Kamis, 31 Oktober 2013

SEMANGAT AHIMSA Untuk Mereduksi Kekerasan Dewasa Ini



Setiap pembunuhan dan bentuk kekerasan (penganiayaan) lain
 tak peduli apa penyebabnya yang dilakukan oleh atau ditujukan
kepada orang lain adalah suatu tindakan
kejahatan kemanusiaan”

                                                         Gandhi dalam Harijan, 20-7-1935, 180-181
Pendahuluan
            Satu abad atau saratus tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 September 1906 Mohandas K. Gandhi merumuskan strategi Satyagraha di Johannesberg, Afrika Selatan. Kemudian sejak September 2006-September 2007 saat ini, dunia memperingati Seabad Satyagraha. Dalam suasana tersebut ajaran  Mahatma Gandhi  tentang Ahimsa dan masyarakat tanpa kekerasan sangat penting untuk  disebarluaskan kepada masyarakat  umum.
            Ajaran dan sosok Gandhi telah menjadi milik dunia. Ia telah mendarmabaktikan pemikiran dan hidupnya untuk memajukan dunia, mewujudkan perdamaian abadi yang dilandasi kebenaran, keadilan dan cinta kasih yang tulus. Dalam situasi masyarakat yang dihantui oleh berbagai tindak kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di bumi Nusantara ini. Ajaran Gandhi tentang Satyagraha dan Ahimsa sangat relevan untuk ditelaah dan diamalkan. Kekerasan telah terjadi di mana-mana. Di lembaga pendidikan yang terhormat dari lembaga pendidikan tinggi sampai di sekolah dasar, seperti di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang menyiapkan calon birokrat yang melayani dan mumpuni, kekerasan berlangsung seru dengan melibatkan banyak pihak dan mengakibatkan beberapa korban berjatuhan. Kekerasan terjadi di sekolah dasar, seorang anak telah berani melakukan tindak brutal mengeroyok teman atau adik kelasnya, dan korban pun begelimangan. Kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak sekolah dasar dikaitkan pula dengan tayangan Smack Down di TV.  Ayah kendung menganiaya anaknya denan sangat sadis (Bali Post, 5 September 2007) dan sebagainya. Kekerasan tinggal kekerasan dan tiada hentinya ditayangkan di media massa. Mulai dari ujung utara Nusantara sampai selatan, dari barat sampai ke timur, dan di rumah tangga, di lembaga pendidikan, di berbagai sektor kehidupan kekerasan telah menghantui masyarakat, dan bagi masyarakat Bali sangat merasakan dampak dari kekerasan yakni tindakan teroris yang meledakan bom di Jalan Raya Legian Kuta dan Kafe Jimbaran. Kedua ledakan besar yang mengakibatkan meninggalnya ratusan orang, terutama orang asing telah mencoreng nama Bali dan Indonesia sebagai negara yang tidak aman. Negara yang belum mampu menuntaskan penangkapan gembong teroris dan dampaknya di sektor ekonomi sangat dirasakan hingga kini.
Dalam situasi yang mengkhawatirkan ini, Fakultas Sastra Universitas Udayana bekerja sama dengan Indian Cultural Centre (ICC) Bali menyelenggarakan seminar internasional memperingati Seabad Satyagraha, tanggal 19 Mei 2007 dengan menghadirkan seorang Gandhian, Mantan Duta Besar India, Pascal Alan Nazareth dengan topik pembicaraan Peran Kebenaran dan Diplomasi di Jaman Terorisme (The Role of Truth and Diplomacy in Terrorism Era)  yang  menyatakan  bahwa  abad  20  merupakan  abad yang paling brutal dan merusak hampir sepanjang  sejarah umat manusia. Hampir seratus juta orang terbunuh dalam dua perang dunia, kamar gas Hitler, perang antar negara, dan perang saudara. Dengan runtuhnya tembok Berlin, muncul harapan besar bahwa abad baru akan membuka lembaran baru perdamaian dan persaudaraan semesta. Sayangnya kenyataan jauh dari harapan. Saat ini lebih banyak orang hidup dalam ketakutan, mati mendadak dan brutal dibandingkan sebelumnya. Runtuhnya World Trade Centre (WTC) 11 September 2001 yang dikenal dengan istilah 11. 9 (eleven nine) sangat membekas dalam ingatan. Pelaku bom bunuh diri merupakan ikon teror di jaman ini. Bagaimana orang melindungi dirinya, keluarganya, dan negaranya dalam situasi yang seperti ini. Bagaimana orang mengetahui dan mencegah kebrutalan teroris, siapa yang mendapatkan keuntungan dari misteri dan kejutan ini. Apa yang membuat teroris begitu ingin dan sama sekali tidak takut mati dengan melakukan tindakan teroris. Pertanyaan-pertanyaan ini menunggu jawaban, namun menjawab pertanyaan-pertanyaan ini bukan perkara yang mudah. Bahkan hampir semua sistem pengawasan canggih yang dimiliki negara super power tidak mampu mencegah serangan teroris. Serangan pencegahan dan hukum keras terbukti sama sekali bukan tindakan pencegahan yang efektif. Tindakan pencegahan semacam ini justru menimbulkan tindakan teroris yang lebih brutal dan lebih canggih lagi.
            Demikian Pascal Alan Nazareth mengawali presentasinya. Ia yang berbicara di berbagai belahan dunia, di depan akademisi di berbagai kampus terkemuka di Amerika dan Eropa mengajak dunia untuk mengubah cara pandang dan sikapnya dengan mengimplementasikan ajaran Gandhi yang terbukti mampu mengantarkan India menuju kemerdekaan. Nazareth  mengutip Albert Einstein yang mengatakan “Lesatan daya atom mengubah segalanya kecuali pemikiran kita; kita sedang menuju ke arah tragedi tiada banding. Kita membutuhkan cara berpikir baru agar umat manusia tetap dapat bertahan ................ Perdamaian tidak bisa dijaga dengan kekuatan. Perdamaian hanya dapat dicapai dengan pemahaman”.
            Nazareth mengutip kata pengantar buku “Gandhi in the Post Modern Age” karya Prof. Ralph Bultjens, Penerima Penghargaan Sejarah Toynbee, menulis: “Kelemahan peradaban modern tampak dari cara menakutkan yang tidak efektif dalam mengatasi konflik. Dalam hubungan internasional maupun penggunaan cara-cara pencegahan militer, tidak memperbaiki kelemahan dunia. Interpretasi yang agak pesimistik terhadap sejarah ini ditentang dengan satu pengecualian penting, penerapan kebijakan dan teknik diplomasi Mahatma Gandhi di India. Gandhi bukan hanya berhasil menyelamatkan umat manusia dari keniscayaan sejarahnya, tetapi juga mendukung terus digunakannya”.


Keberhasilan perjuangan Gandhi
            Setelah tiga puluh tahun Gandhi mencanangkan perjuangan diplomasi dengan prinsip Satyagraha dan Ahimsa, Inggris angkat kaki dari India secara sukarela. Inggris dan India terpisah dan tetap berteman dan India bergabung dalam Persemakmuran Inggris sebagai mitra sejajar. Pernyataan Gandhi bahwa “Revolusi damai .................merupakan program transformasi hubungan yang berakhir dengan pemindahan kekuasaan dengan damai, tidak bisa disangkal”.
            Kemanjuran strategi kebenaran dan diplomasi Gandhi juga dapat dengan jelas dilihat di berbagai belahan dunia. Dengan menggunakan strategi ini, Martin Luther King lebih membawa manfaat bagi bangsa kulit hitam selama dekade 1960-an, dibanding dengan perang saudara, dan ratusan tahun berikutnya perjuangan hukum di Amerika Serikat berhasil. Demikian pula Dalai Lama menerapkan strategi yang sama untuk Tibet. Ketika menerima penghargaan pada Desember 1989 ia mengatakan: “Saya menerima penghargaan ini atas nama orang yang tertindas di mana saja, dan semua yang memperjuangkan kebebasan dan perdamaian dunia. Saya menerimanya atas nama seorang manusia yang membangun tradisi modern perubahan tanpa kekerasan – Mahatma Gandhi – yang hidupnya mengilhami saya. Dan tentu saja, saya menerimanya atas nama jutaan rakyat Tibet, kaum laki-laki dan perempuan Tibet yang berani, yang menderita dan begitu banyak menderita...................”.
            Professor Gene Sharpe dari Harvad, dalam bukunya berjudul “The Politics of Non Violent Action”, menulis “Gandhi adalah seorang experimenter dalam pengembangan “perang tanpa kekerasan”. Karyanya menjadi pioneer dan, meskipun tidak terlalu benar, mewakili  perkembangan sejarah baik dalam etika maupun politik ............. Banyak masalah dalam pengembangan dan penerapannya lebih lanjut. Namun dalam kata dan tindakannya Gandhi berfokus  pada apa yang kemungkinan menjadi kunci pemecahan masalah “bagaimana orang bisa hidup dengan damai, dan pada saat yang sama, secara aktif dan efektif, melawan penindasan dan ketidakadilan”.


Solusi Antisipasi
            Apa yang diperlukan dunia saat ini bukanlah “perang terhadap terorisme”, tetapi perang terhadap ketidakbenaran, ketidakadilan, penindasan, dan perang itu sendiri”. Pascal Alan Nazareth  membuat kesimpulan dengan kalimat yang dikutip dari buku Jonathan Schell berjudul “The Unquerable World”. Dalam buku tersebut dinyatakan: “Ketika  abad baru dimulai, maka tidak ada pertanyaan yang lebih penting dari ‘apakah dunia telah mulai siklus baru kekerasan, mengutuk abad 21 karena mengulang darah abad 20’. Dan lihatlah kenyataan. bahaya kontemporer, tidak seperti sebelumnya, yaitu ‘tentara konvensional dan kebencian persaingan negara-negara kuat yang sistematis’ tapi ‘penyebaran senjata nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya yang terus menerus dan iblis negara, suku, agama, dan pertarungan kelas yang tidak kunjung selesai’. Ia menyatakan bahwa, meskipun dengan adanya serangan 11 Septermber 2001 dan kebutuhan untuk mengambil tindakan keras mengatasi ancaman global, namun jalan baru dan menjanjikan telah terbuka. “Abad 20 memberi pelajaran berharga” yaitu bahwa bentuk-bentuk tindakan non kekerasan dapat  diterapkan secara efektif untuk menggantikan kekerasan di setiap tahapan permasalahan politik. Inilah sumpah perlawanan Mohandas K. Gandhi terhadap Kerajaan Ingris di India, gerakan hak-hak sipil Martin Luther King di Amerika Serikat, gerakan anti kekerasan di Eropa Timur dan Rusia yang meruntuhkan komunisme dan Uni Soviet”. Demikian mantan Duta Besar India, Pascal Alan Nazaret mengakhiri makalahnya yang sangat menarik peserta seminar.
            R. C. Zaehner dalam bukunya “Hinduism”, (1993:206) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme, diterbitkan oleh Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama mengidentikan Gandhi dengan Yudhisthira, saudara tertua dari Pandawa. Ia melukiskan, “Dalam kepribadiannya yang lemah itu cita-cita lama akan pembebasan diri, ‘ketulusan’ (ahimsa, diterjemahkan olehnya sebagai ‘tanpa kekerasan’) dan kebenaran bertemu. Ia melukiskan dirinya sebagai seorang Hindu sanatani, seorang yang mengikuti sanatana dharma ‘hukum abadi’ yang pernah eksis dalam (diri) dharma-raja, Yudhisthira. Dan dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira: apakah sanatana dharma, yang, katanya harus ditaati ini ada? Dimanakah dia berada? Adakah dia berada di dalam hati ataukah dalam perkara-perkara seperti dinyatakan oleh para Brahmana? Harus diingat bahwa Yudhisthira pun tersiksa oleh keragu-raguan sama yang menyakitkan ini. Adakah dharma yang diajarkan oleh para Brahmana itu dharma ‘abadi’, ataukah itu dharma yang merupakan sumber dari keberadaan dirinya, yakni dharma yang merupakan berkat mana ia menjadi “Raja dharma”, “Raja Kebenaran”, karena kesadaran moral seorang yang benar tak dapat keliru? Dia ragu-ragu karena Tuhan sendiri telah mendorongnya ke arah perang dan kekerasan, dan menyuruhnya berbohong, tetapi ia pun tahu bahwa kesadaran moralnya melampaui “kebenaran” dari para Brahmana dan dari Krishna sendiri. Dilema Yudhisthira lebih menakutkan, lebih meresahkan daripada dilema Gandhi. Kesadaran moral-nya adalah yang pertama antara yang pernah memprotes melawan masyarakat yang kejam dan tidak adil ini. Belum ada pembaharu sebelum dia. Demikian kata-kata Zaehner dalam buku tersebut.
            Berkaitan dengan perlawanan tanpa kekerasan yang diperjuangkan selama kehidupan Gandhi, Ketut Wisarja (2007:19) mengutip Mochtar Lubis dalam pengantar terjemahan buku “Gandhi, Semua Manusia Bersaudara” menyatakan: “Kekuatan perlawanan tanpa kekerasan Gandhi yaitu ahimsa ditunjang pula oleh perjuangan satyagraha yang berlandaskan perjuangan untuk berdiri senantiasa menegakkan kebenaran. Keduanya ditopang oleh satu kekuatan besar yaitu swadesi (mencintai tanah air dan lebih menyenangi pemakaian barang-barang buatan rakyat sendiri) merupakan tiga tiang dasar perjuangan Gandhi dan rakyat India untuk menekan kekuasaan Inggris mengakui kemerdekaan India”.
            Perjuangan Gandhi untuk meraih kemerdekaan tidak lepas dari ajaran-ajarannya (utamanya dari ajaran Agama Hindu) yang dipraktikkan dalam hidupnya. Dalam menjalankan aksi perlawanannya, ia selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis dasar gerakkannya. Untuk lebih memahami lebih jauh ajaran atau prinsip-prinsip anti kekerasan Gandhi, di sini dikemukakan beberapa hal yang penting (Wisarja, 2007:75), sebagai berikut: (1) Ahimsa. Secara harfiah ahimsa berarti “tidak menyakiti”, tetapi menurut Gandhi pengertian seperti itu belum cukup, menurutnya ahimsa berarti menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memberalat serta mengorbankan orang lain. Gandhi memandang ahimsa dan kebenaran (satya) ibarat saudara kembar yang sangat erat, namun membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran (satya) sebagai tujuannya. Pengertian ahimsa sebagai suatu sarana berarti tidak mengenal kekerasan untuk mencapai kebenaran, baik dalam wujud pikiran, ucapan, maupun tindakan. Justru kebalikannya, ahimsa harus menciptakan suasana membangun, cinta, dan berbuat baik kepada orang lain meskipun orang lain itu pernah menyakitinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. (2) Satyagraha. Secara harfiah satyagraha berarti suatu pencaria kebenaran dengan tidak mengenal lelah. Berpegang teguh pada kebenaran artinya satyagraha merupakan jalan hidup seorang yang berpegang teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengabdikan seluruh hidupnya pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena jalan satu-satunya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan sarana ahimsa, maka satyagraha juga berarti “mengejar tujuan benar dengan sarana ahimsa. Satyagraha mengambil bentuk tindakan dengan sikap non-violence berdasarkan ahimsa. Tindakan tersebut secara praktis dapat dilaksanakan dengan: Pertama, civil disobidience (ketidak patuhan sipil), berarti melanggar hukum yang dipandang tidak adil, misalnya hukum pajak yang pernah diterabas Gandhi dan para pengikutnya pada tahun 1919. Kedua, non-cooperation, berarti menolak mengambil bagian dalam sistem yang tidak adil, yang menyebabkan banyak orang tertindas dan menderita. Ketiga, fasting atau puasa, yakni pengendalian diri agar menghasilkan kewaspadaan dan sikap hormat pada orang lain. Puasa dimaksudkan untuk menyadarkan orang-orang yang melakukan kesalahan. (3) Swadesi. Pengertian swadesi adalah cinta tanah air sendiri, cara mengabdi kepada masyarakat yang sebaik-baiknya kepada lingkungannya sendiri lebih dahulu. Gandhi secara jelas memberikan urutan swadesi ini, yaitu pengabdian diri untuk keluarga, pengorbanan keluarga untuk desa, desa untuk negara dan negara untuk kemanusiaan. Maksud Gandhi agar swadesi ditaati untuk menciptakan ketentraman dunia, sedangkan pengingkaran terhadapnya mengakibatkan kekacauan. Pelaksanaan swadesi ini antara lain: sebisa-bisanya agar membeli segala keperluan dari dalam negeri dan tidak membeli barang-barang import, bila barang-barang tersebut dapat dibuat dalam negeri sendiri. Melihat situasi dan kondisi waktu itu memungkinkan untuk melaksanakan anti import barang-barang asing sebagai protes dan boikot terhadap kaum penjajah. (4) Hartal. Hartal semacam pemogokan nasional, toko-toko ditutup sebagai protes politik dan para pekerja melakukan pemogokan massal. Untuk pertama kalinya Gandhi memutuskan untuk menentang pemerintah kolonial Inggris di India. Ia memutuskan melaksanakan hartal (pemogokan total). Ia mengatakan bahwa suatu hari kegiatan dagang harus dihentikan, toko-toko tutup, dan pekerja-pekerja mogok. Hartal ini merupakan permulaan dari perjuangan selama 28 tahun, yang berakhir dengan penjajahan Inggris menghentikan penjajahan atas bangsa India. Hartal dilakukan oleh rakyat India sebagai sebuah protes politik, namun hari-hari mogok itu dihabiskan dengan berpuasa dan kegiatan keagamaan lainnya.
            Lebih jauh walaupun Gandhi menjadikan ashram yang dibangunnya sebagai tempat eksperimen dari ajaran-ajaran, prinsip-prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan yang dianutnya, ternyata eksperimennya itu dapat diterapkan dan terbukti berhasil menciptakan masyarakat ideal yang anti kekerasan. Ajaran, prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan itu dituangkan dalam bentuk peraturan hidup (etika) di ashram, (Wisarja, 2007:141) yang jumlahnya 11 butir (ekadasavrata) yaitu: (1) Sat (kebenaran). Kata satya, kata dasarnya sat yang artinya ada atau kebenaran, bahkan bagi Gandhi, kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ada merupakan satu konsepsi tentang peristiwa-peristiwa dalam hidup, yang alami dan yang dapat dirasakan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hidup itu benar-benar ada, nyata dan bukan impian. Yang nyata dan ada itu semata-mata adalah Kebenaran. Dalam komunitas ashram, kebenaran tidak hanya dalam pengertian  berkata jujur atau tidak berdusta, melainkan harus terdapat pula pada semua segi, yakni pikiran, ucapan, dan tindakan. Mengejar kebenaran merupakan bhakti sejati (pengabdian) yang mengarahkan orang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran tersebut haruslah ditempuh melalui sikap nirbhaya (keberanian) keuletan, dan sikap tidak mudah menyerah. Pengertian Kebenaran dalam perspektif Gandhi mengandung keselarasan dari tiga unsur, yaitu: pikiran, ucapan, dan tindakan. Keselarasan dari ketiga unsur tersebut menjamin terselenggaranya kehidupan kepribadian setiap warga ke dalam ketaatan pada peraturan yang menjadi pengikat dalam kebersamaan. (2) Ahimsa (kasih sayang). Pengabdian kepada Kebenaran harus tetap mengandalkan sikap ahimsa (kasih sayang) terhadap sesama sekaligus terhadap makhluk lainnya. Ahimsa mengandung pengertian tidak menyakiti. Ahimsa merupakan suatu sikap tidak menyakiti manusia mana pun, baik pikiran, ucapan, maupun tindakan, sekalipun konon untuk kepentingan manusia itu sendiri. Prinsip ahimsa ini harus dijalankan dalam aktivitas keseharian manusia, utamanya bagi warga dalam ashram. Prinsip ini merupakan bentuk dari dasar pencegahan konflik dalam masyarakat, karena konflik biasanya muncul oleh berbagai perilaku “menyakiti” manusia lain dengan cara apa pun. Apabila setiap anggota masyarakat mematuhi prinsip ini, niscaya setiap konflik yang akan muncul dapat diminimalisir. Setiap manusia secara sadar mengamalkan prinsip ini sebagai kebutuhan dasar kemanusiaan untuk tidak saling menyakiti dan memusihi. (3) Brahmacharya (penguasaan indera). Pada dasarnya, brahmacharya mengandung pengertian sebagai sikap yang harus disesuaikan dengan proses pencarian Brahma, yakni Kebenaran. Brahmacharya lebih ditekankan pada perilaku dari setiap manusia untuk selalu bersikap sesuai dengan Kebenaran itu sendiri. Bagi Gandhi, brahmacharya sebagai prinsip ketiga dalam ashram lebih dari penguasaan nafsu hewani, melainkan juga mencakup penguasaan setiap indera yang terdapat dalam diri manusia. Bagaimana mungkin brahmacharya dapat dicapai sedangkan indera sendiri menjanjikan kenikmatan bagi orang yang memenuhi. Dengan mengutip ajaran suci Bhagavadgita, Gandhi optimis bahwa pencapaian brahmacharya dapat dipenuhi. Dengan tidak melayani kebutuhan indera, maka kerinduan terhadap objek-objek indera akan hilang dengan sendirinya, tetapi rasa rindu terhadap benda-benda itu muncul. Rasa rindu tersebut akan sirna sendirinya dengan usaha selalu mendekatkan diri kepada Brahma (Tuhan Yang Maha Esa). (4) Penguasaan Rasa Lidah. Prinsip ini berhubungan erat dengan brahmacharya, karena penguasaan rasa lidah pada dasarnya merupakan perilaku yang membantu tercapainya kualitas kemanusiaan menuju pada Brahma. Penguasaan rasa lidah dalam banyak hal berkaitan dengan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk makanan secara berlebihan, baik soal selera maupun mengubah orientasi makanan menjadi suatu kenikmatan. Setiap penghuni ashram diharapkan menghindarkan diri dari perilaku makan yang sekedar yang sekedar memenuhi kenikmatan indera semata serta tidak berlebih-lebihan, menghindari makan daging dan alkohol serta makanan yang membangkitkan nafsu. Prinsip menghindarkan diri dari berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan serta menghindari setiap makanan yang telah ditentukan merupakan ikhtiar dari setiap warga ashram untuk tidak memenuhi tuntutan inderawi semata-mata. (5) Asteya (tidak mencuri). Prinsip tidak mencuri merupakan prinsip kelima yang harus dijalankan oleh warga ashram. Tindakan mencuri merupakan sebuah pantangan bagi orang yang memperjuangkan dan membela Kebenaran. Mencuri merupakan tindakan yang merugikan orang lain, karena merasakan kehilangan miliknya. Tindakan mencuri adalah perilaku yang merusak hubungan sosialitas dalam ashram, karena akan memunculkan rasa tidak aman dan sikap saling mencurigai. Jika didiamkan hanya akan melahirkan situasi tidak kondusif bagi perjalanankehidupan ashram. Prinsip ini merupakan suatu upaya untuk menghindarkan diri dari nafsu untul menguasai sesuatu yang bukan menjadi haknya. Andaikata setiap manusia memiliki dan menjalankan prinsip ini, maka keserakahan yang biasanya menjadi realitas kemanusiaan dapat diminimalisir, bahkan dihentikan potensi perkembangannya. (6) Aparigraha (memilih hidup dalam kesederhanaan). Prinsip ini merupakan pengembangan yang lebih luas dari prinsip asteya, yaitu upaya manusia warga ashram untuk menghindarkan diri dari kepemilikan atau benda yang tidak diperlukan sekaligus yang bukan menjadi haknya. Melalui prinsip ini pula Gandhi membuat permakluman bahwa setiap warga dilarang untuk menyimpan sesuatu bagi keperluan untuk masa yang akan datang. Pelarangan ini mengandung pengertian agar setiap orang mempunyai kesempatan untuk memperoleh bagian, dan tidak menjadi monopoli yang dapat merusak hubungan antarwarga. Monopoli hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial dan sekaligus kesenjangan sosial dalam sosialitas ashram. Prinsip ini sesungguhnya merupakan suatu sikap mental agar setiap warga ashram memiliki kemampuan untuk saling memperhatian sesama, tidak serakah dan tidak terlalu menjadikan hidup berorientasi kepada kebutuhan-kebutuan fisik semata. Setiap warga ashram harus bersama-sama menikmati aktivitas kehidupan, tanpa ada yang paling kaya sekaligus yang berada dalam kemiskinan. Semuanya adalah milik bersama. Prinsip ini seolah juga memberikan suatu pemahaman akan pengaruh dari sikap hidup masyarakat sosialis purba yang menginginkan terbentuknya masyarakat tanpa harta milik. (7) Karya Pangan. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip asteya dan aparigraha. Prinsip karya pangan merupakan upaya untuk memenuhi sikap hidup yang mengutamakan asteya dan aparigraha, yaitu dengan menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, usaha mandiri tanpa melakukan pencurian. Ketaatan terhadap asteya dan aparigraha hanya dapat ditunjang dengan melaksanakan karya pangan. Pemenuhan kebutuhan sendiri melalui karya pangan merupakan kewajiban moral bagi setiap warga yang sehat. Kewajiban ini merupakan suatu prinsip hidup agar tidak menggantungkan dirinya dan warga di ashram terhadap orang lain. Karya pangan menjadi wujud daribentuk kemandirian. Konskuensi logisnya menjadi suatu kekuatan bagi tubuh masyarakat sipil dengan kemampuan untuk mengelola dan mencukupi kebutuhan sendiri. (8) Swadesi. Swadesi pada dasarnya mengandung suatu pengertian bahwa manusia bukanlah makhluk yang memiliki kekuasaan penuh. Manusia masih memiliki batas-batas kekuasaan yang membuat dirinya memiliki banya kelemahan. Atas dasar ini, pengabdian manusia kepada masyarakat sebaik-bainya hanya dapat dilakukan ketika mereka melakukan pengabdian kepada lingkungannya sendiri lebih dahulu. Melalui pengabdian ini (dari lingkuangan terdekat sampai yang jauh lebih luas) akan menumbuhkan kepekaan sosial atas setiap bentuk penderitaan sekaligus upaya melakukan pembebasan umat manusia dari setiap bentuk penindasan dan ketidakadilan. (9) Nirbhaya (tidak mengenal takut). Situasi politik yang tidak menentu dan di tengah ketertindasan masyarakat India akibat kekejaman kolonial, membuat Gandhi menganjurkan suatu anjuran Nirbhaya, yaitu suatu sikap untuktidak pernah mengenal rasa takut, terhadap kekuatan apa pun. Prinsip ini melahirkan suatu semangat yang sangat luar biasa bagi warga ashram untuk menunjukkan kebenranian dan jiwa patriotismenya melawan pemerintah koloni Inggris. Bagi Gandhi, setiap warga India harus dihilangkan rasa takutnya untuk berani berbicara dan berpendapat di muka umum, sekaligus menuntut dihilangkannya ketidakadilan bagi warga. Lebih jelas Gandhi mengatakan bahwa sikap bebas dari rasa takut berasal dari luar, misalnya bebas dari rasa takut pada penyakit, luka, kematian, kehilangan milik, kehilangan orang yang paling dekat dan disayang, kehilangan kemasyhuran atau takut dihina dan lain-lain. Rasa takut yang dianjurkan oleh Gandhi hanyalah rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menemukan dan menghilangkan rasa takut tersebut, Gandhi menganjurkan agar dimulai dan penaklukan rasa takut dalam diri sendiri. Penaklukan tersebut pada akhirnya akan menghilangkan rasa takut dari luar. (10) Menghapuskan Rasa Emoh Bersentuhan. Prinsip ini pada dasarnya mmerupakan bentuk penghapusan kelas-kelas sosial dalam masyarakat Hindu di India. Selama ini dalam masyarakat Hindu di India terjadi persoalan mendasar berkaitan dengan interaksi sosial. Artinya, terjadi proses pengeliminasian atau peminggiran kelas-kelas sosial tertentu berdasarkan kelahiran dan keturunan, atau yang disebut kasta. Kasta yang lebih tinggi seolah lebih mulia sehingga dilarang bersentuhan dengan kasta yang lebih rendah. Realitas ini bagi Gandhi dianggap bertentangan dengan prinsip ahimsa dan kodrat manusia yang dilahirkan dalam keadaan suci. Menurut Gandhi tidak seorang pun mungkin dilahirkan sebagai orang yang tidak boleh disentuh karena kita semua adalah percikan sinar dari yang satu dan sama. Sangatlah keliru untuk memperlakukan insan-insan tertentu sebagai orang yang pantang disentuh karena kelahiran. Prinsip ini mengandung suatu bentuk penghargaan atas kodrat kemanusiaan sebagai makhluk yang sederajat, tidak boleh terjadi berbagai bentuk diskriminasi dalam bentuk apa pun. Prinsip ini seolah mengindikasikan suatu bentuk jaminan bagi demokratisasi dalam masyarakat liberal yang memiliki tiga prinsip, yaitu: netralitas, kebebasan, dan kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan. Bagi Gandhi, melalui prinsip ini maka setiap warga ashram harus diberikan kedudukan yang sama dan wajib melakukan interaksi berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan berdasarkan status sosial yang berasal dari keturunan dan kelahiran. (11) Toleransi. Toleransi merupakan prinsip terakhir dalam ashram. Toleransi merupakan perluasan dari sikap hidup untuk tidak melakukan proses diskriminasi dalam masyarakat. Artinya, di dalam masyarakat ashram yang berasal dari berbagai komunitas harus menjalankan prinsip toleransi dan tidak saling membeda-bedakan. Terhadap agama-agama yang ada, Gandhi berpandangan bahwa semuanya mengandung wahyu Kebenaran, namun karena agama-agama tersebut garis besarnya dibuat oleh manusia yang tidak sempurna, maka keyakinan-keyakinan itu dipengaruhi oleh ketidaksempurnaan tersebut dan Kebenaran tersebut menjadi tidak mutlak adanya. Bila dikaji secara mendalam, pada dasarnya pemahaman Gandhi ini mencoba memberikan suatu persepsi bahwa setiap agama mengandung Kebenaran, tetapi Kebenaran tersebut diberikan penafsiran oleh manusia, maka ia tidaklah kemudian dapat diidentikkan sebagai Kebenaran yang sempurna. Hal ini karena berbagai bentuk kelemahan manusia yang turut terlibat dalam memberikan berbagai bentuk interpretasi atas agama. Ketidaksempurnaan tersebut memberikan inspirasi bagi Gandhi untuk bersikap mengembangkan prinsip toleransi, yakni menghormati keyakinan-keyakinan yang dianut olehorang lain. Ketidaksempurnaan itulah yang memberikan alasan bagi Gandhi agar setiap orang dapat menemukan bentuk-bentuk Kebenaran yang terdapat dalam agama lain. Itulah sebabnya, pengambilan nilai-nilai yang baik dan benar dalam setiap agama seolah menjadi keharusan moral yang harus dijalankan dalam komunitas ashram. Demikian 11 aturan, disiplin, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang diimplementasikan dalam kehidupan ashram yang memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat India umumnya.
            Dalam masyarakat anti kekerasan dikembangkan prinsip dasar semua manusia bersaudara (Vasudhaivakutumbhakam). Pandangan Gandhi ini (Wisarja, 2007:155) tidak bisa dilepaskan dari pengertiannya tentang manusia. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa manusia tidak akan menemukan dirinya sendiri, tanpa terlibat dalam kebutuhan besar, yaitu sosialitas. Manusia memang makhluk otonom, tapi otonom yang berkorelasi, otonomi tidak bisa ditemukan. Itulah sebabnya Gandhi berpegang teguh pada pemahaman untuk mengajarkan pada setiap orang menghargai orang lain sebagai manusia. Manusia dengan nilai kemanusiaannya harus menjadi landasan dalam setiap bentuk pergaulan hidup dalam sosialitas. Pembentukan masyarakat tanpa kekerasan hanya dapat dilakukan melalui komitmen warganya untuk menjalankan ahimsa dan satyagraha. Ahimsa adalah falsafah pantang kekerasan yang dikembangkan sedangkan satyagraha adalah aksi perjuangan yang tidak memakaikekerasan. Penguatan sikap moral untuk menjauhi (emoh) kekerasan adalah pilar utama mengubah keadaan masyarakat dari himsa menuju ahimsa. Emoh kekerasan mengandung nilai universalitas, karena ia dikembangkan ke dalam prinsip kemanusiaan yang bersifat universal. Semua umat manusia bersaudara, sebagai saudara, tanpa permusuhan, dan tidak saling membenci, serta kamauan untuk tidak pernah menghadirkan kekerasan di dalamnya menjadi representasi dari kesempurnaan sikap hidup manusia dalam mewujudkan dirinya sebagai makhluk sosial. Nilai-nilai ini jelas mempresentasikan kebenaran. Kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, sehingga wujud kasih sayang sebagai sebuah kebenaran merupakan tempat bersemayamnya Tuhan Yang Maha Esa. “Di mana ada kasih sayang, di sanalah Tuhan Yang Maha Esa bersemayam”.

Penutup
Mengakhiri makalah ini diketengahkan bahwa masyarakat tanpa kekerasan atau masyarakat teladan yang diidamkan oleh Mahatma Gandhi. Bagi Gandhi, masyarakat yang sempurna terlahir dari situasi keadaan manusianya yang memiliki kesempurnaan pula. Begitu juga sebaliknya, manusia yang jahat juga berakibat bagi bangunan masyarakat yang menjadi temapt para individu tersebut mengembangkan kehidupannya. Manusia yang sempurna menurut Gandhi adalah pribadi yang satyagrahi yaitu orang yang mampu mengatasi kekuatan-kekuatan jahat yang dilakukan dengan sikap ahimsa dan pemurnian diri yaitu mencakup sikap lepas bebas terhadap harta milik dan bebas terhadap kelezatan dan kenikmatan melalui kehidupan yang sederhana, puasa, dan brahmacharya. Kesempurnaan manusia yang demikian pada akhirnya akan berhubungan dengan kondisi masyarakat.
            Bagaimana membangun masyarakat teladan yang ideal, seperti telah disebutkan di atas, adalah membangun setiap subjek atau manusianya, dan pembangunan manusia tidak dapat lain, kecuali menanamkan pendidikan budi pekerti dan moralitas sejak anak-anak, menjauhkan dari kebencian, kekerasan, irihati, kesederhanaan, disiplin diri, sembahyang, puasa, dan penghargaan, Dalam kalimat yang singkat adalah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati dan universal. Bila aturan hidup, disiplin, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang diajarkan Gandhi diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia, maka niscaya masyarakat anti kekerasan akan dapat diwujudkan, dengan demikian ancaman terorisme dan sejenisnya yang diekspresikan melalui tindak kekerasan dapat diatasi dan dicegah sedini mungkin.


Daftar Pustaka
Alan Nazareth, Pascal, 2007. The Role of Truth and Diplomacy in Terrorism Era. Makalah Seminar Internasional memperingati Seabad Satyagraha dilaksanakan oleh Fakultas Sastra Universitas Udayana bekerja sama dengan Indian Cultural Centre (ICC) Bali, tanggal 19 Mei 2007.
Gandhi, M.K. 1996. Tuhanku (My God). Himpunan Pemikiran M. K. Gandhi tentang Tuhan Yang Maha Esa dihimpun oleh R.K.Prabhu, Denpasar: Ashram Gandhi.
Wisarja, I Ketut.2007. Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Zaehner,  R. C. 1993. Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar