Rabu, 30 Oktober 2013

SEKS PERSPEKTIF AGAMA HINDU



..........mà úiúnadevà api gur åtaý naá..............

                                                                                                   Rgveda VII. 21.5

‘Dorongan nafsu seks itu semoga tidak mencelakakan kesucian kami’

Mùûo na úiúnà vyadanti màdhyah.

                                                                                                   Rgveda  X. 33. 3

‘Kekacauan batin (pikiran), akibat dari dorongan seks menggerogoti kami
seperti tikus  (menggrogoti sesuatu)’
Tempo hari pro dan kontra ditetapkan RUU Antipornografi dan Pornoaksi semakin gencar dan bila tidak ada kearifan tentang kemajemukan bangsa Indonesia, maka RUU itu akan ditetapkan dan diberlakukan di seluruh Indonesia. Umat Hindu, khususnya yang bermukim di Bali bersama Pemerintah Daerah Bali telah sepakat untuk menolak RUU itu di tetapkan menjadi Undang-Undang. Apakah perjuangan ini akan berhasil, maka kita hanya menunggu dan berharap hal itu tidak terjadi. Banyak pertanyaan yang muncul dengan diajukannya RUU APP tersebut dan dikalangan masyarakat ada yang mengharapkan pihak DPR RI melakukan kajian secara ilmiah terhadap kebenaran bahwa kemerosotan moral bangsa Indonesia, salah satu sebab utama adalah adanya pornografi dan pornoaksi, yang menurut Prof. Dr. Wimpi Pangkahila (2006:4) berdasarkan studi di Amerika Serikat pada tahun 1960-1970 dan di Dermak pada tahun 1965, setelah pornografi beredar luas dan legal, angka kejahatan seksual menurun tajam. Penelitiaan lain di Amerika serikat menunjukkan bahwa pemerkosaan, pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak, dan pelaku kejahatan lain, bukan orang yang masa remajanya gemar menyaksikan pornografi. Sebaliknya, mereka yang justru kurang menerima rangsangan dari bahan erotik pada masa remaja di bandingkan pada orang lain.
            Demikian pula hal tersebut dibandingkan dengan ritual kesuburan yang dilaksanakan di Bali, misalnya upacara Jero Dong Ding Mabuncing ( perkawinan arca laki-laki dan perempuan, simbolis Úiva dengan Parvatì atau Viûóu dengan Úrì yang tampaknya sangat vulgar) yang dilaksanakan setiap tahun, sehari sebelum Hari Raya Nyepi, di Desa Pekraman Muncan, Karangasem menunjukkan tidak ada terjadi kemerosotan kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan sejenisnya terjadi di desa itu. Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, bilamana belum di landasi suatu penelitiaan yang mendalam tentang kemerosotan moral bangsa berkaitan dengan tayangan pornografi atau pornoaksi, maka RUU APP tersebut mestinya belum perlu dibahas apalagi ditetapkan menjadi undang-undang. Walaupun demikian, tulisan singkat ini berusaha menguraikan bagaimana pandangan Agama Hindu terhadap seks atau seksualitas. Untuk itu tulisan ini akan merunut informasi tentang seks didalam kitab suci Veda maupun Susastra Hindu dan upacara kesuburan yang umum berkaitan dengan simbolisasi pertemuan Dyauá dengan Påthivì atau Bapak Langit dengan Ibu Bumi, Lingga dengan Yoni dan sebagainya.

Seks di dalam kitab suci Veda dan Susastra Hindu
          Kehidupan seksual pada zaman Veda pada umumnya adalah heteroseksual (antara laki-laki dan perempuan). Homoseksual diantara sesama lelaki dan perempuan, selengkapnya tidak di kenal dan bila mungkin ada kasus tersebut, kitab suci Veda tidak pernah menyebutkan. “In this respect ancient India was far healtier than most other ancient culture” demikian kata-kata A. L. Basham dalam bukunya The Wonder That Was India yang di kutip kembali oleh Ivo Fiser (1989:64) dan menambahkan tidak pula ada informasi tentang hubungan manusia dengan binatang (besttiofilia) yang tercatat dalam literature Sanskerta seperti fakta yang umum pada peradaban kuna seperti halnya kehidupan para nomand di era modern ini.
            Dari keterangan tersebut diatas dapat diketahui bahwa kehidupan seksual yang diamanatkan dalam kitab suci Veda adalah kehidupan seksual yang normal, antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Lebih jauh A. L. Basham (1992:172) mengatakan bahwa kehidupan seksual adalah hal yang positif sebagai tugas keagamaan, tugas suci (religius duty), yang diamanatkan pada suaminya untuk menggauli istrinya pada masa delapan hari setelah isrtinya menstruasi. Dalam uraian yang lain A. L. Basham (1992:172) menyatakan orang India pada umumnya, seperti halnya di belahan bumi lainnya, pada umumnya menganut azas perkawinan monogami dan poligami tidak dikenal dalam Ågveda. Para raja dan pemimpin umumnya dalam beberapa variasi ada yang berpoligami. Dalam situasi yang normal poligami tidak dianjurkan dalam literature yang lebih tua. Dalam Apaûþamba Dharma Sùtra (II.5.11) secara tegas melarang menghamili istri yang kedua, bilamana istri pertama memiliki karakter yang baik dan melahirkan beberapa anak. Dalam Narada Dharma Sùtra (I.I90) diinyatakan seseorang yang melakukan poligami tidak pantas untuk hadir dalam sidang pengadilan (penegakkan hukum). Dalam Arthaúàstra (III.2) dinyatakan bahwa pelaku poligami dianggap ceroboh, dan keduanya  diwajibkan membayar kompensasi kepada istrinya yang pertama. Yang menjadi contoh atau model perkawinan yang ideal adalah perkawinan Rāma dengan Dewi Sità yang sangat setia, saling mencintai, tidak pernah terusik oleh adanya istri yang kedua.
            Di dalam kitab suci Veda gejala atau fenomena alam sering disimbolisasikan sebagai aktivitas seksual. Hujan sering disebut sperma, cairan mani (retaá) yang menyuburkan tanah (Rv I.100.3;128.3 dst., Av.IV.15.11). Parjanya, dewa hujan disebut menyimpan spermanya pada milik istrinya yang tampak seperti sapi jantan (Rv.III.55.17). Ia disebut juga retodha atau yang melahirkan semua tumbuh-tumbuhan.(Rv.VII.101.6; dst.III.56.3; Av.VIII.7.21). Ia disebut juga yang memberi kesegaran (yang memuaskan) bumi dengan spermanya. Aktivitas penciptaan alam kadang-kadang digambarkan sebagai hubungan seksual antara Dyauá (Bapak langit) dengan Påthivì (Ibu Bumi). Ia menjadi basah diresapi (garbharasa) dan ditusuk (nividdha) olehnya (Rv I.164.8). Ide berpasangan dalam berhubungan dinyatakan dalam bentuk kata majemuk ‘dvandva’ yakni dyavapåthivì (Fiser, 1969:44). Sesungguhnya sangat banyak gejala alam (natural phenomenal) yang digambarkan sebagai seksual intercourse yang dampaknya memberikan kesuburan kepada bumi.
            Berikut kami sampaikan bagaimana pandangan kitab suci Veda terhadap seorang perempuan, istri atau wanita dan laki-laki: Seorang gadis hendaknya suci, hendaknya berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi (Atharvaveda XI.1.27). Seorang gadis menentukan sendiri pria idaman calon suaminya (svayamvara/Rgveda X.27.12). Mempelai wanita sumber kemakmuran (Ågveda X.85.36). Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu  menderita (Rgveda I.164.32). Terjemahan mantra ini menunjukan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut seorang wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh kebahagiaan (Atharvaveda XIV.1.42).
            Dalam perkembangan ketika muncul pemujaan kepada ‘linga dan yoni’ yang diduga akarnya berasal dari masa pra Veda, maka visualisasi ‘linga dan yoni’ baik yang tersamar (distilir) maupun yang natural dan bahkan yang vulgar mulai tampak sesudah zaman Veda dan berkembang dalam berbagai aspek budaya (seni arca, lukis) dan sebagainya.


Seks dan pengendalian diri
            Pada manggala (bagian awal dari tulisan) ini telah dikutipkan tentang pentingnya pengendalian diri terhadap adanya dorongan nafsu seks yang sering menjerumuskan umat manusia. Berdasarkan kutipan tersebut maka penyaluran dorongan seksual hanya dibenarkan melalui lembaga perkawinan (vivàha) dan lembaga perkawinan dianggap sah bila dilakukan dengan Vivàhasaýskara. Perkawinan adalah sebuah upacara Yajña, demikian dikatakan dalam kitab Taittriya Brahmana (II.2.2.6) (Pandey, 1991:153). Bila terjadi hubungan seksual tanpa pelaksanaan upacara Vivahasamskara, maka hal itu tidak dianggap sebagai perkawinan yang sah. Lebih jauh tentang seks dan perkawinan diamanatkan didalam Veda dan Susastra Hindu sebagai berikut.

Sam jaspatyam suyamam astu devah.
                                                                                                  
                                                                                                    Rgveda X.85.23

‘Ya, para dewata, semoga kehidupan perkawinan kami
berbahagia dan tentram’

Asthuri no garhapapatyani santu.

                                                                                                   Rgveda VI.15. 19
‘Hendaknyalah hubungan suami-istri kami tidak bisa putus
berlangsung abadi’

Sam anjantu  visvedevah,  samapohrdayaninau

                                                                                                   Rgveda X.85.42

‘Semoga para dewata dan apah mempersatukan hati kami,
 suami-istri

Ihaiva stam ma vi yaustam,
visvam ayur vyasnutam.
Kridantau putrair naptrbhih,
modamanau sve grhe

                                                                                                   Rgveda X.85. 42

‘Ya, pasangan suami-istri, semoga anda tetap disini dan tidak pernah terpisahkan. Semoga anda berdua mencapai kehidupan yang penuh kebahagiaan. Semoga anda, bermain dengan anak-anak lakimu dan cucu-cucu lakimu, tinggal di rumah ini dengan gembira

            Mantra terakhir (Rgveda 85. 42) tersebut di atas dapat kita jumpai kembali di dalam kitab Atharvaveda XIV. 1.22 yang menyiratkan tentang makna perkawinan untuk mewujudkan kehidupan dan kebahagiaan bersama dengan putra-putri dan cucu-cucu yang lahir dari perkawinan mempelai diamanatkan untuk bergembira dan tinggal di rumah sendiri yang menunjukkan kepada kita seseorang yang telah siap memasuki masa Gåhastha (hidup berumah tangga) hendaknya dapat menyiapkan rumah sendiri, tidak tergantung kepada orang lain. Jadi sebelum memasuki Gåhasthàúrama, seorang Brahmacari secara matang harus mandiri untuk nantinya dapat mendapatkan perkawinan ideal sebagai diamanatkan dalam mantra Veda di atas. Untuk itu seseorang dituntut berkerja keras sesuai dengan Dharma.
            Lebih jauh tentang makna atau prinsip dasar tentang tujuan perkawinan di tegaskan dalam kitab-kitab Dharmaúàstra adalah untuk mewujudkan 3 hal, yaitu:
1)      Dharamasampatti, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma     yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajna, sebab di dalam Grhastalah Yajna dapat dilaksanakan secara sempurna.
2)      Praja , kedua mempelai mampu melahirkan keturunan (putra-putri) yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajna dan lahirnya putra yang suputra (Berbudhi perkerti luhur) seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitrarna), kepada Tuhan Yang Maha Esa (Devarna) dan kepada para guru (Rsirna).
3)      Rati , kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan Kama ) yang tidak bertentangan Dharma (Kantawala, 1989:89).
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, maka perkawinan menurut kitab suci Veda dan Susastra Hindu lainnya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan bersama lahir dan batin termasuk pula dalam pengertian memperoleh keturunan yang suputra (anak-anak dan cucu-cucu) sebagai penerus kehidupan keluarga. Lebih jauh kitab suci Veda menyatakan bahwa suami-istri itu satu jiwa dalam dua badan.

    Aksyau nau madhusamkasenau samanjanam,
    Antah krnusva mam hrdi mana innausahasati.

                                                                                     Atharvaveda VII.36.1

‘Hendaknya manis bagaikan madu cinta kasih dan pandangan
antara suami dan istri penuh keindahan. Semogalah senantiasa
hidup bersama dalam suasana bahagia tanpa kedengkian (di
antara mereka). Semoga satu jiwa bagi semuanya.’

            Terhadap terjemahan mantra ini, Devi Chand (1982:299) menjelaskan: hendaknya saling mengusahakan kebahagiaan bersama seperti halnya para dokter meneliti tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh manfaat dari tumbuh-tumbuhan itu (sebagai orang yang berguna). Demikianlah antara seorang suami dan istri senantiasa berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan sesuai Brata-Brata Vivāha (kewajiban dan pantangan-pantangan ) dalam perkawinan.
            Suami dan istri hendaknya tidak jemu-jemu mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta kebahagiaan dalam rumah tangga diamanatkan pula dalam
Manavadharmaúàstra sebagai berikut.

Tatha nityam yateyatam stripumsau  tu krtakriyau,
Ytatha nabhicaratemTau tau viyukta vitateratam.

Manavadhamasastra IX.102.

‘ Hendaknya lak-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya agar mereka tidak bercerai, mewujudkan antara satu dengan yang lain’.

Anyonyasyavy abgicaro bhaved amaranantikah,
Esa dharmah samasena jneyah stri pumsayoh parah.

                                              Manavadharmaúàstra IX.101.

‘Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus dianggap hukum yang tertinggi bagi suami istri.’


Samtusto bharyaya bharta bhartra bharya tathaiva ca,
Yasminn eva kule nityam kalyanam tatra vai dhruvam.

                                                   Manavadharmaúàstra III.60.

‘Keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagian pasti kekal dan abadi’

            Suami dan istri diamanatkan untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan jalan yang benar (mengikuti hukum yang berlaku) dan memperoleh putra yang perwira, membangun rumah sediri dan hidup didalamnya:

Syonadyoneraghi budhyamanau  sahamudau hasamudau
mahasa modamanau
Sugu suputrau suguhrau tar-thau jivabusasoVibhatih.

Atharvaveda XIV.2.43.

‘Wahai suami dan istri, hendaknya kamu berbudi pekerti
 yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan diantara
 kamu. Lakukanlah tugas dan kewajibanmu dengan baik dan
 patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah putra-putri
 yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan hiduplah
 bersuka cita di dalamnya’.

            Berdasarkan uraian di atas maka pengendaliaan diri terhadap dorongan seks sangat diperlukan oleh setiap orang, terlebih lagi bagi mereka yang sedang menempuh kehidupan Brahmacarya, seperti diamanatkan dalam Mahàbhàrata (Ādiparva  I. 170   .71):  ‘brahmacaryam paro dharmah’ , chastify is the highest virtue or the highest law (Meyer, 1989:258 ).
            Ada hal yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang popular disebut dengan nama Smarastava, Panca Kanyam.  Mantra ini terdiri dari satu bait mantram yang biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yang meninggal tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. Menurut informant pandita Úiva, mantra ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat seorang istri hamil ) dan pada saat bayi berumur tiga bulan (Hooykaas, 1971:38). Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Panca Kanya, sebagai berikut.

                        Ahalya Draupadi Sita, Tara Mandodari tatha.
                        Panca-kanyam smaren nityam, Maha-pataka-nasanam.

                        ‘Seseorang hendaknya bermeditasi kepada 5 perempuan
                        mulia, yaitu : Ahalya, Draupadi, Sita, Tara dan Mandodari.
                        Mereka yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dilenyapkan’.

            Terhadap mantram di atas, Prof. Dr. C. Hooykaas (1971:38) memberikan penjelasan tentang kelima perempuan mulia itu, sebagai berikut: “Ahalya popular dikenal sebagai istri dari maharsi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan kemudian dihukum dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan (dibebaskan) oleh Sri Rama. Draupadi dan Sita adalah masing-masing pahlawan perempuan dalam Mahabharata dan Ramayana. Tara adalah istri Brhaspati yang dilarikan oleh Soma, dan Mandodari tercatat sebagai paling favorit  dari para istri Rahvana. Kelima orang perempuan itu digambarkan secara tradisional sebagai perempuan yang sangat cantik dan menawan. Tokoh-tokoh perempuan ideal pada umumnya dari kalangan profesi Bràhmaóa dan Kûatriya. Demikian antara lain tokoh-tokoh perempuan idieal dalam Veda dalam Susatra Hindu lainnya. Di samping tokoh-tokoh ideal diatas, terdapat juga tokoh-tokoh yang tidak patut ditiru, antara lain: Kaikeyi, Surphanaka (Titib, 1998:53) di dalam kitab Ràmàyaóa.
Di dalam kehidupan sehari-hari (di Bali), bila seorang istri dalam keadaan hamil, maka pihak keluarga suami berusaha mengadakan acara ‘Prasantia’ dan ‘dharmagita’ dengan harapan bayi dalam kandungan istrinya dapat mendengarkan (vibrasi) dan sifat-sifat mulia dan keutamaan tokoh-tokoh protagonis dari teks-teks yang dibaca. Umumnya teks-teks yang dibaca adalah Ramayana, Sarasamuscaya dan lain-lain.


Ritual kesuburan dan Realitas sosial
Ritual atau upacara memohon kesuburan di masa yang silam hampir terdapat di seluruh belahan dunia. Tradisi ini sudah ditemukan dalam masa pra-Veda. Demikian halnya di Bali, rupanya sebelum Agama Hindu datang ke Bali, upacara ini telah dilaksanakan. Upacara-upara tersebut antara lain pemujaan kepada Lingga. Abhiseka Lingga yang umum berkaitan dengan pemujaan kepada dewa Úiva. Di desa Muncan,, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, setiap tahun tepatnya pada hari Pengerupukan, sehari menjelang hari raya Nyepi, saat mengakhiri upacara Caru Tabuh Gentuh pada sore hari melaksanakan upacara Jero Dong Ding Mabuncing, yakni perkawinan (sexsual intercourse) antara sepasang arca laki-lak dan perempuan yang diberi nama Jero Dong dan Jero Ding. Kata Jero Dong Ding mengingatkan bunyi gamelan Selonding yang dulu pernah ada di desa Muncan. Nama lainnya disebut Bhatara Sanga, mungkin karena arca tersebut berlangsung setiap akhir dari sasih Kesanga atau juga Dewata Nawa Sangga yang turun ke dunia dalam wujud sepasang dewa dan dewi yang menganugrahkan kesuburan pada umat manusia
Arca atau patung Jero Dong dibuat dari pohon dadap (kayu sakti) bercabang tiga, sekitar 250 Centimeter yang kemudian posisinya dibalik. Bagian pangkal menjadi kepala dan badannya, dua cabang yang sejajar dijadikan sepasang kaki dan cabang yang ketiga dijadikan alat kelamin (phalusnya) dilengkapi dengan sepasang tangan, wajah dalam keadaan terseyum dan posisi rambut diikat seperti layaknya rambut seorang pandita (maprucut), sedang Jero Ding (yang wanita) dibuat dari pelapah enau menjelang dewasa (jake dehe) tinggi sekitar 240 centimeter yang juga posisinya dibalik, bagian pangkalnya sebagai kepalanya dan badan, sedang bagian atasnya sebagai kaki, dilengkapi dengan alat kelamin dari bahan yang sama, buah dada dan sepasang tangan, dengan rambut berasal dari ijuk yang menempel pada pelepah enau tersebut, dilengkapi pula dengan hiasan kepala dan wajahnya juga dalam keadaan terseyum. Kedua arca ini menggunakan busana layaknya penganten, menggunakan kain dan kampuh poleng atau yang bercorak loreng (sakordi). Jero Ding dilengkapi denga sebilah keris dipunggungnya.
Kedua arca tersebut didirikan dengan upacara pamelapas dan Pabyakala (natab banten beten) pada tanggal 7 maret 2006 (anggara pon ukir) tepatnya menjelang 21 hari sebelum hari pengerupukan. Tiga hari sebelumnya di Pura Ulunsui (disebelah Timur desa) berlangsung upacara Usabha, yakni upacara memohon kesuburan bagi tanah pertanian. Seperti dijelaskan pada hari Mabuncing, didahului dengan upacara Bhuta Yajña Caru Tabuh Gentuh, menjelang usai upacara ini dilanjutkan dengan kedua patung tersebut diupacarakan berupa upacara Masakapan (vidhividhana) dan Mabuncing yang dilaksanakan oleh pemangku desa (pemangku puseh desa) yang jumlah seluruhnya 7 orang dibantu oleh prajuru desa lainnya. Seorang diantara pemangku tersebut mengangkat Jero Dong dan yang lainnya mengangkat Jero Ding dengan menyikap kain masing-masing dengan memasukkan phalus ke dalam vagina sehingga menampakkan adegan layak sensor. Adegan orang dewasa ini disaksikan oleh sebagian besar masyarakat desa Muncan, baik anak-anak dan orang dewasa, laki-laki maupun perempuan dengan iringan sorak sorai mengamati acara yang unik itu.
Bagi masyarakat luar desa Muncan bila melihat peristiwa ini tersebut tentunya akan menyebukan sebagai acara pornografi dan pornoaksi. Pornografi, karena memperlihatkan hal-hal yang tampak seksual dan pornoaksi menampakkan adegan bercumbu rayu dan bahkan coutis. Acara ini berlansung cukup lama, karena diiringi dengan pemukulan kentongan besar (panjang 5,5 meter) yang dibunyikan pada akhir tahun dan menjelang tahun baru saka, dipukul oleh seorang atau dua orang pemangku sambil menikmati makanan khas Karangasem yang disebut nasi gibungan. Selain acara Mabuncing, kedua arca tersebut di- pralina (dimatikan secara ritual) selanjutnya diarak mengelilingi desa sebanyak 3 kali dengan arah prasvya (kebalikan jalan arahnya jarum jam) menuju alam kematian. Prosesi ini diikuti dengan gamelan dari kentongan yang terbuat dari batang bambu.
Rupanya keyakinan masyarakat desa Muncan tentang keberadaan Jero Dong Ding ini merupakan hal yang universal, hanya dengan visualisasi yang realistik seperti halnya pengamatan Bernet Kempers (1959:135) terhadap Linga dan yoni di pura Pusering jagat Pejeng Gianyar berupa phalus dan vagina yang tampaknya sangat natural. Kepercayaan ini berawal pada konsep Rvabhineda, dua hal yang berbeda (bertentangan dan saling memerlukan), Yakni adanya Bapak Angkasa dan Ibu Bumi, yang di dalam kitab suci Veda disebut Dyauh dan Prthivi. Menurut Ida Nyoman Gede Gunung, Geria Gunungbiu di desa Muncan, patung Jero Dong Ding ini adalah perwujudan dari Dewata Nawa Sanga yang kemudian menjelma menjadi sepasang Gandhava (penari dan penabuh gamelan Kahyangan) dan hidupnya hanya memuaskan nafsunya. Dari pelampisan nafsunya itu muncullah kesuburan yang didambakan oleh masyarakat. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Jero Gede Darma (mantan Bendesa Desa Pakraman Muncan) yang menyatakan kedua patung tersebut adalah perwujudan dewa Visnu dan dewi Sri, dikaitkan dengan makna acara Usabha Ulunsui tersebut di atas. Acara Jero Dong Ding Mabuncing ini umumnya selalu bertepatan dengan padi di sawah di seputar Muncan mulai hamil (akan mengeluarkan bunga yang kemudian menjadi buliran padi). Seperti telah disebutkan bahawa ritul kesuburan ini sarat dengan makna, antara lain memohon kepada sang Hyang Widhi supaya padi di sawah tumbuh subur dengan masyarakat menjadi makmur. Disamping itu diamanatkan juga bahwa bagi manusia sifat Gandhrwa tidak sepenuhnya ditiru, namun perlu pengendalian diri dan hubungan seksual antara suami istri akan mendapat karunia-Nya bila terlebih dahulu menempuh upacara Vivaha Samskara (vidhividhana atau ritual perkawinan) dan bila hal itu tidak dilaksanakan, maka desa tersebut akan cemar (cuntaka) karena terjadinya kasus Mamitra Ngalang yang sangat pantang dilakukan dikalangan masyarakat. Walaupun masyarakat desa Muncan setiap tahun melaksanakan acara di atas, rupanya selama ini tidak pernah terjadi kemerosotan moral berupa pemerkosaan dan sejenisnya seperti yang menjadi kekhawatiran yang dilansir oleh pendukung gagasan diberlakukannya Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).


Simpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1)      Seks merupakan dorongan yang terdapat pada setiap makhluk. Sebagai manusia yang beradab, setiap orang hendaknya mengendalikan dorongan seksual tersebut.
2)      Seorang yang mampu mengendalikan dorongan seksualnya dan hidup dalam disiplin spriritual dan tekun mempelajari ilmu pengetahuann disebut Brahmacarya, dan dipandang sebagai hukum atau ajaran agama yang tertinggi.
3)      Penyaluran dorongan seksual (rati) hanya dibenarkan melalui lembaga perkawinan, dan perkawinan ini dianggap sah dan dibenarkan bila dilakukan terlebih dahulu melaksanakan Vivaha samskara (vidhividhana).
4)      Di dalam Agama Hindu dijumpai beraneka bentuk ritual untuk memohon kesuburan, namun karena pandangan masyarakat tulus, tidak menghubungkan hal tersebut dengan erotisme. Di lingkungan masyarakat yang melakukan ritual tersebut tidak tampak adanya kemerosotan sosial.


Daftar Pustaka

Basham, A.L 1992. The Wonder That Was India. New Dehli: Rupa & Co.

Chand, Devi. 1982. The Antharvaveda. New Dehli: MOntilal Banarsidass.

Fiser, Ivo. 19767. Indian Erotics of Oldest Period. New Dehli: Gaurav Publishing House.

Hooykaas. C & T. Goudriaan, 1971. Stuti and Stava of Balinise Brahman Priest. Amsterdam, London:  North Holland Publishing  Campany.

Kantawala, S. G. 1989. Marriage and Family in The Mahabharata. Some Aspects, in Moral. Dilemmas in The Mahabharata. Edited by Bimal Krisna Matilal. New Delhi: Motilal Banarsidass.

Kempers, Bernet. 1959. Monumental Bali. Den Haag: Van Goor Zonen.

Meyer, Johann Jakob.1989. Sexsual LIfe in ancient Indian. New Dehli: Motilal Banarsidass.

Padey, Rajbali.1991. Hindu Samskara. New Dehli: Motilal Banarsidass.

Sudhartha, Tjokorda Rai, dan Gde Puja. 2004. Manavadharmaúàstra (Veda Smrti), Kompedium Hukum Hindu. Surabaya: Paramitha.

Suniti Bala Gupta. 1982. Women Characters in the Stories of the Mahabharata, dalam Great Women of India. Mayavati, Almora, Himalaya,: Advaita Ashrama
.
Sushil KumarDe. 1982. Great Women in Vedic Literature, dalam Great Women of India. Mayavati, Almora, Himalaya: Advaita Ashram.

Titib, I Made. 1998. Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.

Titib, I Made. 1998. Citra Wanita Dalam Kekawin Ramayana (Cermin masyarakat Hindu Tentang Wanita). Surabaya: Paramita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar