakibatkan kekacauan. Pelaksanaan swadesi ini antara lain: sebisa-bisanya agar membeli segala keperluan dari dalam negeri dan tidak membeli barang-barang import, bila barang-barang tersebut dapat dibuat dalam negeri sendiri. Melihat situasi dan kondisi waktu itu memungkinkan untuk melaksanakan anti import barang-barang asing sebagai protes dan boikot terhadap kaum penjajah. (4) Hartal. Hartal semacam pemogokan nasional, toko-toko ditutup sebagai protes politik dan para pekerja melakukan pemogokan massal. Untuk pertama kalinya Gandhi memutuskan untuk menentang pemerintah kolonial Inggris di India. Ia memutuskan melaksanakan hartal (pemogokan total). Ia mengatakan bahwa suatu hari kegiatan dagang harus dihentikan, toko-toko tutup, dan pekerja-pekerja mogok. Hartal ini merupakan permulaan dari perjuangan selama 28 tahun, yang berakhir dengan penjajahan Inggris menghentikan penjajahan atas bangsa India. Hartal dilakukan oleh rakyat India sebagai sebuah protes politik, namun hari-hari mogok itu dihabiskan dengan berpuasa dan kegiatan keagamaan lainnya.
            Lebih jauh walaupun Gandhi menjadikan ashram yang dibangunnya sebagai tempat eksperimen dari ajaran-ajaran, prinsip-prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan yang dianutnya, ternyata eksperimennya itu dapat diterapkan dan terbukti berhasil menciptakan masyarakat ideal yang anti kekerasan. Ajaran, prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan itu dituangkan dalam bentuk peraturan hidup (etika) di ashram, (Wisarja, 2007:141) yang jumlahnya 11 butir (ekadasavrata) yaitu: (1) Sat (kebenaran). Kata satya, kata dasarnya sat yang artinya ada atau kebenaran, bahkan bagi Gandhi, kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ada merupakan satu konsepsi tentang peristiwa-peristiwa dalam hidup, yang alami dan yang dapat dirasakan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hidup itu benar-benar ada, nyata dan bukan impian. Yang nyata dan ada itu semata-mata adalah Kebenaran. Dalam komunitas ashram, kebenaran tidak hanya dalam pengertian  berkata jujur atau tidak berdusta, melainkan harus terdapat pula pada semua segi, yakni pikiran, ucapan, dan tindakan. Mengejar kebenaran merupakan bhakti sejati (pengabdian) yang mengarahkan orang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran tersebut haruslah ditempuh melalui sikap nirbhaya (keberanian) keuletan, dan sikap tidak mudah menyerah. Pengertian Kebenaran dalam perspektif Gandhi mengandung keselarasan dari tiga unsur, yaitu: pikiran, ucapan, dan tindakan. Keselarasan dari ketiga unsur tersebut menjamin terselenggaranya kehidupan kepribadian setiap warga ke dalam ketaatan pada peraturan yang menjadi pengikat dalam kebersamaan. (2) Ahimsa (kasih sayang). Pengabdian kepada Kebenaran harus tetap mengandalkan sikap ahimsa (kasih sayang) terhadap sesama sekaligus terhadap makhluk lainnya. Ahimsa mengandung pengertian tidak menyakiti. Ahimsa merupakan suatu sikap tidak menyakiti manusia mana pun, baik pikiran, ucapan, maupun tindakan, sekalipun konon untuk kepentingan manusia itu sendiri. Prinsip ahimsa ini harus dijalankan dalam aktivitas keseharian manusia, utamanya bagi warga dalam ashram. Prinsip ini merupakan bentuk dari dasar pencegahan konflik dalam masyarakat, karena konflik biasanya muncul oleh berbagai perilaku “menyakiti” manusia lain dengan cara apa pun. Apabila setiap anggota masyarakat mematuhi prinsip ini, niscaya setiap konflik yang akan muncul dapat diminimalisir. Setiap manusia secara sadar mengamalkan prinsip ini sebagai kebutuhan dasar kemanusiaan untuk tidak saling menyakiti dan memusihi. (3) Brahmacharya (penguasaan indera). Pada dasarnya, brahmacharya mengandung pengertian sebagai sikap yang harus disesuaikan dengan proses pencarian Brahma, yakni Kebenaran. Brahmacharya lebih ditekankan pada perilaku dari setiap manusia untuk selalu bersikap sesuai dengan Kebenaran itu sendiri. Bagi Gandhi, brahmacharya sebagai prinsip ketiga dalam ashram lebih dari penguasaan nafsu hewani, melainkan juga mencakup penguasaan setiap indera yang terdapat dalam diri manusia. Bagaimana mungkin brahmacharya dapat dicapai sedangkan indera sendiri menjanjikan kenikmatan bagi orang yang memenuhi. Dengan mengutip ajaran suci Bhagavadgita, Gandhi optimis bahwa pencapaian brahmacharya dapat dipenuhi. Dengan tidak melayani kebutuhan indera, maka kerinduan terhadap objek-objek indera akan hilang dengan sendirinya, tetapi rasa rindu terhadap benda-benda itu muncul. Rasa rindu tersebut akan sirna sendirinya dengan usaha selalu mendekatkan diri kepada Brahma (Tuhan Yang Maha Esa). (4) Penguasaan Rasa Lidah. Prinsip ini berhubungan erat dengan brahmacharya, karena penguasaan rasa lidah pada dasarnya merupakan perilaku yang membantu tercapainya kualitas kemanusiaan menuju pada Brahma. Penguasaan rasa lidah dalam banyak hal berkaitan dengan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk makanan secara berlebihan, baik soal selera maupun mengubah orientasi makanan menjadi suatu kenikmatan. Setiap penghuni ashram diharapkan menghindarkan diri dari perilaku makan yang sekedar yang sekedar memenuhi kenikmatan indera semata serta tidak berlebih-lebihan, menghindari makan daging dan alkohol serta makanan yang membangkitkan nafsu. Prinsip menghindarkan diri dari berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan serta menghindari setiap makanan yang telah ditentukan merupakan ikhtiar dari setiap warga ashram untuk tidak memenuhi tuntutan inderawi semata-mata. (5) Asteya (tidak mencuri). Prinsip tidak mencuri merupakan prinsip kelima yang harus dijalankan oleh warga ashram. Tindakan mencuri merupakan sebuah pantangan bagi orang yang memperjuangkan dan membela Kebenaran. Mencuri merupakan tindakan yang merugikan orang lain, karena merasakan kehilangan miliknya. Tindakan mencuri adalah perilaku yang merusak hubungan sosialitas dalam ashram, karena akan memunculkan rasa tidak aman dan sikap saling mencurigai. Jika didiamkan hanya akan melahirkan situasi tidak kondusif bagi perjalanankehidupan ashram. Prinsip ini merupakan suatu upaya untuk menghindarkan diri dari nafsu untul menguasai sesuatu yang bukan menjadi haknya. Andaikata setiap manusia memiliki dan menjalankan prinsip ini, maka keserakahan yang biasanya menjadi realitas kemanusiaan dapat diminimalisir, bahkan dihentikan potensi perkembangannya. (6) Aparigraha (memilih hidup dalam kesederhanaan). Prinsip ini merupakan pengembangan yang lebih luas dari prinsip asteya, yaitu upaya manusia warga ashram untuk menghindarkan diri dari kepemilikan atau benda yang tidak diperlukan sekaligus yang bukan menjadi haknya. Melalui prinsip ini pula Gandhi membuat permakluman bahwa setiap warga dilarang untuk menyimpan sesuatu bagi keperluan untuk masa yang akan datang. Pelarangan ini mengandung pengertian agar setiap orang mempunyai kesempatan untuk memperoleh bagian, dan tidak menjadi monopoli yang dapat merusak hubungan antarwarga. Monopoli hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial dan sekaligus kesenjangan sosial dalam sosialitas ashram. Prinsip ini sesungguhnya merupakan suatu sikap mental agar setiap warga ashram memiliki kemampuan untuk saling memperhatian sesama, tidak serakah dan tidak terlalu menjadikan hidup berorientasi kepada kebutuhan-kebutuan fisik semata. Setiap warga ashram harus bersama-sama menikmati aktivitas kehidupan, tanpa ada yang paling kaya sekaligus yang berada dalam kemiskinan. Semuanya adalah milik bersama. Prinsip ini seolah juga memberikan suatu pemahaman akan pengaruh dari sikap hidup masyarakat sosialis purba yang menginginkan terbentuknya masyarakat tanpa harta milik. (7) Karya Pangan. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip asteya dan aparigraha. Prinsip karya pangan merupakan upaya untuk memenuhi sikap hidup yang mengutamakan asteya dan aparigraha, yaitu dengan menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, usaha mandiri tanpa melakukan pencurian. Ketaatan terhadap asteya dan aparigraha hanya dapat ditunjang dengan melaksanakan karya pangan. Pemenuhan kebutuhan sendiri melalui karya pangan merupakan kewajiban moral bagi setiap warga yang sehat. Kewajiban ini merupakan suatu prinsip hidup agar tidak menggantungkan dirinya dan warga di ashram terhadap orang lain. Karya pangan menjadi wujud daribentuk kemandirian. Konskuensi logisnya menjadi suatu kekuatan bagi tubuh masyarakat sipil dengan kemampuan untuk mengelola dan mencukupi kebutuhan sendiri. (8) Swadesi. Swadesi pada dasarnya mengandung suatu pengertian bahwa manusia bukanlah makhluk yang memiliki kekuasaan penuh. Manusia masih memiliki batas-batas kekuasaan yang membuat dirinya memiliki banya kelemahan. Atas dasar ini, pengabdian manusia kepada masyarakat sebaik-bainya hanya dapat dilakukan ketika mereka melakukan pengabdian kepada lingkungannya sendiri lebih dahulu. Melalui pengabdian ini (dari lingkuangan terdekat sampai yang jauh lebih luas) akan menumbuhkan kepekaan sosial atas setiap bentuk penderitaan sekaligus upaya melakukan pembebasan umat manusia dari setiap bentuk penindasan dan ketidakadilan. (9) Nirbhaya (tidak mengenal takut). Situasi politik yang tidak menentu dan di tengah ketertindasan masyarakat India akibat kekejaman kolonial, membuat Gandhi menganjurkan suatu anjuran Nirbhaya, yaitu suatu sikap untuktidak pernah mengenal rasa takut, terhadap kekuatan apa pun. Prinsip ini melahirkan suatu semangat yang sangat luar biasa bagi warga ashram untuk menunjukkan kebenranian dan jiwa patriotismenya melawan pemerintah koloni Inggris. Bagi Gandhi, setiap warga India harus dihilangkan rasa takutnya untuk berani berbicara dan berpendapat di muka umum, sekaligus menuntut dihilangkannya ketidakadilan bagi warga. Lebih jelas Gandhi mengatakan bahwa sikap bebas dari rasa takut berasal dari luar, misalnya bebas dari rasa takut pada penyakit, luka, kematian, kehilangan milik, kehilangan orang yang paling dekat dan disayang, kehilangan kemasyhuran atau takut dihina dan lain-lain. Rasa takut yang dianjurkan oleh Gandhi hanyalah rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menemukan dan menghilangkan rasa takut tersebut, Gandhi menganjurkan agar dimulai dan penaklukan rasa takut dalam diri sendiri. Penaklukan tersebut pada akhirnya akan menghilangkan rasa takut dari luar. (10) Menghapuskan Rasa Emoh Bersentuhan. Prinsip ini pada dasarnya mmerupakan bentuk penghapusan kelas-kelas sosial dalam masyarakat Hindu di India. Selama ini dalam masyarakat Hindu di India terjadi persoalan mendasar berkaitan dengan interaksi sosial. Artinya, terjadi proses pengeliminasian atau peminggiran kelas-kelas sosial tertentu berdasarkan kelahiran dan keturunan, atau yang disebut kasta. Kasta yang lebih tinggi seolah lebih mulia sehingga dilarang bersentuhan dengan kasta yang lebih rendah. Realitas ini bagi Gandhi dianggap bertentangan dengan prinsip ahimsa dan kodrat manusia yang dilahirkan dalam keadaan suci. Menurut Gandhi tidak seorang pun mungkin dilahirkan sebagai orang yang tidak boleh disentuh karena kita semua adalah percikan sinar dari yang satu dan sama. Sangatlah keliru untuk memperlakukan insan-insan tertentu sebagai orang yang pantang disentuh karena kelahiran. Prinsip ini mengandung suatu bentuk penghargaan atas kodrat kemanusiaan sebagai makhluk yang sederajat, tidak boleh terjadi berbagai bentuk diskriminasi dalam bentuk apa pun. Prinsip ini seolah mengindikasikan suatu bentuk jaminan bagi demokratisasi dalam masyarakat liberal yang memiliki tiga prinsip, yaitu: netralitas, kebebasan, dan kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan. Bagi Gandhi, melalui prinsip ini maka setiap warga ashram harus diberikan kedudukan yang sama dan wajib melakukan interaksi berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan berdasarkan status sosial yang berasal dari keturunan dan kelahiran. (11) Toleransi. Toleransi merupakan prinsip terakhir dalam ashram. Toleransi merupakan perluasan dari sikap hidup untuk tidak melakukan proses diskriminasi dalam masyarakat. Artinya, di dalam masyarakat ashram yang berasal dari berbagai komunitas harus menjalankan prinsip toleransi dan tidak saling membeda-bedakan. Terhadap agama-agama yang ada, Gandhi berpandangan bahwa semuanya mengandung wahyu Kebenaran, namun karena agama-agama tersebut garis besarnya dibuat oleh manusia yang tidak sempurna, maka keyakinan-keyakinan itu dipengaruhi oleh ketidaksempurnaan tersebut dan Kebenaran tersebut menjadi tidak mutlak adanya. Bila dikaji secara mendalam, pada dasarnya pemahaman Gandhi ini mencoba memberikan suatu persepsi bahwa setiap agama mengandung Kebenaran, tetapi Kebenaran tersebut diberikan penafsiran oleh manusia, maka ia tidaklah kemudian dapat diidentikkan sebagai Kebenaran yang sempurna. Hal ini karena berbagai bentuk kelemahan manusia yang turut terlibat dalam memberikan berbagai bentuk interpretasi atas agama. Ketidaksempurnaan tersebut memberikan inspirasi bagi Gandhi untuk bersikap mengembangkan prinsip toleransi, yakni menghormati keyakinan-keyakinan yang dianut olehorang lain. Ketidaksempurnaan itulah yang memberikan alasan bagi Gandhi agar setiap orang dapat menemukan bentuk-bentuk Kebenaran yang terdapat dalam agama lain. Itulah sebabnya, pengambilan nilai-nilai yang baik dan benar dalam setiap agama seolah menjadi keharusan moral yang harus dijalankan dalam komunitas ashram. Demikian 11 aturan, disiplin, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang diimplementasikan dalam kehidupan ashram yang memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat India umumnya.
            Dalam masyarakat anti kekerasan dikembangkan prinsip dasar semua manusia bersaudara (Vasudhaivakutumbhakam). Pandangan Gandhi ini (Wisarja, 2007:155) tidak bisa dilepaskan dari pengertiannya tentang manusia. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa manusia tidak akan menemukan dirinya sendiri, tanpa terlibat dalam kebutuhan besar, yaitu sosialitas. Manusia memang makhluk otonom, tapi otonom yang berkorelasi, otonomi tidak bisa ditemukan. Itulah sebabnya Gandhi berpegang teguh pada pemahaman untuk mengajarkan pada setiap orang menghargai orang lain sebagai manusia. Manusia dengan nilai kemanusiaannya harus menjadi landasan dalam setiap bentuk pergaulan hidup dalam sosialitas. Pembentukan masyarakat tanpa kekerasan hanya dapat dilakukan melalui komitmen warganya untuk menjalankan ahimsa dan satyagraha. Ahimsa adalah falsafah pantang kekerasan yang dikembangkan sedangkan satyagraha adalah aksi perjuangan yang tidak memakaikekerasan. Penguatan sikap moral untuk menjauhi (emoh) kekerasan adalah pilar utama mengubah keadaan masyarakat dari himsa menuju ahimsa. Emoh kekerasan mengandung nilai universalitas, karena ia dikembangkan ke dalam prinsip kemanusiaan yang bersifat universal. Semua umat manusia bersaudara, sebagai saudara, tanpa permusuhan, dan tidak saling membenci, serta kamauan untuk tidak pernah menghadirkan kekerasan di dalamnya menjadi representasi dari kesempurnaan sikap hidup manusia dalam mewujudkan dirinya sebagai makhluk sosial. Nilai-nilai ini jelas mempresentasikan kebenaran. Kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, sehingga wujud kasih sayang sebagai sebuah kebenaran merupakan tempat bersemayamnya Tuhan Yang Maha Esa. “Di mana ada kasih sayang, di sanalah Tuhan Yang Maha Esa bersemayam”.

Penutup
Mengakhiri makalah ini diketengahkan bahwa masyarakat tanpa kekerasan atau masyarakat teladan yang diidamkan oleh Mahatma Gandhi. Bagi Gandhi, masyarakat yang sempurna terlahir dari situasi keadaan manusianya yang memiliki kesempurnaan pula. Begitu juga sebaliknya, manusia yang jahat juga berakibat bagi bangunan masyarakat yang menjadi temapt para individu tersebut mengembangkan kehidupannya. Manusia yang sempurna menurut Gandhi adalah pribadi yang satyagrahi yaitu orang yang mampu mengatasi kekuatan-kekuatan jahat yang dilakukan dengan sikap ahimsa dan pemurnian diri yaitu mencakup sikap lepas bebas terhadap harta milik dan bebas terhadap kelezatan dan kenikmatan melalui kehidupan yang sederhana, puasa, dan brahmacharya. Kesempurnaan manusia yang demikian pada akhirnya akan berhubungan dengan kondisi masyarakat.
            Bagaimana membangun masyarakat teladan yang ideal, seperti telah disebutkan di atas, adalah membangun setiap subjek atau manusianya, dan pembangunan manusia tidak dapat lain, kecuali menanamkan pendidikan budi pekerti dan moralitas sejak anak-anak, menjauhkan dari kebencian, kekerasan, irihati, kesederhanaan, disiplin diri, sembahyang, puasa, dan penghargaan, Dalam kalimat yang singkat adalah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati dan universal. Bila aturan hidup, disiplin, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang diajarkan Gandhi diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia, maka niscaya masyarakat anti kekerasan akan dapat diwujudkan, dengan demikian ancaman terorisme dan sejenisnya yang diekspresikan melalui tindak kekerasan dapat diatasi dan dicegah sedini mungkin.


Daftar Pustaka
Alan Nazareth, Pascal, 2007. The Role of Truth and Diplomacy in Terrorism Era. Makalah Seminar Internasional memperingati Seabad Satyagraha dilaksanakan oleh Fakultas Sastra Universitas Udayana bekerja sama dengan Indian Cultural Centre (ICC) Bali, tanggal 19 Mei 2007.
Gandhi, M.K. 1996. Tuhanku (My God). Himpunan Pemikiran M. K. Gandhi tentang Tuhan Yang Maha Esa dihimpun oleh R.K.Prabhu, Denpasar: Ashram Gandhi.
Wisarja, I Ketut.2007. Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Zaehner,  R. C. 1993. Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama

DESA ADAT BALI DALAM ERA GLOBALISASI



Sugriva yang merupakan raja para kera memerintahkan kepada pengikutnya (yang bernama Vinata) untuk pergi ke pulau Jawa (Javadvìpa) yang terdiri dari tujuh buah kerajaan dan dua buah pulau bernama Suvarnadvìpa(pulau emas) dan Rupyakadvìpa (pulau perak). Setelah Javadvipa akan menjumpai gunung yang bernama Úiúira (gunung Agung,Bali), dengan puncaknya yang mencapai Svargaloka. Dewa-dewa dan Danawa-Danawa bersthana di sana".
.
                                                                      
Ràmàyana,Kiskindhàkanda 40.30.31.

A. Bali, Nusaning Nusa, Hyang-Hyang Sagara Giri
Bali sebagai pulau kecil sudah sejak jaman dahulu menjadi perhatian dunia. Bila saat ini globalisasi melanda pulau yang indah dan terletak di antara ribuan pulau di hamparan biru persada Nusantara, maka di masa yang silampun Bali telah kena pengaruh internasional, yakni masuknya agama dan peradaban Hindu di pulau ini. Orang-orang asing yang datang ke Bali pada masa yang silam adalah mereka para pedagang China dan peziarah (Yàtri) dari India. Pengaruh Hindu di Bali di samping dari India Selatan (Amaravati), juga Kamboja, Malaya (Ligor) dan Jawa. Pada jaman Majapahit kitab Nàgarakrtàgama menjelaskan bahwa, kondisi masyarakat Bali dinyatakan sama dengan pulau Jawa (Nusa Bali i sàcara lawan bhùmi Jawa/tradisi dan adat-istiadat Bali sama dengan pulau Jawa ) menunjukkan betapa kentalnya hubungan antara Bali dengan Jawa pada waktu itu. Di pulau yang disebut Nusaning Nusa (permatanya nusantara) atau Hyang Hyang Ning Sagara Giri (keindahan kedewataan perpaduan gunung dan laut) itu tersebar banyak peninggalan purbakala berupa candi-candi, pertapaan atau ashram terutama di sepanjang sungai Petanu dan Pakerisan menunjukkan cukup banyak adanya pusat-pusat pendidikan dan pengembangan agama Hindu.
Bali, pulau yang mungil memiliki keunikan tersendiri. Berbagai julukan telah diberikan kepada pulau yang memikat ini diantaranya adalah The Last Paradise on Earth (Sorga terakhir bumi),The morning of the Word (Paginya dunia),The Island of Gods (Pulau dewata ), The Intresting Peacefull Island (Pulau penuh kedamaian yang sangat mempesona), dan seseorang akhli purbakala bernama Bernet Kempers menyebutnya dengan : Land of One Thousand Temples, pulau dengan seribu pura (1977 : 73). Kenyataanya menurut ahli purbakala ini, jumlah pura di Bali lebih dari 20.000 buah.
Kepopuleran pulau Bali bukanlah hal yang baru, sebab sejak jaman purbakala pulau ini sudah di kenal. Keterangan tentang kemuliaan gunung agung, yang di sebut juga To Langkir atau Udaya Parwata, di yakni sebagai bagian dari pegunungan Mahàmeru (yang pada jaman dahulu disebut Úiúira Parvata ) sudah di ungkapkan dalam Ràmàyana, bagian Kiskindhà Kanda, karya agung adikawi maharsi Vàlmìki, sebagai sthana para Dewa (Rajendra Misra,1989 : VI) dan bila kita melihat peninggalan purbakala di daerah Goa Gajah dan Gunung Kawi ( Gianyar ) seperti yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah pada jaman dahulu tidak sedikit orang dari luar Bali yang melakukan Tìrthayàtra berkunjung ke daerah ini dan menetap beberapa lama pada goa-goa pertapaan yang ada.
Bila dewasa ini wisatawan datang ke Bali untuk tujuan memperoleh kepuasaan dan kesenangan dunia(walaupun ada juga beberapa orang yang mendalami spiritual di Bali), pada jaman dahulu peziarah ke Bali adalah untuk mencari kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Hal ini adalah hal yang wajar, karena trend dunia sekarang (pada jaman Kali) adalah material and pleasure oriented, yakni mencari kekayaan dan kesenangan, sedang pada jaman dahulu para yàtri (orang yang melakukan perjalanan suci /Tìrtayàtra) lebih menekankan untuk mencari kedamaian yang sejati (peacefull oriented) dan di balik kedamaian itu, terdapat kebahagiaan yang sejati (anandam).
Pulau Bali sebagai tujuan wisata dunia di tengah-tengah globalisasi saat ini menghadapi berbagai tantangan dan cobaan baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal yang di akibatkan oleh konskuensi logis dari kepariwisataan dan globalisasi. Untuk itu berbagai permasalahan telah dan akan terus muncul ke permukaan. Bilamana umat Hindu sebagai penghuni pulau dewata ini tidak mampu mengantisipasi perkembangan yang dihadapi, maka akan terjadi kehancuran yang tidak diharapkan.
Upaya-upaya untuk melestarikan pulau Bali dengan aneka kekayaan yang dimiliki patut dilakukan oleh semua pihak, terlebih lagi generasi muda terpelajar dan cendekiawan Hindu hendaknya terpanggil untuk melakukan karya-karya nyata yang bertujuan mengangkat harkat derajat dan kesejahteraan mesyarakat sekaligus dalam usaha melestarikan warisan budaya yang merupakan aset nasional yang tiada taranya.
Dalam era globalisasi, tepatnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, pulau Bali yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Indonesia mulai mengalami penyesuaian dengan kehidupan berbangsa dan bernegara R.I dengan Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 sehingga hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 mulai dikoreksi oleh umat Hindu yang menjadi penghuni mayoritas di pulau yang indah ini. Sejak saat itulah terjadi friksi-friksi terutama mereka yang terbiasa menikmati privileges di alam penjajahan. Dampaknya semakin dirasakan oleh yang tidak ikhlas menerima pembaharuan atau menerima Pancasila atau melaksanakan agama Hindu secara konskuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berbagai persoalan muncul, terutama dalam kaitannya dengan Desa Adat yang secara populer kita kenal dengan kasus-kasus adat di daerah ini (Lihat Harian Nusa Tenggara, Minggu, 19 Mei 1996).
Untuk itu pemahaman tentang agama Hindu dan budaya Bali yang di dalamnya terdapat aneka kekayaan yang perlu dilestarikan, namun hal-hal yang menghitami Bali, yang memberikan noda-noda hitam terhadap keluhuran agama Hindu hendaknya disirnakan, mengingat budaya Bali adalah ekspresi dan sekaligus wadah tumbuh kembangnya agama Hindu yang kini mulai memancarkan cahaya di bumi Indonesia.

B. Agama Hindu dan Budaya Bali.
Antara agama Hindu dan budaya Bali adalah ibarat tenunan benang kain endek Bali, yang sudah saling jalin-menjalin dengan warna dan coraknya yang khas. Seseorang yang awam akan merasakan sulit untuk membedakan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali. Bila kita mengkaji lebih jauh sebenarnya terdapat perbedaan yang jelas antara agama Hindu dan budaya Bali, demikian pula antara agama Hindu dan Adat Bali. Untuk menghindari kerancuan atau salah pengertian tentang hal tersebut di atas, kiranya terlebih dahulu perlu dijelaskan beberapa pengertian yang terkait dengan topik tulisan ini, yaitu agama Hindu, Budaya Bali, Adat dan Desa Adat.
1. Agama Hindu, Sanatana Dharma atau Vaidika Dharma
Agama Hindu adalah agama yang bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan himpunan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari kitab suci Vedalah mengalir semua ajaran agama Hindu baik yang menyangkut ajaran Úraddhà (keyakinan/keimanan), Tata-susila (etika) dan Àcàra (ritual dan lain-lain). Wahyu Tuhan Yang Maha Esa pada mulanya turun di lembah sungai Sindhu dan dari kata Sindhu inilah muncul istilah Hindu yakni nama yang pada mulanya diberikan oleh orang-orang Persia untuk menyebut kebudayaan yang berkembang di lembang sungai Sindhu, kemudian orang Yunani menyebutnya dengan Indoi dan orang-orang Barat menyebutnya dengan India, sedang nama asli dari anak benua India adalah Bhàrata atau Bhàratawarsa. Hindu kemudian menjadi nama dari agama yang bersifat Sanatana, yakni agama yang abadi, oleh karena itu agama Hindu juga dikenal dengan Sanatana Dharma. Di samping itu, oleh karena agama ini bersumber pada kitab suci Veda, maka agama ini juga disebut dengan nama Vaidika Dharma.
Ciri khas dari agama Hindu atau Hindu Dharma adalah memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut suatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran umat manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/ Úraddhà, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sàdhana, bermacam-macam ritual atau adat-istiadat yang berbeda semuanya memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lain.
Karakteristik atau ciri lainnya yang merupakan barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang kiranya menimbulkan perpecahan di dalam Hindu Dharma adalah Iûþadevatà dan Adhikara (Sarma, 1987: 5). Iûþa atau Iûþadevatà adalah kebebasan untuk memuja salah satu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sesuai penjelasan kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya sedang Adhikara adalah memilih disiplin dan atau cara tertentu sesuai dengan kemampuan dan kepuasan batinnya.
Svami Sivananda seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaysia dan meninggalkan profesinya itu kemudian menjadi seorang Yogi besar dan rohaniwan agung, pendiri Divine Life Society menyatakan: Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta(sampradaya atau perguruan/ashram Hindu) dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma, tetapi perbedaan itu sesungguhnya merupakan tipe pemahaman dan tempramen sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma, karena dalam agama ini tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran manusia dari yang tertinggi sampai yang terendah,demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka(Sivananda,1988:134). Mengingat adanya berbagai perbedaan, terutama yang menyangkut Àcàra yang bersifat gradual, maka nampak warna yang berbeda-beda di dalam Hindu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam ajaran agama Hindu kita mengenal pula istilah Dharma Agama. Istilah Dharma Agama pertama kali rupanya dipopulerkan pada tanggal 28 Februari 1959 ketika Parisada Hindu Dharma Indonesia dibentuk yang ketika bernama Parisada Dharma Hindu Bali, sebagai suatu pendekatan pembinaan terhadap umat Hindu di Indonesia untuk menjadi umat beragama Hindu yang baik, di samping istilah Dharma Negara. Istilah ini ditetapkan kembali pada buku Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia yang telah diputuskan sebagai buku pedoman pembinaan umat oleh Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 yang lalu.
Dalam buku Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia di nyatakan pendekatan Dharma Agama meliputi tiga komponen memfungsikan peranan agama sebagai faktor innovatif, kreatif dan integratif di samping merupakan sumber nilai dan norma serta usaha untuk meningkatkan peranan agama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa bagi umat Hindu di Indonesia (PHDI Pusat, 1990 : 14). Sedang yang di maksud Dharma Negara adalah hal dan kewajiban serta tanggung jawab umat Hindu untuk senantiasa membela, mempertahankan, mengisi, kemerdekaan, mengabdi, dan berbakti kepada nusa, bangsa dan negara sesuai dengan salah satu ajaran Catur Guru Bhakti, yaitu bhakti kepada Guru Wisesa/ hormat dan cinta kepada tanah air, bangsa, negara dan pemerintah (Ibid : 10).

2. Budaya Bali
Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di seluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya dan kebudayaan ini.
Agama Hindu dapat disebut sebagai isi dan budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar pada: (1). pandangan hidup masyarakat Bali, (2). seni budaya Bali, (3). adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu dan (4). organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperi Desa Adat, Subak dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan ajaran Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.

3. Adat-istiadat dan Desa Adat
Seperti telah diungkapkan pada bagian awal tulisan ini masih terdapat kerancuan pengertian antara agama dan adat di kalangan masyarakat. Kerancuan ini disebabkan karena terjadi jalinan sedemikian rupa antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu sebagai jiwa atau nafas hidupnya. Kerancuan tersebut antara lain disebabkan oleh pandangan yang menyatakan bahwa segala aktivitas masyarakat Bali terutama yang menyangkut upacara agama disebut sebagai adat Bali dan sepanjang pengetahuan penulis, tidaklah ada adat yang memiliki upacara. Berbagai upacara di Bali sebenarnya merupakan aktifitas agama Hindu. Jadi yang memiliki upacara adalah agama Hindu yang bersumber pada wahyu (Úruti) Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda yang pokok-pokok ajaran dan pelaksanaanya diatur dalam tiga kerangka dasar agama Hindu, yakni Tattva (Úraddhà), Tata susila dan Àcàra Agama (PHDI Pusat, 1988: 53). Untuk itu perlu dipahami pengertian yang terkandung dalam istilah adat-istiadat dan Desa Adat secara lebih baik lagi.
Adapun yang di maksud dengan adat adalah istilah yang pada mulanya berasal dari bahasa Arab yang menurut ahli Hukum Adat bernama Van Vollenhoven berarti kebiasaan atau adat-kebiasaan (Purwita,1984:4)
Bila kita perhatikan sungguh-sungguh, yang di maksud dengan adat atau di sebut juga adat agama Hindu oleh masyarakat, tidak lain adalah wujud pelaksanaan Àcàra agama yakni bentuk-bentuk upacara agama Hindu dengan berbagai rangkaiannya di samping juga yang tradisi yang bersumber dari pelaksanaan ajaran agama yang diwarisi secara turun temurun.
Selanjutnya istilah Desa Adat yang sekarang di kenal, pada mulanya dikenal dengan sebutan 'desa' saja. Tetapi dengan adanya pembentukan desa yang lain oleh pemerintah Belanda, yang mempunyai tugas khusus dalam penanganan administrasi pemerintah di tingkat bawah, maka terjadilah kerancuan pengertian 'desa'. Oleh karena itu untuk memberikan pembedaan yang tegas maka desa yang berbeda fungsi dan tugasnya tersebut di beri nama masing-masing 'Desa Adat' dan 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'. Istilah ini secara tertulis pertama kali di temukan dalam buku I Gusti Putu Raka, tahun 1955 (Pitana,1994:139)
Batasan tentang Desa Adat secara resmi (formal) telah di tuangkan dalam pasal 1 (e). Peraturan daerah Bali No. 06 Tahun 1986 yang manyatakan bahwa Desa Adat adalah : "Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri".
Demikian antara beberapa istilah atau pengertian yang perlu kita pahami bersama mengingat telah terjadi jalinan yang demikian padat antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu sebagai jiwa dari kebudayaan daerah ini. Jalinan yang demikian baik hendaknya tetap terpelihara jangan sampai dirobek atau diputuskan oleh umat sendiri karena tidak memahami apa yang kita miliki.
C. Fungsi dan peranan Desa Adat dalam pelaksanaan agama Hindu
Desa Adat dengan Banjar-Banjarnya adalah lembaga masyarakat umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara agama yang berlangsung di Desa Adat seperti upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-lain, Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan Krama Desa. (Kepala Bidang Bimas Hindu, Kanwil Depag Prop Bali , 1978:5)
Demikian pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah Desa Adat tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Diwujudkan dengan mendirikan pura Kahyangan Tiga atau Kahyangan-Kahyangan Desa. Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui aturan yang berlaku sebagai anggota Desa Adat atau Krama Desa dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa Adat yakni dengan pemeliharaan bersama desa, fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa Adat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa Adat.
Dalam membina hubungan yang harmonis antar sesama warga Desa Adat hendaknya selalu di kembangkan sikap Amulat Úarìra ( introspeksi dan toleransi ) dengan suatu keyakinan bahwa semua makhluk (semua orang adalah bersaudara/Vasudaiva kutumbakam) seperti di amanatkan dalam mantra suci Veda berikut:
"Engkau telah terlindung dalam mengambil air di tempat yang sama.
Aku nyatakan engkau seluruhnya dalam satu pengertian"
Atharvaveda III.30.6.
"Bumi ini tempat tinggal (seluruh umat manusia), seperti sebuah keluarga, semua orang berbicara berbeda-beda dan menganut kepercayaan yang berbeda, semuanya bersatu seperti dalam satu kandang sapi, semoga kesejahteraan berlimpah"
Atharvaveda XII.1.45.
Terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan di Desa Adat kemudian di Bali kita mengenal adigium yang merupakan azas dari kebersamaan, yakni : Salulung Sabyayantaka ( sa + luhung + luhung sa + byaya (sa) + antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah Bali di sebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan sepenanggungan. Atas dasar azas kebersamaan ini hendaknya setiap anggota Desa Adat merupakan bagian dari keluarga besar Desa Adat termasuk masalah kesejahteraan warganya. Bila hal ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak terjadi warga umat Hindu sampai dipelihara di panti-panti asuhan yang tidak bernafaskan Hindu.
Memperhatikan landasan dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Hindu, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sejati, maka fungsi Desa Adat yang paling menonjol bagi warga atau Krama-nya, adalah untuk bersama-sama meringankan beban kehidupan baik suka dan duka (dalam Pasuka-dukan Desa). Dengan demikian fungsi atau peranan Desa Adat dalam pelaksanaan agama Hindu secara lebih detail dapat juga dirinci sebagai berikut :
a.       Mengatur hubungan Krama Desa dengan Kahyangan.
b.      Mengatur pelaksanaan Pañca Yajña dalam masyarakat.
c.       Mengatur penguasaan Setra.
d.      Mengatur hubungan antar sesama Krama Desa.
e.       Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainya milik Desa Adat
f.       Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum Adat (awig-awig).
g.      Menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian masyarakat.
h.      Memberikan perlindungan hukum bagi Krama Desa
i.        Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesama Krama Desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan.
j.        Menjunjung dan mensukseskan program pemerintah dalam memajukan desa, pendidikan dan perekonomian (MPLA Dati I Bali, 1989/1990 : 24 - 25 )

Bila Desa Adat mampu melaksanakan fungsi dan peranannya, maka tujuan Desa Adat untuk mewujudkan desa yang Sukertagama (masyarakat tentram karena melaksanakan ajaran agama), Tata Tentram Kertaraharja (tentram dan sejahtra) akan dapat diwujudkan untuk itu para Prajuru Desa hendaknya senantiasa mencari upaya dengan mengkaji potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa Adat termasuk sumberdaya manusia (SMD)nya untuk dapat di kembangkan sebaik-baikmya. Sabha-Sabha Desa (Musywarah Desa) atau Sangkepan (sidang-sidang) dan Paruman Desa (rapat desa) hendaknya diadakan secara rutin dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam memanage (mengurus) Desa Adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu. Untuk itu pula aktivitas pembinaan kepada Krama Desa hendaknya terus dilakukan, misalnya menyosialisasikan keputusan-keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) maupun kebijaksanaan pemerintah. Bila semuanya itu di laksanakan dengan mantap, tidaklah mungkin terjadi kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh Desa Adat, misalnya perpecahan antar Krama Desa, meninggalkan Kawitan/leluhur (Atilar Kawitan), kumpul kebo (Mitra Ngalang ), masalah wangsa (keturunan), penguasaan tanah Desa Adat (pelabha pura) oleh seseorang, masalah kesulinggihan/kepamangkuan, penggunaan Setra/Kuburan, awig-awig Desa Adat yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 19945 sekaligus yang bertentangan dengan agama Hindu dan lain-lain.

Untuk lebih berfungsinya Desa Adat dalam mewujudkan Desa Sukertagama sebagai yang diharapkan, maka pembinaan kehidupan rohani (spiritual) warganya sangat mutlak di perlukan. Untuk itu usaha yang terus menerus menyelenggarakan penyuluhan agama Hindu dan pembinaan kehidupan agama Hindu pada umumnya hendaknya senantiasa diupayakan. Hubungan antara Prajuru Desa Adat dengan Kramanya dapat di ibaratkan seperti hubungan orang tua (bapak-ibu) kepada anak-anaknya. Anak-anak akan berhasil meniti hidupnya bila mendapat pendidikan yang baik. Dalam hal ini prinsip disiplin pendidikan Catur Upaya Naya Sandhi: Sàma (melihat sama semua warganya dan bersikap adil), Bheda (dapat membedakan yang baik dengan yang nakal, rajin dan tulus), Dàna (memberi hadiah / penghargaan kapada yang rajin) dan Daóða (menghukum memberikan perhatian kepada yang bersalah).
Usaha untuk meningkatkan pengamalan ajaran agama bagi Krama Desa di mulai dari tiap-tiap individu dan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat Hal yang penting adalah usaha untuk membiasakan diri secara rutin dan tekun untuk mengamalkan ajaran agama. Bentuk-bentuk pengamalan ajaran agama atau Dharma dijabarkan dalam 7 jenis perbuatan seperti dinyatakan dalam kitab Våhaspati Tattwa, meliputi : Úila (perbuatan baik), Yajña ( pengorbanan Suci), Tapa (pengekangan diri), Dàna (bersedekah/menolong orang lain), Pravåjya (mengembara menambah ilmu pengetahuan/kerohanian), Bhikûu atau Dikûa (melakukan penyucian diri/menjadi Dwijati/Pandita) dan Yoga (senantiasa menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi Wasa dan Bhaþàra Kawitan/Leluhur, melalui sembahyang atau mengendalikan geraknya indra kita dapat bermeditasi kepada Nya) dan tentunya ajaran-ajaran lain sebagai penuntun hidup, hendaknya secara kontinyu mesti didalami dan diamalkan oleh segenap umat Hindu dengan sebaik-baiknya.

D. Kasus-kasus Adat dan penanganannya
Bila kita mengamati media massa baik surat kabar maupun eletronik (TV dan Radio), walaupun tidak banyak dan tidak terlalu sering, namun acap kali kita menemukan berita atau munculnya berbagai kasus-kasus Adat yang terjadi di berbagai Desa Adat di Bali. Kasus-kasus itu tidaklah banyak bila kita bandingkan dengan jumlah Desa Adat di seluruh Bali (sebanyak 1.610 Desa Adat), namun demikian mengingat publikasi oleh media massa, nampak terjadi kerawanan atau permasalahan yang sepertinya sulit dipecahkan oleh Desa Adat.
Kasus-kasus Adat sering sebenarnya bukanlah murni permasalahan agama dan Adat atau prajuru Desa Adat dalam memecahkan berbagai permasalahan yang timbul di Desa Adat. Sering sekali bila kita dalami, kasus-kasus tersebut bermuatan politik, sentimen atau untuk kepentingan peribadi dan kelompok tertentu. Dalih Adat apalagi agama seakan-akan masyarakat Bali tidak berdaya dengan permasalahan yang dihadapinya itu.
Bila kita perhatikan dengan seksama, kasus-kasus Adat dapat terjadi dalam hubungan antar individu yang bertentangan dengan norma agama terjadi di dalam Desa Adat, misalnya kasus: Mitra Ngalang, Lokika Sanggraha, Badawasa (Homosek dan Lesbian), Salah Timpal (Sodomi), Gamya-Gamana (Incest), Cuntaka dan lain-lain.
Kasus-kasus Adat yang berhubungan dengan Krama Desa dan Wilayah Karang Desa dan Parhyangan di antaranya adalah: judian (sering dengan dalih Tabuh Rah/bila Perang Sata atau adu ayam mestinya tanpa taruhan apapun.Lihat Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek agama Hindu yang telah ditetapkan oleh Parisada), pelacuran, anak yang lahir tidak ada orang tuanya (tidak ada mengakui), bayi/orok yang dibuang di Pelemahan Desa Adat (termasuk juga di wilayah Parhyangan), pelabha pura (untuk dimaklumi bahwa Pura diakui sebagai sebuah badan hukum, oleh karena itu pura berhak memiliki tanah pelabha pura) dan lain-lain.
Kasus-kasus Adat yang terkait dengan kesucian pura, misalnya kehilangan pratima, arca, bhusana pura dan lain-lain. Masalah Sulinggih (siapa saja berhak sebagai Sulinggih, prosedurnya meminta ijin kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten setempat), masalah kepemangkuan dan lain-lain, awig-awig apalagi pararem yang tidak membenarkan seseorang untuk sulinggih adalah bertentangan dengan Dharma (agama Hindu).
Bila kita berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum Hindu yang telah diresepir dalam hukum Adat Bali dan berpedoman kepada keputusan-keputusan (juga Keputusan-Keputusan Seminar yang telah ditetapkan oleh) Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat maupun Majelis Pembina Lembaga Adat Propinsi Bali serta perundang-undangan yang berlaku, maka kasus-kasus tersebut dengan mudah dapat diatasi. Dalam hal ini kearifan dan kebijaksanaan Prajuru Desa Adat sangat menentukan. Bilamana dalam menanganinya mengalami kebuntuan atau tidak terpecahkan, sebaiknya meminta petunjuk dari lembaga umat Hindu terkait maupun aparat Pemerintah dalam mencari jalan keluarnya. Dalam Hindu tidak dikenal "Botleneck" (jalan yang buntu), niscaya terdapat saja jalan untuk mengatasi berbagai kasus yang muncul.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menangani berbagai permasalahan yang muncul adalah faktor psikologis. Umumnya masyarakat Bali seperti halnya masyarakat lainnya patut dan ingin dihargai, pelecehan dan sejenisnya menimbulkan ketersinggungan dan bila sudah tersinggung akan menjadi sentimen pribadi yang sulit untuk disembuhkan. Faktor ini hendaknya mendapat perhatian, sehingga dengan kearifan dan moral power yang dimiliki oleh para Prajuru Adat, pemuka Agama dan pemuka masyarakat, maka berbagai kasus Adat akan mudah dapat ditangani.
D. Simpulan
Dilaksanakannya fungsi-fungsi dan peranan Desa Adat oleh Prajuru Desa Adat dan seluruh Krama Desa atau Warganya, mengantarkan warga Desa Adat mewujudkan tujuan Desa Adat, yakni masyarakat yang Sukertagama dan Tata Tentram sesuai tujuan agama Hindu. Bila fungsionalisasi Desa Adat berhasil dilaksanakan, maka segala dampak negatif globalisasi akan dapat diantisipasi dengan baik.
Untuk dapat memfungsikan Desa Adat semaksimal mungkin, maka usaha dari Prajuru, Sekehe Taruna-taruni serta seluruh warganya termasuk Aparat Desa Dinas (Pemerintah) dan lembaga-lembaga lainnya dapat memahami peranan yang mesti di lakukan oleh Desa Adat, untuk itu pembinaan kepada semua Krama (warga) Desa Adat terutama dalam bidang keagamaan sangat di perlukan.

Daftar Pustaka
1. Covarrubias, Miguel
1977 : Monumental Bali, Van Goor Zonen Den Haag,

2. Devi Chand
1982 : The Atharvaveda, Text & translation , Munshiram Mano harlal,Delhi.

3. Kepala Bidang Bimas Hindu kanwil Dep. Agama Prop. Bali
1977/1978 : Desa Adat Bali Menghapi Kepariwisataan,
Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku/Brosur di Bali, Denpasar

4. Majelis pembinaan Lembaga Adat Dati I Bali
1989/1990 : Mengenal dan Pembinaan Desa Adat di Bali, Proyek pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 Kab. di Bali, Denpasar

5. Misra, Rajendra, Abhiraj
1990 : Sejarah Kesusasteraan Sansekerta,Dharmam Publisher, Denpasar

6.ParisadaHindu Dharma Indo nesia Pusat
1990 : Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia, PT. Upada Sastra, Denpasar.

7. Pitana, I Gede 1994
1994 : Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Penerbit Bali Post, Denpasar

8. Purwita, Ida Bagus Putu
1984
9.Sarma,D.S. :
1987

10.Sivananda, Sri Svami
1988 : Desa Adat dan Banjar Adat Bali, Perce-
takan Kawi Sastra, Denpasar
The Nature and History of Hinduism, dalam Kenneth Morgan, The Religion of Hinduism, Motilal Banarsidass, Delhi.
All About Hinduism, The Divine Life Sosiety,Sivanandanagar,Uttar Pradesh India.

11 Sudarshana, Devi
1957 : Vrhaspati Tattwa, Old Javanese Philoso-phical Text,International Academi of Indian Culture, Delhi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abinash Chandra Das : Ågveda Culture, Bharatiya Publishing House,
1979 New Delhi, India.
2. Dvivedi, Kapil Deva : The Essence of the Vedas, Vishva Bharati
1990 Research, Gyanpur, Varanasi, India.
3. Basham, A.L. : The Wonder that was India, Rupa & Co, New
1992 Delhi.
4. Dutt, M.N. : Santi Parva, Mahabharata,Vol.6, Parimal
1988 Publications, New Delhi.
5. 1988 : Anusasana Parva, Mahabharata,Vol.7, Parimal
Publications, New Delhi.
6. Hooykaas : The Pañca Yajñas in India and Bali, Adyer
1975 Library, Baroda University, India.
7. Pudja, G. : Bhagavadgita, Mayasari, Jakarta.
1979
8. Pudja,G. & Sudharta,Tjok.Rai : Manavadharmaúàstra,Veda Smrti, CV.Junasco,
1978 Jakarta.
9. Puniatmaja, Oka I B. : Silakrama, Parisada Hindu Dharma Pusat,
1978 Denpasar.
10. --------- : Bhagavata Puràóa dalam The Principals of the
1990 Upanisads, Oxford University Press,Bombay.
11. 1990 : Devì Bhagavata Puràóa dalam The Principals
of the Upanisads, Ibid.
12. 1990 : Kurma Purana dalam The Principals of the
the Upanisads, Ibid.