Kamis, 31 Oktober 2013

DESA ADAT BALI DALAM ERA GLOBALISASI



Sugriva yang merupakan raja para kera memerintahkan kepada pengikutnya (yang bernama Vinata) untuk pergi ke pulau Jawa (Javadvìpa) yang terdiri dari tujuh buah kerajaan dan dua buah pulau bernama Suvarnadvìpa(pulau emas) dan Rupyakadvìpa (pulau perak). Setelah Javadvipa akan menjumpai gunung yang bernama Úiúira (gunung Agung,Bali), dengan puncaknya yang mencapai Svargaloka. Dewa-dewa dan Danawa-Danawa bersthana di sana".
.
                                                                      
Ràmàyana,Kiskindhàkanda 40.30.31.

A. Bali, Nusaning Nusa, Hyang-Hyang Sagara Giri
Bali sebagai pulau kecil sudah sejak jaman dahulu menjadi perhatian dunia. Bila saat ini globalisasi melanda pulau yang indah dan terletak di antara ribuan pulau di hamparan biru persada Nusantara, maka di masa yang silampun Bali telah kena pengaruh internasional, yakni masuknya agama dan peradaban Hindu di pulau ini. Orang-orang asing yang datang ke Bali pada masa yang silam adalah mereka para pedagang China dan peziarah (Yàtri) dari India. Pengaruh Hindu di Bali di samping dari India Selatan (Amaravati), juga Kamboja, Malaya (Ligor) dan Jawa. Pada jaman Majapahit kitab Nàgarakrtàgama menjelaskan bahwa, kondisi masyarakat Bali dinyatakan sama dengan pulau Jawa (Nusa Bali i sàcara lawan bhùmi Jawa/tradisi dan adat-istiadat Bali sama dengan pulau Jawa ) menunjukkan betapa kentalnya hubungan antara Bali dengan Jawa pada waktu itu. Di pulau yang disebut Nusaning Nusa (permatanya nusantara) atau Hyang Hyang Ning Sagara Giri (keindahan kedewataan perpaduan gunung dan laut) itu tersebar banyak peninggalan purbakala berupa candi-candi, pertapaan atau ashram terutama di sepanjang sungai Petanu dan Pakerisan menunjukkan cukup banyak adanya pusat-pusat pendidikan dan pengembangan agama Hindu.
Bali, pulau yang mungil memiliki keunikan tersendiri. Berbagai julukan telah diberikan kepada pulau yang memikat ini diantaranya adalah The Last Paradise on Earth (Sorga terakhir bumi),The morning of the Word (Paginya dunia),The Island of Gods (Pulau dewata ), The Intresting Peacefull Island (Pulau penuh kedamaian yang sangat mempesona), dan seseorang akhli purbakala bernama Bernet Kempers menyebutnya dengan : Land of One Thousand Temples, pulau dengan seribu pura (1977 : 73). Kenyataanya menurut ahli purbakala ini, jumlah pura di Bali lebih dari 20.000 buah.
Kepopuleran pulau Bali bukanlah hal yang baru, sebab sejak jaman purbakala pulau ini sudah di kenal. Keterangan tentang kemuliaan gunung agung, yang di sebut juga To Langkir atau Udaya Parwata, di yakni sebagai bagian dari pegunungan Mahàmeru (yang pada jaman dahulu disebut Úiúira Parvata ) sudah di ungkapkan dalam Ràmàyana, bagian Kiskindhà Kanda, karya agung adikawi maharsi Vàlmìki, sebagai sthana para Dewa (Rajendra Misra,1989 : VI) dan bila kita melihat peninggalan purbakala di daerah Goa Gajah dan Gunung Kawi ( Gianyar ) seperti yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah pada jaman dahulu tidak sedikit orang dari luar Bali yang melakukan Tìrthayàtra berkunjung ke daerah ini dan menetap beberapa lama pada goa-goa pertapaan yang ada.
Bila dewasa ini wisatawan datang ke Bali untuk tujuan memperoleh kepuasaan dan kesenangan dunia(walaupun ada juga beberapa orang yang mendalami spiritual di Bali), pada jaman dahulu peziarah ke Bali adalah untuk mencari kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Hal ini adalah hal yang wajar, karena trend dunia sekarang (pada jaman Kali) adalah material and pleasure oriented, yakni mencari kekayaan dan kesenangan, sedang pada jaman dahulu para yàtri (orang yang melakukan perjalanan suci /Tìrtayàtra) lebih menekankan untuk mencari kedamaian yang sejati (peacefull oriented) dan di balik kedamaian itu, terdapat kebahagiaan yang sejati (anandam).
Pulau Bali sebagai tujuan wisata dunia di tengah-tengah globalisasi saat ini menghadapi berbagai tantangan dan cobaan baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal yang di akibatkan oleh konskuensi logis dari kepariwisataan dan globalisasi. Untuk itu berbagai permasalahan telah dan akan terus muncul ke permukaan. Bilamana umat Hindu sebagai penghuni pulau dewata ini tidak mampu mengantisipasi perkembangan yang dihadapi, maka akan terjadi kehancuran yang tidak diharapkan.
Upaya-upaya untuk melestarikan pulau Bali dengan aneka kekayaan yang dimiliki patut dilakukan oleh semua pihak, terlebih lagi generasi muda terpelajar dan cendekiawan Hindu hendaknya terpanggil untuk melakukan karya-karya nyata yang bertujuan mengangkat harkat derajat dan kesejahteraan mesyarakat sekaligus dalam usaha melestarikan warisan budaya yang merupakan aset nasional yang tiada taranya.
Dalam era globalisasi, tepatnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, pulau Bali yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Indonesia mulai mengalami penyesuaian dengan kehidupan berbangsa dan bernegara R.I dengan Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 sehingga hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 mulai dikoreksi oleh umat Hindu yang menjadi penghuni mayoritas di pulau yang indah ini. Sejak saat itulah terjadi friksi-friksi terutama mereka yang terbiasa menikmati privileges di alam penjajahan. Dampaknya semakin dirasakan oleh yang tidak ikhlas menerima pembaharuan atau menerima Pancasila atau melaksanakan agama Hindu secara konskuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berbagai persoalan muncul, terutama dalam kaitannya dengan Desa Adat yang secara populer kita kenal dengan kasus-kasus adat di daerah ini (Lihat Harian Nusa Tenggara, Minggu, 19 Mei 1996).
Untuk itu pemahaman tentang agama Hindu dan budaya Bali yang di dalamnya terdapat aneka kekayaan yang perlu dilestarikan, namun hal-hal yang menghitami Bali, yang memberikan noda-noda hitam terhadap keluhuran agama Hindu hendaknya disirnakan, mengingat budaya Bali adalah ekspresi dan sekaligus wadah tumbuh kembangnya agama Hindu yang kini mulai memancarkan cahaya di bumi Indonesia.

B. Agama Hindu dan Budaya Bali.
Antara agama Hindu dan budaya Bali adalah ibarat tenunan benang kain endek Bali, yang sudah saling jalin-menjalin dengan warna dan coraknya yang khas. Seseorang yang awam akan merasakan sulit untuk membedakan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali. Bila kita mengkaji lebih jauh sebenarnya terdapat perbedaan yang jelas antara agama Hindu dan budaya Bali, demikian pula antara agama Hindu dan Adat Bali. Untuk menghindari kerancuan atau salah pengertian tentang hal tersebut di atas, kiranya terlebih dahulu perlu dijelaskan beberapa pengertian yang terkait dengan topik tulisan ini, yaitu agama Hindu, Budaya Bali, Adat dan Desa Adat.
1. Agama Hindu, Sanatana Dharma atau Vaidika Dharma
Agama Hindu adalah agama yang bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan himpunan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari kitab suci Vedalah mengalir semua ajaran agama Hindu baik yang menyangkut ajaran Úraddhà (keyakinan/keimanan), Tata-susila (etika) dan Àcàra (ritual dan lain-lain). Wahyu Tuhan Yang Maha Esa pada mulanya turun di lembah sungai Sindhu dan dari kata Sindhu inilah muncul istilah Hindu yakni nama yang pada mulanya diberikan oleh orang-orang Persia untuk menyebut kebudayaan yang berkembang di lembang sungai Sindhu, kemudian orang Yunani menyebutnya dengan Indoi dan orang-orang Barat menyebutnya dengan India, sedang nama asli dari anak benua India adalah Bhàrata atau Bhàratawarsa. Hindu kemudian menjadi nama dari agama yang bersifat Sanatana, yakni agama yang abadi, oleh karena itu agama Hindu juga dikenal dengan Sanatana Dharma. Di samping itu, oleh karena agama ini bersumber pada kitab suci Veda, maka agama ini juga disebut dengan nama Vaidika Dharma.
Ciri khas dari agama Hindu atau Hindu Dharma adalah memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut suatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran umat manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/ Úraddhà, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sàdhana, bermacam-macam ritual atau adat-istiadat yang berbeda semuanya memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lain.
Karakteristik atau ciri lainnya yang merupakan barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang kiranya menimbulkan perpecahan di dalam Hindu Dharma adalah Iûþadevatà dan Adhikara (Sarma, 1987: 5). Iûþa atau Iûþadevatà adalah kebebasan untuk memuja salah satu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sesuai penjelasan kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya sedang Adhikara adalah memilih disiplin dan atau cara tertentu sesuai dengan kemampuan dan kepuasan batinnya.
Svami Sivananda seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaysia dan meninggalkan profesinya itu kemudian menjadi seorang Yogi besar dan rohaniwan agung, pendiri Divine Life Society menyatakan: Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta(sampradaya atau perguruan/ashram Hindu) dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma, tetapi perbedaan itu sesungguhnya merupakan tipe pemahaman dan tempramen sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma, karena dalam agama ini tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran manusia dari yang tertinggi sampai yang terendah,demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka(Sivananda,1988:134). Mengingat adanya berbagai perbedaan, terutama yang menyangkut Àcàra yang bersifat gradual, maka nampak warna yang berbeda-beda di dalam Hindu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam ajaran agama Hindu kita mengenal pula istilah Dharma Agama. Istilah Dharma Agama pertama kali rupanya dipopulerkan pada tanggal 28 Februari 1959 ketika Parisada Hindu Dharma Indonesia dibentuk yang ketika bernama Parisada Dharma Hindu Bali, sebagai suatu pendekatan pembinaan terhadap umat Hindu di Indonesia untuk menjadi umat beragama Hindu yang baik, di samping istilah Dharma Negara. Istilah ini ditetapkan kembali pada buku Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia yang telah diputuskan sebagai buku pedoman pembinaan umat oleh Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 yang lalu.
Dalam buku Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia di nyatakan pendekatan Dharma Agama meliputi tiga komponen memfungsikan peranan agama sebagai faktor innovatif, kreatif dan integratif di samping merupakan sumber nilai dan norma serta usaha untuk meningkatkan peranan agama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa bagi umat Hindu di Indonesia (PHDI Pusat, 1990 : 14). Sedang yang di maksud Dharma Negara adalah hal dan kewajiban serta tanggung jawab umat Hindu untuk senantiasa membela, mempertahankan, mengisi, kemerdekaan, mengabdi, dan berbakti kepada nusa, bangsa dan negara sesuai dengan salah satu ajaran Catur Guru Bhakti, yaitu bhakti kepada Guru Wisesa/ hormat dan cinta kepada tanah air, bangsa, negara dan pemerintah (Ibid : 10).

2. Budaya Bali
Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di seluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya dan kebudayaan ini.
Agama Hindu dapat disebut sebagai isi dan budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar pada: (1). pandangan hidup masyarakat Bali, (2). seni budaya Bali, (3). adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu dan (4). organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperi Desa Adat, Subak dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan ajaran Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.

3. Adat-istiadat dan Desa Adat
Seperti telah diungkapkan pada bagian awal tulisan ini masih terdapat kerancuan pengertian antara agama dan adat di kalangan masyarakat. Kerancuan ini disebabkan karena terjadi jalinan sedemikian rupa antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu sebagai jiwa atau nafas hidupnya. Kerancuan tersebut antara lain disebabkan oleh pandangan yang menyatakan bahwa segala aktivitas masyarakat Bali terutama yang menyangkut upacara agama disebut sebagai adat Bali dan sepanjang pengetahuan penulis, tidaklah ada adat yang memiliki upacara. Berbagai upacara di Bali sebenarnya merupakan aktifitas agama Hindu. Jadi yang memiliki upacara adalah agama Hindu yang bersumber pada wahyu (Úruti) Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda yang pokok-pokok ajaran dan pelaksanaanya diatur dalam tiga kerangka dasar agama Hindu, yakni Tattva (Úraddhà), Tata susila dan Àcàra Agama (PHDI Pusat, 1988: 53). Untuk itu perlu dipahami pengertian yang terkandung dalam istilah adat-istiadat dan Desa Adat secara lebih baik lagi.
Adapun yang di maksud dengan adat adalah istilah yang pada mulanya berasal dari bahasa Arab yang menurut ahli Hukum Adat bernama Van Vollenhoven berarti kebiasaan atau adat-kebiasaan (Purwita,1984:4)
Bila kita perhatikan sungguh-sungguh, yang di maksud dengan adat atau di sebut juga adat agama Hindu oleh masyarakat, tidak lain adalah wujud pelaksanaan Àcàra agama yakni bentuk-bentuk upacara agama Hindu dengan berbagai rangkaiannya di samping juga yang tradisi yang bersumber dari pelaksanaan ajaran agama yang diwarisi secara turun temurun.
Selanjutnya istilah Desa Adat yang sekarang di kenal, pada mulanya dikenal dengan sebutan 'desa' saja. Tetapi dengan adanya pembentukan desa yang lain oleh pemerintah Belanda, yang mempunyai tugas khusus dalam penanganan administrasi pemerintah di tingkat bawah, maka terjadilah kerancuan pengertian 'desa'. Oleh karena itu untuk memberikan pembedaan yang tegas maka desa yang berbeda fungsi dan tugasnya tersebut di beri nama masing-masing 'Desa Adat' dan 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'. Istilah ini secara tertulis pertama kali di temukan dalam buku I Gusti Putu Raka, tahun 1955 (Pitana,1994:139)
Batasan tentang Desa Adat secara resmi (formal) telah di tuangkan dalam pasal 1 (e). Peraturan daerah Bali No. 06 Tahun 1986 yang manyatakan bahwa Desa Adat adalah : "Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri".
Demikian antara beberapa istilah atau pengertian yang perlu kita pahami bersama mengingat telah terjadi jalinan yang demikian padat antara berbagai aspek kebudayaan Bali dengan agama Hindu sebagai jiwa dari kebudayaan daerah ini. Jalinan yang demikian baik hendaknya tetap terpelihara jangan sampai dirobek atau diputuskan oleh umat sendiri karena tidak memahami apa yang kita miliki.
C. Fungsi dan peranan Desa Adat dalam pelaksanaan agama Hindu
Desa Adat dengan Banjar-Banjarnya adalah lembaga masyarakat umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara agama yang berlangsung di Desa Adat seperti upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-lain, Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan Krama Desa. (Kepala Bidang Bimas Hindu, Kanwil Depag Prop Bali , 1978:5)
Demikian pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah Desa Adat tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Diwujudkan dengan mendirikan pura Kahyangan Tiga atau Kahyangan-Kahyangan Desa. Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui aturan yang berlaku sebagai anggota Desa Adat atau Krama Desa dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa Adat yakni dengan pemeliharaan bersama desa, fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa Adat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa Adat.
Dalam membina hubungan yang harmonis antar sesama warga Desa Adat hendaknya selalu di kembangkan sikap Amulat Úarìra ( introspeksi dan toleransi ) dengan suatu keyakinan bahwa semua makhluk (semua orang adalah bersaudara/Vasudaiva kutumbakam) seperti di amanatkan dalam mantra suci Veda berikut:
"Engkau telah terlindung dalam mengambil air di tempat yang sama.
Aku nyatakan engkau seluruhnya dalam satu pengertian"
Atharvaveda III.30.6.
"Bumi ini tempat tinggal (seluruh umat manusia), seperti sebuah keluarga, semua orang berbicara berbeda-beda dan menganut kepercayaan yang berbeda, semuanya bersatu seperti dalam satu kandang sapi, semoga kesejahteraan berlimpah"
Atharvaveda XII.1.45.
Terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan di Desa Adat kemudian di Bali kita mengenal adigium yang merupakan azas dari kebersamaan, yakni : Salulung Sabyayantaka ( sa + luhung + luhung sa + byaya (sa) + antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah Bali di sebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan sepenanggungan. Atas dasar azas kebersamaan ini hendaknya setiap anggota Desa Adat merupakan bagian dari keluarga besar Desa Adat termasuk masalah kesejahteraan warganya. Bila hal ini dipahami dan dilaksanakan dengan baik, maka tidak terjadi warga umat Hindu sampai dipelihara di panti-panti asuhan yang tidak bernafaskan Hindu.
Memperhatikan landasan dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Hindu, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sejati, maka fungsi Desa Adat yang paling menonjol bagi warga atau Krama-nya, adalah untuk bersama-sama meringankan beban kehidupan baik suka dan duka (dalam Pasuka-dukan Desa). Dengan demikian fungsi atau peranan Desa Adat dalam pelaksanaan agama Hindu secara lebih detail dapat juga dirinci sebagai berikut :
a.       Mengatur hubungan Krama Desa dengan Kahyangan.
b.      Mengatur pelaksanaan Pañca Yajña dalam masyarakat.
c.       Mengatur penguasaan Setra.
d.      Mengatur hubungan antar sesama Krama Desa.
e.       Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainya milik Desa Adat
f.       Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum Adat (awig-awig).
g.      Menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian masyarakat.
h.      Memberikan perlindungan hukum bagi Krama Desa
i.        Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesama Krama Desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan.
j.        Menjunjung dan mensukseskan program pemerintah dalam memajukan desa, pendidikan dan perekonomian (MPLA Dati I Bali, 1989/1990 : 24 - 25 )

Bila Desa Adat mampu melaksanakan fungsi dan peranannya, maka tujuan Desa Adat untuk mewujudkan desa yang Sukertagama (masyarakat tentram karena melaksanakan ajaran agama), Tata Tentram Kertaraharja (tentram dan sejahtra) akan dapat diwujudkan untuk itu para Prajuru Desa hendaknya senantiasa mencari upaya dengan mengkaji potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa Adat termasuk sumberdaya manusia (SMD)nya untuk dapat di kembangkan sebaik-baikmya. Sabha-Sabha Desa (Musywarah Desa) atau Sangkepan (sidang-sidang) dan Paruman Desa (rapat desa) hendaknya diadakan secara rutin dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam memanage (mengurus) Desa Adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu. Untuk itu pula aktivitas pembinaan kepada Krama Desa hendaknya terus dilakukan, misalnya menyosialisasikan keputusan-keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) maupun kebijaksanaan pemerintah. Bila semuanya itu di laksanakan dengan mantap, tidaklah mungkin terjadi kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh Desa Adat, misalnya perpecahan antar Krama Desa, meninggalkan Kawitan/leluhur (Atilar Kawitan), kumpul kebo (Mitra Ngalang ), masalah wangsa (keturunan), penguasaan tanah Desa Adat (pelabha pura) oleh seseorang, masalah kesulinggihan/kepamangkuan, penggunaan Setra/Kuburan, awig-awig Desa Adat yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 19945 sekaligus yang bertentangan dengan agama Hindu dan lain-lain.

Untuk lebih berfungsinya Desa Adat dalam mewujudkan Desa Sukertagama sebagai yang diharapkan, maka pembinaan kehidupan rohani (spiritual) warganya sangat mutlak di perlukan. Untuk itu usaha yang terus menerus menyelenggarakan penyuluhan agama Hindu dan pembinaan kehidupan agama Hindu pada umumnya hendaknya senantiasa diupayakan. Hubungan antara Prajuru Desa Adat dengan Kramanya dapat di ibaratkan seperti hubungan orang tua (bapak-ibu) kepada anak-anaknya. Anak-anak akan berhasil meniti hidupnya bila mendapat pendidikan yang baik. Dalam hal ini prinsip disiplin pendidikan Catur Upaya Naya Sandhi: Sàma (melihat sama semua warganya dan bersikap adil), Bheda (dapat membedakan yang baik dengan yang nakal, rajin dan tulus), Dàna (memberi hadiah / penghargaan kapada yang rajin) dan Daóða (menghukum memberikan perhatian kepada yang bersalah).
Usaha untuk meningkatkan pengamalan ajaran agama bagi Krama Desa di mulai dari tiap-tiap individu dan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat Hal yang penting adalah usaha untuk membiasakan diri secara rutin dan tekun untuk mengamalkan ajaran agama. Bentuk-bentuk pengamalan ajaran agama atau Dharma dijabarkan dalam 7 jenis perbuatan seperti dinyatakan dalam kitab Våhaspati Tattwa, meliputi : Úila (perbuatan baik), Yajña ( pengorbanan Suci), Tapa (pengekangan diri), Dàna (bersedekah/menolong orang lain), Pravåjya (mengembara menambah ilmu pengetahuan/kerohanian), Bhikûu atau Dikûa (melakukan penyucian diri/menjadi Dwijati/Pandita) dan Yoga (senantiasa menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi Wasa dan Bhaþàra Kawitan/Leluhur, melalui sembahyang atau mengendalikan geraknya indra kita dapat bermeditasi kepada Nya) dan tentunya ajaran-ajaran lain sebagai penuntun hidup, hendaknya secara kontinyu mesti didalami dan diamalkan oleh segenap umat Hindu dengan sebaik-baiknya.

D. Kasus-kasus Adat dan penanganannya
Bila kita mengamati media massa baik surat kabar maupun eletronik (TV dan Radio), walaupun tidak banyak dan tidak terlalu sering, namun acap kali kita menemukan berita atau munculnya berbagai kasus-kasus Adat yang terjadi di berbagai Desa Adat di Bali. Kasus-kasus itu tidaklah banyak bila kita bandingkan dengan jumlah Desa Adat di seluruh Bali (sebanyak 1.610 Desa Adat), namun demikian mengingat publikasi oleh media massa, nampak terjadi kerawanan atau permasalahan yang sepertinya sulit dipecahkan oleh Desa Adat.
Kasus-kasus Adat sering sebenarnya bukanlah murni permasalahan agama dan Adat atau prajuru Desa Adat dalam memecahkan berbagai permasalahan yang timbul di Desa Adat. Sering sekali bila kita dalami, kasus-kasus tersebut bermuatan politik, sentimen atau untuk kepentingan peribadi dan kelompok tertentu. Dalih Adat apalagi agama seakan-akan masyarakat Bali tidak berdaya dengan permasalahan yang dihadapinya itu.
Bila kita perhatikan dengan seksama, kasus-kasus Adat dapat terjadi dalam hubungan antar individu yang bertentangan dengan norma agama terjadi di dalam Desa Adat, misalnya kasus: Mitra Ngalang, Lokika Sanggraha, Badawasa (Homosek dan Lesbian), Salah Timpal (Sodomi), Gamya-Gamana (Incest), Cuntaka dan lain-lain.
Kasus-kasus Adat yang berhubungan dengan Krama Desa dan Wilayah Karang Desa dan Parhyangan di antaranya adalah: judian (sering dengan dalih Tabuh Rah/bila Perang Sata atau adu ayam mestinya tanpa taruhan apapun.Lihat Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek agama Hindu yang telah ditetapkan oleh Parisada), pelacuran, anak yang lahir tidak ada orang tuanya (tidak ada mengakui), bayi/orok yang dibuang di Pelemahan Desa Adat (termasuk juga di wilayah Parhyangan), pelabha pura (untuk dimaklumi bahwa Pura diakui sebagai sebuah badan hukum, oleh karena itu pura berhak memiliki tanah pelabha pura) dan lain-lain.
Kasus-kasus Adat yang terkait dengan kesucian pura, misalnya kehilangan pratima, arca, bhusana pura dan lain-lain. Masalah Sulinggih (siapa saja berhak sebagai Sulinggih, prosedurnya meminta ijin kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten setempat), masalah kepemangkuan dan lain-lain, awig-awig apalagi pararem yang tidak membenarkan seseorang untuk sulinggih adalah bertentangan dengan Dharma (agama Hindu).
Bila kita berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum Hindu yang telah diresepir dalam hukum Adat Bali dan berpedoman kepada keputusan-keputusan (juga Keputusan-Keputusan Seminar yang telah ditetapkan oleh) Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat maupun Majelis Pembina Lembaga Adat Propinsi Bali serta perundang-undangan yang berlaku, maka kasus-kasus tersebut dengan mudah dapat diatasi. Dalam hal ini kearifan dan kebijaksanaan Prajuru Desa Adat sangat menentukan. Bilamana dalam menanganinya mengalami kebuntuan atau tidak terpecahkan, sebaiknya meminta petunjuk dari lembaga umat Hindu terkait maupun aparat Pemerintah dalam mencari jalan keluarnya. Dalam Hindu tidak dikenal "Botleneck" (jalan yang buntu), niscaya terdapat saja jalan untuk mengatasi berbagai kasus yang muncul.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menangani berbagai permasalahan yang muncul adalah faktor psikologis. Umumnya masyarakat Bali seperti halnya masyarakat lainnya patut dan ingin dihargai, pelecehan dan sejenisnya menimbulkan ketersinggungan dan bila sudah tersinggung akan menjadi sentimen pribadi yang sulit untuk disembuhkan. Faktor ini hendaknya mendapat perhatian, sehingga dengan kearifan dan moral power yang dimiliki oleh para Prajuru Adat, pemuka Agama dan pemuka masyarakat, maka berbagai kasus Adat akan mudah dapat ditangani.
D. Simpulan
Dilaksanakannya fungsi-fungsi dan peranan Desa Adat oleh Prajuru Desa Adat dan seluruh Krama Desa atau Warganya, mengantarkan warga Desa Adat mewujudkan tujuan Desa Adat, yakni masyarakat yang Sukertagama dan Tata Tentram sesuai tujuan agama Hindu. Bila fungsionalisasi Desa Adat berhasil dilaksanakan, maka segala dampak negatif globalisasi akan dapat diantisipasi dengan baik.
Untuk dapat memfungsikan Desa Adat semaksimal mungkin, maka usaha dari Prajuru, Sekehe Taruna-taruni serta seluruh warganya termasuk Aparat Desa Dinas (Pemerintah) dan lembaga-lembaga lainnya dapat memahami peranan yang mesti di lakukan oleh Desa Adat, untuk itu pembinaan kepada semua Krama (warga) Desa Adat terutama dalam bidang keagamaan sangat di perlukan.

Daftar Pustaka
1. Covarrubias, Miguel
1977 : Monumental Bali, Van Goor Zonen Den Haag,

2. Devi Chand
1982 : The Atharvaveda, Text & translation , Munshiram Mano harlal,Delhi.

3. Kepala Bidang Bimas Hindu kanwil Dep. Agama Prop. Bali
1977/1978 : Desa Adat Bali Menghapi Kepariwisataan,
Proyek Penyuluhan Agama dan Penerbitan Buku/Brosur di Bali, Denpasar

4. Majelis pembinaan Lembaga Adat Dati I Bali
1989/1990 : Mengenal dan Pembinaan Desa Adat di Bali, Proyek pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 Kab. di Bali, Denpasar

5. Misra, Rajendra, Abhiraj
1990 : Sejarah Kesusasteraan Sansekerta,Dharmam Publisher, Denpasar

6.ParisadaHindu Dharma Indo nesia Pusat
1990 : Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia, PT. Upada Sastra, Denpasar.

7. Pitana, I Gede 1994
1994 : Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Penerbit Bali Post, Denpasar

8. Purwita, Ida Bagus Putu
1984
9.Sarma,D.S. :
1987

10.Sivananda, Sri Svami
1988 : Desa Adat dan Banjar Adat Bali, Perce-
takan Kawi Sastra, Denpasar
The Nature and History of Hinduism, dalam Kenneth Morgan, The Religion of Hinduism, Motilal Banarsidass, Delhi.
All About Hinduism, The Divine Life Sosiety,Sivanandanagar,Uttar Pradesh India.

11 Sudarshana, Devi
1957 : Vrhaspati Tattwa, Old Javanese Philoso-phical Text,International Academi of Indian Culture, Delhi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abinash Chandra Das : Ågveda Culture, Bharatiya Publishing House,
1979 New Delhi, India.
2. Dvivedi, Kapil Deva : The Essence of the Vedas, Vishva Bharati
1990 Research, Gyanpur, Varanasi, India.
3. Basham, A.L. : The Wonder that was India, Rupa & Co, New
1992 Delhi.
4. Dutt, M.N. : Santi Parva, Mahabharata,Vol.6, Parimal
1988 Publications, New Delhi.
5. 1988 : Anusasana Parva, Mahabharata,Vol.7, Parimal
Publications, New Delhi.
6. Hooykaas : The Pañca Yajñas in India and Bali, Adyer
1975 Library, Baroda University, India.
7. Pudja, G. : Bhagavadgita, Mayasari, Jakarta.
1979
8. Pudja,G. & Sudharta,Tjok.Rai : Manavadharmaúàstra,Veda Smrti, CV.Junasco,
1978 Jakarta.
9. Puniatmaja, Oka I B. : Silakrama, Parisada Hindu Dharma Pusat,
1978 Denpasar.
10. --------- : Bhagavata Puràóa dalam The Principals of the
1990 Upanisads, Oxford University Press,Bombay.
11. 1990 : Devì Bhagavata Puràóa dalam The Principals
of the Upanisads, Ibid.
12. 1990 : Kurma Purana dalam The Principals of the
the Upanisads, Ibid.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar